Piala Eropa 2016 adalah turnamen yang bersejarah bagi timnas Portugal. Selecao das Quinas berhasil menjuarai trofi mayor yang pertama kalinya setelah mengalahkan tuan rumah Prancis di laga final. Namun, di laga tersebut, bukan nama-nama populer nan familiar seperti Cristiano Ronaldo, Luis Nani, Joao Moutinho, atau Ricardo Quaresma yang mencuri atensi.
Yang menjadi penentu kemenangan bagi skuat asuhan Fernando Santos adalah Ederzito Antonio Macedo Lopes, atau yang biasa dikenal dengan nama Eder, pemain yang bahkan pemanggilannya ke timnas dikritik oleh banyak orang. Gol indahnya di babak perpanjangan waktu menjadi pengunci kemenangan sekaligus trofi Henri Delaunay bagi Portugal untuk pertama kali sepanjang sejarah. Nama Eder mungkin akan selalu terkenang berkat gol ikoniknya, namun nasibnya sebenarnya tidak menyenangkan seperti predikat pahlawan yang ia semat.
Eder lahir di Guinea-Bissau, sebuah negara di Afrika yang menjadi koloni Portugal. Saat masih berusia tiga tahun, ia pun pindah dari negara tersebut ke Portugal, namun, kehidupannya tak berubah menjadi lebih baik. Keluarganya tak mampu menjaganya, dan ia harus masuk ke sebuah panti asuhan di daerah urban dekat ibu kota Lisabon yang bernama Combria, di usia delapan tahun. Sepak bola yang menjadi pelariannya dari kesedihan, dan tampaknya pelariannya tersebut membawanya ke tempat yang lebih baik.
“Saya selalu bermain sepak bola di jalanan bersama anak-anak lain. Setiap hari dan setiap saat, kami hanya bermain sepak bola,” ujar Eder dikutip dari BBC.
Talentanya pun tercium oleh klub akademi lokal bernama ADC Ademia, dan ia pun menempuh pendidikan sepak bola di klub tersebut. Di tahun 2006, akhirnya ia melakukan debut profesionalnya bersama klub FC Oliveira do Hospital, klub yang menjadi parent team dari Ademia. Tak lama, ia meneken kontrak senior bersama klub divisi dua Portugal, Tourizense, ketika ia masih berusia 18 tahun.
Karakter Eder yang luar biasa sudah terlihat kala ia memberikan semua gaji yang ia terima dari Tourizense untuk sang ibu, meski ia ditelantarkan ketika masih kecil. Dua musim ia bertahan di klub tersebut, sebelum akhirnya pindah ke klub divisi utama Liga Primer Portugal, Academica. Nama Eder pun mencuat setelah tampil menawan bersama Academica, hingga akhirnya di tahun 2012, ia direkrut oleh salah satu klub besar di Portugal, SC Braga.
Pendakian Eder, dari bermain di pinggiran kota hingga bergabung bersama klub sekelas Braga, patut mendapatkan pujian. Pasalnya, ia melakukan itu semua sembari menerima kenyataan bahwa ayah kandungnya divonis penjara seumur hidup karena tertuduh melakukan pembunuhan berencana.
Di tahun 2003, ketika Eder masih berusia 12 tahun, ayahnya dituduh membunuh ibu tirinya di Inggris, dan meskipun ayahnya mengaku tidak bersalah, vonis tetap dijatuhkan.
“Ibu tiri saya mati, dan ayah saya yang dituduh menjadi pembunuhnya. Saya tak tahu apa yang terjadi, namun ayah saya berkata bahwa ia tidak melakukannya. Saya percaya ayah saya, namun saya tak bisa mengatakan bahwa pengadilan di Inggris salah, namun saya percaya ayah saya,” ujar Ederzito dikutip dari Daily Mail.
Mendapati hal seperti itu, pencapaiannya sampai ke Braga tentu menakjubkan. Namun, masalah besar kembali menerpanya. Selepas kegagalan timnas Portugal di Piala Dunia 2014, Eder menjadi sasaran kritik media. Penampilannya di Brasil memang tidak memuaskan, namun kritik yang ia terima begitu keras, hingga ada media yang menyamakannya dengan cone lalu lintas. Eder mengaku usai turnamen itu, ia jadi meragukan kemampuannya sendiri, bahkan ia sempat depresi dan terpikir untuk mengakhiri hidupnya.
