Kalimat itu sering saya temukan di linimasa media sosial, menanggapi rumor kepergian Leonardo Bonucci. Kebetulan, Chelsea, Manchester City, dan Real Madrid dikabarkan siap menampung kapten AC Milan ini, entah di bursa transfer Januari maupun pertengahan tahun 2018.
Lalu apa yang harus dilakukan Milan? Kalau kehadiran Bonucci sudah tidak dibutuhkan dan justru menjadi beban, ya dijual saja, secepatnya.
Alasan pertama adalah soal harga. Dengan situasi Milan yang sudah berdiri di ujung jurang hukuman Financial Fair Play (FFP), mereka pastinya butuh tambahan dana untuk menutup defisit yang menganga. Parahnya, kesempatan I Rossoneri untuk menembus zona Liga Champions kian menipis, yang membuat kesempatan meraih uang masuk dari ajang tersebut ikut melayang.
Di sini kesempatan Bonucci untuk membayar “dosa-dosanya”. Dengan harga beli dari Juventus mencapai 42 juta euro, Milan bisa mematok harga minimal 40 juta euro, sesuai nilai pasarnya kini, atau 35 juta euro jika sulit mencapai kesepakatan sesuai dengan harga normalnya.
Mengapa tidak boleh kurang dari itu? Karena klub-klub peminat Bonucci bukanlah klub dengan keuangan seadanya. Mumpung bek tengah 30 tahun ini masih berada di usia emas dan diminati klub-klub kaya, maka Milan harus meraih pundi-pundi uang sebanyak mungkin, demi menyeimbangkan neraca keuangan sebelum palu FFP diketok UEFA.
Kedua, dengan hengkangnya Bonucci, Milan tidak perlu bersusah payah merangkai skema tiga bek demi memaksimalkan peran pemainnya ini. Alessio Romagnoli dan Mateo Musacchio bisa diduetkan di jantung pertahanan, dengan Cristián Zapata dan Gabriel Paletta sebagai pelapisnya.
Memang kedalaman bek tengah menjadi taruhannya, karena Zapata dan Paletta tidak sebagus Romagnoli dan Musacchio, tapi toh Milan masih memiliki Romagnoli yang setipe dengan Bonucci, walau termasuk kategori lower version karena faktor pengalaman dan mental juara.
Ketiga, mungkin Bonucci memang bukan sosok yang dibutuhkan Milan saat ini. Dengan pengalaman 7 tahun berseragam Juventus, tidak mudah untuk langsung tancap gas bersama klub baru. Namun, Milan bukan tempat yang cocok untuk beradaptasi sambil bersantai.
Dengan dana besar yang telah digelontorkan, Milan memiliki beban besar untuk lolos ke Liga Champions musim depan. Lebih berat lagi, karena Bonucci harus memimpin di tim yang baru, dengan mayoritas pemain yang baru bergabung. Padahal, menurut pelatih pribadinya, Bonucci bukan pemain yang terlahir sebagai pemenang. Ia menjadi pemenang karena bekerja keras.
Kalimat tersebut diucapkan oleh Alberto Ferrarini pada Radio 24, Oktober lalu. Ferrarini merupakan pelatih yang juga berjasa melambungkan nama Alberto Gilardino, Gianluca Pegolo, dan Antonio Floro Flores. Ia pertama kali bertemu dengan Bonucci ketika sang pemain berkarier di Treviso.
Tapi sebentar, apa memang Bonucci harus dijual?
Well, dengan segala kesalahan dan dosanya, Bonucci yang merupakan kapten tim memang layak diminta pertanggungjawaban. Namun, bukan berarti mendepaknya dari San Siro adalah satu-satunya jalan.
Ingat, Bonucci adalah kapten, dan menjualnya juga berarti memindah ban kapten ke pemain lain, Dua kali mengganti kapten dalam semusim bisa mengganggu situasi kondusif ruang ganti, karena sebelumnya jabatan itu sudah dicopot dari Riccardo Montolivo. Bonucci bisa sakit hati karenanya, dan bisa memicu terbentuknya grup-grup pemain.
Ingat apa yang terjadi dengan kamar ganti Real Madrid saat mereka menyia-nyiakan Iker Casillas? Terbentuk tiga kubu yang terdiri dari para pemain yang pro, kontra, dan netral terkait keputusan manajemen. Itulah yang bisa terjadi pada Milan, jika tidak berhati-hati memperlakukan kaptennya.
Lalu, apakah Bonucci sebaiknya dijual atau dipertahankan? Jawaban pribadi penulis menimbang segala fakto yang ada sejauh ini adalah: Jual saja, jika Milan tidak bisa menemukan solusi yang lebih baik untuk memperbaiki performa serta keuangan klub.
Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.