Sepak bola adalah salah satu cabang olahraga yang paling digemari oleh masyarakat dari berbagai kelas. Kegemaran masyarakat menonton sepak bola membuat penonton yang di kenal dengan sebutan suporter mempunyai kelompok-kelompok sendiri. Kelompok suporter tersebut berdiri dan membentuk wadah berdasarkan kesamaan akan hobi yang sama, salah satunya mendukung kesebelasan di lapangan.
Sebuah film di tahun 2005 muncul tentang hooliganism sepak bola di Inggris yang sampai sekarang, film tersebut masih menjadi idola bagi beberapa suporter sepak bola di dunia. Film itu adalah Green Street Hooligan.
Film yang mengisahkan “gesekan” antarkelompok suporter ini dikembangkan oleh mantan hooligan yang menjadi penulis, Dougie Brimson. Arti hooligan sendiri diambil dari bahasa Inggris yang berarti ‘berandal’. Dan dalam konteks ini, hooligans memiliki arti yaitu suporter sepak bola yang brutal ketika tim bolanya kalah bertanding.
Masih ingatkah salah satu adegan film tersebut yang menunjukkan saat Bovver dan kawan-kawan memasuki stadion lalu berusaha menutupi wajah agar tak terekam oleh kamera CCTV Upton Park, markas dari West Ham United? Memang standar stadion di Inggris rata-rata menggunakan standar super ketat agar meminimalisir kericuhan yang terjadi di dalam maupun di luar stadion.
Penonton sepak bola Inggris memang dipaksa “tunduk” oleh keberadaan kamera CCTV. Ancaman seperti hukuman seumur hidup tidak boleh menyaksikan tim kesayangan bermain memastikan bahwa tidak ada yang rela melanggar batas. Maka tak salah jika di adegan film tersebut Bovver “berusaha” menutupi identitasnya agar jika nanti terjadi kericuhan di dalam stadion supaya mereka lolos dari pengawasan.
Ya, walapun usahanya sia-sia karena disana selain CCTV masih ada stewart yang mengawasi gerak-gerik suporter di dalam stadion agar tidak terjadi kericuhan. Belum lagi tiket terusan yang hanya dimiliki oleh satu identitas satu tempat duduk.
Untuk mengontrol suporter di Liga Primer Inggris, klub-klub juga membantu Asosiasi Sepakbola Inggris (FA). Klub-klub Liga Primer akan menghukum penonton atau melarang mereka ke dalam stadion jika membuat kerusuhan.
Kontrol itu bisa dilakukan melalui dicabutnya kartu anggota klub dan tiket musiman sang suporter. Beda di Inggris yang terkenal dengan hooligans, beda juga di Italia yang identik dengan Ultras.
Ultras diambil dari bahasa latin yang berarti “di luar kebiasaan”. Kalangan ultras kadang bahkan terlampau sering dengan “adegan” menyalakan gas warna-warni (flare) dan gerakan-gerakan seperti Mexican Wave (ombak) yang kadang mereka lakukan.
Pernah terjadi kerusuhan di Italia antara pendukung Catania dan Palermo di tahun 2007, lebih dari 100 bom rakitan dilemparkan oleh ultras ke arah polisi, melukai 200 orang dan membunuh seorang perwira polisi. Konflik ini diperparah setelah pada tahun 2008 seorang penggemar Lazio tewas ditembak oleh pihak keamanan.
Ini memicu adanya kerusuhan menentang polisi. Apakah pemerintah Italia diam saja? Tentu tidak, pemerintah Italia mulai memberlakukan aturan Decreto Pisanu yang salah satu butir isinya mewajibkan suporter memiliki Tessera del Tifoso (semacam kartu identitas suporter).
Ide ini muncul untuk mempermudah klasifikasi terhadap seluruh suporter, memecah mereka jadi dua bagian: suporter biasa dan suporter berbahaya.
Pola otoriter yang pemerintah Italia lakukan seolah meniru apa yang diterapkan pemerintah Inggris ketika memberantas hooligans di Inggris. Hasilnya? Amburadul. Stadion semakin sepi dikarenakan pengurusan Tessera del Tifoso yang sulit dan membingungkan. Malah demonstrasi yang didapat, karena mereka para ultras bersatu menentang “kartu suporter”.
Entah hooligan ataupun ultras, mereka mungkin masih mengutamakan dukungan kepada timnya dengan benyanyi sepanjang pertandingan ataupun atraksi koreo di stadion tanpa mengumbar identitas yang mereka miliki bahkan merekapun terkesan semaksimal mungkin merahasiakannya.
Kemajuan teknologi semakin membuat mudahnya budaya suporter luar masuk ke dalam negeri. Tak ketingaalan juga dari segi fashion suporter luar. Banyak dari kalangan suporter Indonesia yang meniru fashion dari suporter luar, tak terkecuali suporter di Indonesia.
Salah satunya pemakaian balaclava. Pemakaian balaclava oleh suporter sejatinya bergungsi untuk melindungi wajah dari percikan flare. Jika di multifungsikan, balaclava ini juga berfungsi untuk menyembunyikan identitas diri dari ‘musuh’ dan yang pasti dari polisi.
Namun yang membuat saya tergelitik adalah saat seorang suporter menggunakan balaclava untuk ber-selfie dan memuatnya pada media sosial. Terkadang sedikit diberi efek buram pada wajah. Hal ini yang membuat seorang suporter lebih mementingkan fashion daripada passion.
Dan yang lebih menggelitik, yaitu saat mereka mengunggah fotonya di sosial media seperti Instagram dengan efek blur di wajah lalu diberi tagar no face no name dan tak lupa menandai sebuah akun pada unggahannya. Bukankah sejatinya itu digunakan untuk menyembunyikan identitas? Lha ini malah unggahannya ditandai pada akun lain. Biar apa? Agar semua orang tahu bahwa dia seorang suporter yang gaul? Agar menambah followers? Sungguh terlihat konyol.
Berbicara tentang suporter modern, saya rasa suporter modern bukan hanya tentang fashion saja, tetapi juga pemahaman dan pengetahuan yang maju, dan itu tentang passion. Sesungguhnya suporter tidak hanya maju dalam fashion, tetapi harus juga menonjolkan passion. Passion tentang pemahaman, pengetahuan tentang tim kebanggaannya. Tetap lantang dalam bernyanyi di dalam stadion, tetap kritis jika klub kalian melakukan kebijakan yang “aneh” kepada suporternya.
Sesungguhnya klub yang kalian dukung hanya membutuhkan suntikan semangat dari kalian dan tak peduli dengan identitas individu kalian sebab kalian tetap sama di hadapan klub yang kalian dukung. Dan yang paling penting, support your local team!
Author: Cokrek Squad (@CokrekSquad)
A proud Persebaya fans