“Saya sempat terpikir untuk bunuh diri. Pikiran saya sangat gelap, dan saya benar-benar terpuruk, saya mengalami cedera parah, dan penampilan saya di Piala Dunia sangat buruk. Periode itu sangat sulit bagi saya, dan saya sempat kehilangan harapan.”
Namun, Eder mengungkapkan bahwa tenaga seorang psikolog benar-benar berguna saat dirinya sedang berada di posisi seperti itu.
“Titik balik saya terjadi di satu pertandingan bersama Braga, ketika saya sedang melakukan pemanasan dan menendang-nendang bola bersama seorang gadis kecil. Ibunya, Susana Torres, meminta saya untuk berfoto dengan anaknya. Ia ternyata adalah seoang psikolog.”
“Setelah itu, saya bertukar pesan dengannya, saya bekerja keras untuk memperbaiki kondisi mental saya, dan berhasil bermimpi kembali. Susana yang membawa perubahan tersebut. Ia benar-benar membantu saya.”
Kebangkitannya memang berawal tak sempurna. Selepas penampilannya di Braga yang terhitung baik, ia sempat diincar oleh Tottenham Hotspur, namun karena cedera yang ia derita, The Lilywhites urung merekrutnya, dan pada akhirnya, di awal musim 2015/2016, ia bergabung bersama Swansea City. Bersama klub asal Wales tersebut, Eder gagal total, dan ia dipinjamkan ke klub Prancis, LOSC Lille di pertengahan musim.
Sang pemain mengungkapkan bahwa ia harus pergi dari Swansea demi mengincar tempat di Piala Eropa 2016 bersama Portugal.
Keputusannya terbukti tepat. Ia berhasil mengunci tempat di antara 23 pemain yang dipanggil Santos untuk mengenakan seragam Selecao das Quinas di Prancis. Meskipun begitu, tentunya keraguan menyelimuti karena bagi publik Portugal, nama Eder sangatlah tidak populer usai Piala Dunia 2014, dan performa buruknya bersama Swansea mengundang pertanyaan kelayakan pemanggilannya. Jumlah penampilan Eder pun terbatas hanya tiga kali, itu pun hanya menjadi pemain pengganti. Namun, takdir sepertinya berkata lain baginya.
Bisa dipastikan, apabila Cristiano Ronaldo tidak cedera di final, Eder tak akan diturunkan. Namun pada kenyataannya, sang megabintang cedera, dan ketika waktu normal hanya menyisakan 10 menit, ia diturunkan oleh Santos. Tak ada yang dapat menduga, meskipun pada kenyataannya, ia adalah seorang penyerang tengah murni satu-satunya di skuat Portugal kala itu, bahwa ia akan menjadi pencetak gol di laga tersebut.
Di menit 109, Eder berhasil mengelabui Laurent Koscielny, sebelum akhirnya melepaskan tendangan jarak jauh mendatar yang tak mampu diantisipasi Hugo Lloris. Sejarah, sekaligus kejutan pun akhirnya tercipta di Parc des Princes.
Nama Eder pun diagung-agungkan bak pahlawan, namun selepas sejarah yang ia ciptakan, keadaan pun sebenarnya tak membaik baginya. Kini, tempatnya di skuat Portugal tersisih oleh penyerang muda AC Milan, Andre Silva, dan di Lille pun ia tersingkir setelah di awal musim ini ia dipinjamkan ke Lokomotiv Moscow dengan opsi permanen.
Mungkin memang sudah jalannya seperti ini, namun perjuangan untuk mampu bangkit dari Si Angsa harus diapresiasi. Setidaknya, namanya akan selalu terkenang sebagai pemberi trofi besar pertama bagi negaranya,
Happy birthday, Ederzito!
Author: Ganesha Arif Lesmana (@ganesharif)
Penggemar sepak bola dan basket