Dunia Amerika Latin

Derby Clasico Capitalino: Tentang Baku Tikam dan Persahabatan

Rivalitas antara dua klub atau suporter sepak bola bisa menampilkan wajah paling brutal. Namun sebaliknya, pertemanan, persahabatan, atau apapun yang berwarna kemanusiaan dalam sepak bola, bisa begitu manis tersaji.

Derby Clasico Capitalino adalah satu dari sekian banyak derby yang identik dengan kekerasan. Bahkan bisa dibilang, derby tersebut adalah nama lain dari permusuhan masyarakat urban di pusat pemerintahan Kolombia, Bogota.

Adalah Independiente Santa Fe dan Millonerios FC, dua klub asal ibu kota yang nyaris empat dekade belakangan menjadi sub-identitas bagi pemuda-pemuda Bogota. Tak seperti di Madrid, di mana lebih dari separuh warganya mendaku diri sebagai Madridista ketimbang berakhir pekan dengan jersey Los Rojiblancos.

Di Bogota, kepopuleran Santa Fe dan Millonerios nyaris seimbang. Hal itu juga menandakan bagaimana kekuatan kedua pendukung juga seimbang. Presiden Santa Fe, Cesar Pastrana, mengakui hal tersebut. Ia mengatakan bahwa dalam hal mendukung klub sepak bola, masyarakat Bogota benar-benar terbagi menjadi dua kutub, yakni kutub utara yang adalah pendukung Millonarios dan kutub selatan yang merupakan pendukung Santa Fe.

Walaupun jumlah titel juara Primera A kedua klub bisa dibilang cukup timpang, di mana Santa Fe hanya mengemas 9 titel juara sedangkan rivalnya, Millonarios menjadi klub terbanyak kedua menyimpan trofi juara dengan jumlah 15 kali. Senin (19/12) kemarin adalah kali kelima belas Millonarios merengkuh gelar juara setelah mengalahkan Santa Fe di final.

Artinya, di Bogota tidak ada bayang-bayang atas siapa, sebagaimana misalnya Persema menjadi bayang-bayang Arema. Kedua klub berdiri dan berjalan atas dukungan yang seimbang satu sama lain. Hal itu juga merembet pada suporternya.

Kekacauan yang dilakukan oleh Barra Brava, sebutan ultras di Amerika Latin, Millonarios dan Santa Fe sudah bukan lagi menjadi hal langka di Bogota. Aksi penusukan adalah hal lumrah di jalanan Bogota ketika kedua kelompok ini bertemu. Permusuhan kedua suporter ini semakin meruncing karena mereka berbagi stadion yang sama, El Campin.

Longgarnya keamanan di dalam stadion menjadi celah bagi kedua suporter untuk baku tikam di atas tribun, walaupun keduanya memiliki tempat yang berbeda, masing-masing di zona Selatan dan Utara. Ada banyak sekali video yang menampilkan bagaimana kericuhan terjadi di stadion El Campin dan sebilah pisau melayang di stadion.

Tentu saja hal tersebut tidak hanya terjadi di dalam stadion. Di luar stadion perkelahian bahkan lebih brutal. Mereka nampaknya tak ingin dipusingkan dengan memilih tempat berkelahi. Halte busway, taman kota, hingga toko-toko di pusat kota, kerapkali menjadi ajang saling tebas antara kedua suporter.

Sebuah dokumenter yang mengisahkan tentang duel ibu kota ini menampilkan bagaimana perbedaan identitas klub kesukaan bisa menjadi ajang pembunuhan. Seperti ketika seorang pria mesti kehilangan nyawa setelah diserang kelompok suporter Millonarios, ia tewas setelah mencoba melindungi anaknya yang merupakan pendukung Santa Fe. Beberapa hari berselang, sebuah kamera yang terpasang di halte busway memperlihatkan sekelompok pendukung salah satu tim ibu kota itu keluar dari bus. Di depan pintu keluar itu telah menunggu sekelompok lawan yang siap menyerang. Alhasil perkelahian pecah, kamera menangkap seorang suporter menancapkan pisau di dada lawannya.

Bleacherreport melaporkan bahwa permusuhan antar-suporter ini bukan semata-mata tentang sepak bola, ada semacam duri dalam daging yang menjadi penyulut kebencian, yakni persoalan sosial. Santa Fe adalah klub yang identik dengan masyarakat akar rumput yang mendiami selatan Bogota, sedangkan Millonarios banyak mewakili kelas menengah ke atas yang mendiami bagian Utara.

Hal itu diakui oleh Guillermo Gonzalez, anggota ultras Millonarios dalam dokumenter tersebut. Ia menyatakan bahwa yang menjadi api dalam sekam dari permusuhan tersebut adalah karena adanya persoalan sosial yang masih berceceran di jalanan Bogota. Namun, satu hal yang paling mungkin menjadi pemicu adalah begitu akrabnya sepak bola dan narkoba di Colombia.

Persahabatan tak mengenal warna jersey

Ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa tak ada yang namanya kegelapan, yang ada hanyalah kekurangan cahaya. Mungkin itu menjadi analogi yang pas untuk menggambarkan video pendek yang menampilkan sebuah persahabatan dan kemanusiaan, berdiri di atas sub-identitas suporter di Bogota.

Itu video sederhana, direkam di stadion El Campin dengan kamera ponsel. Di tengah ingar-bingar chant, seorang pria berkepala plontos mengenakan jersey Santa Fe sedang memegangi kedua tangan sahabatnya yang alih-alih duduk menghadap lapangan, ia justru duduk membelakanginya, dengan kata lain kedua pria ini saling berhadapan.

https://twitter.com/FootballFunnys/status/942552538687131650

Di tengah mereka ada miniatur lapangan sepak bola. Pria yang duduk membelakangi lapangan adalah seorang tunanetra. Untuk membantunya mengikuti pertandingan, temannya mensimulasikan apa yang terjadi di lapangan ke miniatur lapangan tersebut. Dengan begitu, si kawan yang mengalami kebutaan ini bisa membayangkan di mana bola sedang bergulir, dan bisa membangun imaji tentang pertandingan yang berlangsung.

Jika si kepala plontos adalah pendukung Santa Fe, maka temannya yang tunanetra itu adalah seorang pendukung Millonarios. Saat video ini beredar, banyak media yang menyangka kedua pria ini adalah ayah dan anak, namun kemudian banyak yang mengonfirmasi bahwa mereka adalah dua orang sahabat yang berbeda klub kebanggaan.

Ekspresi si plontos rasanya menggambarkan secara gamblang bahwa keceriaan harus menjadi instrumen utama dalam menyaksikan sepak bola, bukan kebencian yang berakhir dengan pembunuhan. Sebab, menyitir kata-kata Zen RS, orang butuh hidup supaya bisa menikmati denyar dan getar sepak bola dari tribun.

Author: Rizal Syam