Eropa Champions League

Real Madrid vs Paris Saint-Germain: Ilusi Final Kepagian?

Undian babak 16 besar Liga Champions masih menyisakan rasa gairah di ujung lidah. Dua laga besar mewarnai babak sistem gugur musim ini, Barcelona melawan Chelsea dan Real Madrid akan bersua Paris Saint-Germain (PSG). Laga kedua dipandang sebagai “final kepagian”. Benarkah begitu? Layakkah PSG dipandang sebagai favorit juara musim ini?

PSG lolos dari Grup B, memang dengan laju kencang. Hingga pertandingan terakhir, PSG hanya sekali kalah dari Bayern München. Namun, kekalahan tersebut terjadi setelah sebelumnya PSG memastikan sudah lolos ke babak 16 besar. Dan perlu diingat, di pertemuan pertama, PSG menekuk Bayern dengan skor telak, 3-0.

Raksasa Prancis tersebut juga menjadi klub tersubur selama babak putaran grup. Total, PSG mencetak 25 gol, dan hanya kemasukan empat gol. Bandingkan dengan Bayern di posisi kedua yang hanya mencetak 13 gol dan kemasukan enam. Lini depan PSG memang salah satu yang paling berbahaya di dunia.

Bergabungnya Neymar dan Kylian Mbappe semakin menegaskan bahwa tim mana saja yang berhadapan dengan mereka, akan selalu menderita. Neymar dan Mbappe, ditambah Edinson Cavani, maka lini depan PSG, di atas kertas, sangat sempurna. Meski Cavani dan Neymar sempat bersitegang, keduanya terbukti bisa bersikap profesional dan menjaga koneksi yang sudah terbangun.

Sementara itu, di sisi lain, PSG akan berhadapan dengan tim paling berbahaya di Liga Champions: Real Madrid. Anda harus melupakan performa Madrid di La Liga apabila ingin menganalisis sejauh mana mereka akan melangkah di Liga Champions. Sang juara bertahan, seperti naga yang menemukan air, membuat Liga Champions seperti ladang bermain mereka.

Misalnya musim lalu, ketika Madrid juga tak meyakinkan ketika masih berkutat di babak putaran grup. Namun, begitu masuk babak sistem gugur, Los Blancos menjelma menjadi mesin pembunuh. Mereka sangat efektif meredam kelebihan lawan, dan begitu efisien ketika menemukan celah di pertahanan lawan.

Legenda Madrid, Emilio Butragueño, menyebut bahwa pertemuan laga Madrid kontra PSG adalah final kepagian. Keduanya punya “potensi” untuk melaju hingga babak akhir. Benarkah begitu?

PSG, bisa jadi punya skuat paling mewah di dunia, untuk saat ini. Namun, Liga Champions adalah ladang pembunuhan, penuh jebakan mental. Nilai seorang pemain tak ada guna ketika sebuah tim sudah masuk ke babak sistem gugur. Yang ada adalah kemampuan sebuah tim membunuh semua lawan dan menyerang balik setajam mungkin.

PSG punya pengalaman nyata ketika skuat mewah mereka ditumbangkan Barcelona dengan skor 6-1 di leg kedua babak perempat-final Liga Champions 2016/2017. Padahal, di leg pertama, PSG sudah unggul 4-0. Kekuatan mental berbicara paling lantang di kompetisi antarklub paling megah di dunia ini.

Bagaimana dengan Madrid? Musim lalu, dimulai sejak melawan Napoli, lalu Bayern, lantas Atletico Madrid, Los Merengues selalu dominan. Dan sebuah klimaks terjadi di laga final ketika Juventus dibantai dengan skor 4-1. Pengalaman dan kekuatan mental ini yang membuat Madrid selalu menjadi favorit, bukan hanya dengan cara mengumpulkan pemain termahal semata.

Pertemuan antara Madrid dan PSG sendiri seperti drama yang sudah dirancang sejak jauh hari. Pertandingan penuh bumbu. Seperti kita ketahui, kedua klub ini terlibat adu sikut ketika berusaha mendapatkan tanda tangan Kylian Mbappe. Sementara itu, di pertengahan November yang lalu, ketika Neymar disebut tak bahagia di Prancis, Madrid bisa menjadi tujuan yang begitu memesona.

Pertandingan ini jelas bakal panas. Sebuah lompatan nyata menjadi salah satu kekuatan di Eropa apabila PSG mampu mengalahkan Madrid. Mampukah PSG mencegah misi Madrid menjadi klub pertama yang mampu memenangi Liga Champions tiga kali beruntun? Apakah PSG sudah layak disejajarkan dengan para raksasa tradisional Liga Champions?

Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen