Nasional Bola

Tahun Pertama ‘Mimpi Asia’ Marc Klok, dari Julukan ‘Ewaklok’ hingga Membuat Bangga Sang Ibunda

“Saya telah menandatangani kontrak baru dengan PSM Makassar. Ini sesuai perencanaan karier saya, yaitu tinggal di Asia selama sepuluh sampai dua belas tahun lagi.”

Pernyataan itu dikutip dari wawancara Marc Anthony Klok dengan situsweb Belanda, Elf Voetbal. Kepada Guus Hetterscheid dari Elf Voetbal, Klok seolah menegaskan bahwa musim pertamanya di Liga Indonesia memang sesuai dengan mimpi-mimpinya, bukan sekadar pemanis pemberitaan media-media di Indonesia.

“Saya ingin menjadi juara Liga Indonesia musim depan bersama PSM, lalu saya akan melihat peluang selanjutnya. Siapa tahu saya bisa ke Jepang, Cina, atau Korea Selatan, pokoknya liga-liga utama di Asia,” sambung pemain kelahiran 20 April 1993 ini.

Berbeda dengan rekan-rekan senegaranya sesama pendatang baru di Go-Jek Traveloka Liga 1 2017 lalu, Klok datang di usia yang baru menginjak 24 tahun. Bandingkan dengan Nick van der Velden yang didatangkan Bali United pada usia 35 tahun. Meski meninggalkan Eropa di usia 20-an, Klok sama sekali tak melihatnya sebagai sebuah kemunduran karier.

Seorang pamannya sudah lebih dulu menetap di Qatar dan berkarier sebagai pelatih sepak bola di sana. Meski mengakui dirinya sempat skeptis ketika menerima tawaran dari PSM Makassar, mantan pemain Oldham Athletic dan Dundee United ini memberanikan diri terbang ke Indonesia. Klok akhirnya tak pikir panjang lagi ketika mendengar dua warga negara Belanda telah lebih dulu berada di klub tersebut, yaitu Wiljan Pluim dan pelatih Robert Rene Alberts.

“Jujur saja, ibu saya sempat sedih ketika mendengar saya akan pindah ke Indonesia, negara yang bahkan lebih jauh dari Skotlandia,” kata Klok mengenang awal kedatangannya. “Namun, beberapa minggu kemudian ia dan nenek saya mengunjungi saya di Makassar. Kebetulan, saat itu kami sedang ada pertandingan (PSM vs Persipura). Saya mencetak dua gol di pertandingan itu. ketika merayakan gol, saya berlari ke arah mereka. Ibu dan nenek saya sampai menangis terharu karena bangga.”

Singkat cerita, ibunya Klok mendukung penuh ‘mimpi Asia’ putranya. Bahkan, dengan akun @liamatthaei, sang ibu tak jarang ikut berinteraksi dengan para pendukung PSM di Instagram. Klok mengakui bahwa di Indonesia, ia sedang menjalani impian masa kecilnya yang gagal diraihnya di Eropa. Ia bahkan tak malu-malu mengakui dirinya sudah melupakan mimpi untuk membela tim nasional Belanda.

“Belanda bagi saya adalah kenyataan. Di masa liburan ini, saya bebas mengayuh sepeda dan tidak ada yang mengenal saya di jalan, kecuali beberapa teman lama. Di Asia, saya menjalani mimpi. Contohnya di Makassar, saya tidak bisa lagi leluasa berdiri di pinggir jalan. Orang-orang pasti akan mengenali lalu memanggil saya, ‘ewaklok, ewaklok!’. Setelah itu mereka menghampiri untuk meminta tanda tangan atau foto bersama.”

Untungnya, Klok mudah berbaur dengan masyarakat lokal, meskipun belum sembilan bulan tinggal di Indonesia. Pemegang nomor punggung keramat, yaitu nomor 10 ini, selalu berusaha menyenangkan sebanyak mungkin penggemarnya dengan foto atau tanda tangan.

Malah, putra asli Amsterdam ini sempat memberikan jersey matchworn-nya kepada seorang anak kecil yang sempat viral di media sosial. Ia tersentuh melihat anak kecil tersebut menuliskan nama Klok dan nomor punggung 10 di kausnya dengan tangan. Pemberian Klok ini mengingatkan kita kepada Lionel Messi yang pernah melakukan hal yang sama, memberi jersey-nya kepada anak kecil yang fotonya viral memakai kantung plastik akibat tak sanggup membeli jersey asli.

“Banyak orang di sini tak hidup berkecukupan, tapi senyuman lebar tak pernah lepas dari wajah mereka, apalagi jika melihat saya atau pemain PSM lain. Bagi mereka, pertandingan PSM di akhir pekan semacam pelarian sejenak dari masalah sehari-hari mereka,” kata Klok menarik kesimpulan.

Maka, selain menghibur masyarakat melalui sepak bola, ia juga  menganggap penting untuk berbaur dengan budaya Indonesia. Maka, ia memutuskan untuk belajar bahasa Indonesia. Bersama Pluim dan pemain asing PSM asal Prancis, Steven Paulle, ia sering belajar di kedai kopi dengan guru privat.

Selain itu, usia yang cukup muda membuat Klok fasih memanfaatkan internet dan media sosial. Ia pun dengan cepat melihat peluang di Indonesia, negara yang berisikan ratusan juta orang melek teknologi. Ia mulai membangun berbagai kanan akun sosial untuk membangun citra, termasuk kanal video YouTube pribadinya, tempatnya mengunggah berbagai vlog yang ditujukan untuk penggemarnya.

Dalam setengah tahun, akun Instagram-nya pun sudah diikuti ratusan ribu followers. Klok juga mengadopsi nama ‘Ewaklok’ sebagai semacam slogan media sosialnya. Kata ini merupakan gabungan namanya dan seruan ‘ewako!’, semboyan khas PSM yang kira-kira berarti ‘jangan menyerah!’.

Semua aktivitas media sosialnya ini bersinergi dengan citra dirinya yang mulai tumbuh. Setelah menandatangani kontrak untuk menjadi salah satu brand ambassador sebuah produk apparel olahraga terkenal, beberapa pekan terakhir Klok terlihat aktif di Instagram mempromosikan salah satu perusahaan e-commerce asli Indonesia. Aspek digital mimpi Asia-nya ini mungkin akan berbeda seandainya ia masih tinggal di benua Eropa.

Terakhir, Klok juga mengonfirmasi dirinya memang bertekad menjadi warga negara Indonesia, sehingga nantinya bisa memperkuat tim nasional Indonesia. Namun, ia merasa tak perlu buru-buru dan setia menanti datangnya kesempatan. Toh, dirinya masih dalam tahap mempelajari adat-istiadat serta bahasa Indonesia selain berusaha tampil maksimal dalam setiap penampilannya bersama PSM.

Semoga sukses, ewaKlok!

Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pencinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’.