Eropa Italia

Roberto Boninsegna: Pengukir Sejarah di Derby d’Italia

Familiarity breeds contempt adalah pepatah kuno yang muncul sebagai kulminasi dari rasa jenuh dan ketidaksukaan terhadap sesuatu yang sama dan ditemui secara terus menerus. Dalam kancah sepak bola Italia, pepatah tersebut jelas amat cocok bila disematkan kepada rivalitas di antara Internazionale Milano dan Juventus.

Pertemuan terus menerus yang kedua kubu jalani dalam kancah sepak bola profesional di Italia, memantik rasa tidak suka satu sama lain. Terebih, sudah menjadi rahasia umum jika mereka adalah dua entitas besar yang masuk ke dalam golongan klub paling bergelimang prestasi di Negeri Pizza bareng AC Milan.

Khusus di tahun 1960-an, kejayaan Juventus di kompetisi domestik serta meroketnya hegemoni Inter di ajang regional, membuat Gianni Brera, seorang jurnalis paling berpengaruh pada masanya dan melegenda hingga kini, menyematkan leksikon Derby d’Italia saat kedua tim berjumpa di atas lapangan hijau.

Walau begitu, persaingan yang mendarah daging dari masing-masing tim sejatinya sudah berlangsung sejak 1909 atau setahun usai Inter berdiri. Ernesto Borel yang saat itu mengenakan kostum I Bianconeri menjadi aktor pertama yang sukses menggelontorkan gol (dua sekaligus) guna membawa Juventus menang dengan skor 2-0.

Dalam buku rekor Derby d’Italia yang sudah terekam lima tahun sebelum lahirnya Perang Dunia I tersebut, hanya ada tiga nama pesepak bola yang berhasil membukukan gol lebih dari 10 buah. Lewat gelontoran 12 gol, trio itu adalah Giuseppe Meazza, Omar Sivori, dan Roberto Boninsegna.

 

Akan tetapi, bila dibandingkan dengan Meazza ataupun Sivori, figur Boninsegna jelas mempunyai keunikannya sendiri. Pasalnya, lelaki yang lahir di Mantova tersebut jadi sosok tunggal yang berhasil mencetak gol bagi sepasang klub yang terlibat dalam Derby D’Italia.

Boninsegna muda mengejar cita-citanya sebagai pesepak bola profesional dengan bergabung ke akademi Inter pada awal tahun 1960-an. Bersama pelatih tim junior, Boninsegna digembleng menjadi sosok penyerang belia yang agresif, cepat, dan punya insting mencetak gol tinggi. Banyak pihak yang menyebut jika kamu kesulitan membayangkan bagaimana gaya main Boninsegna dahulu, Carlos Tevez adalah purwarupa yang paling cocok.

Sayangnya, I Nerazzurri yang ketika itu mempunyai tim legendaris dan punya segudang prestasi bernama La Grande Inter, tak bisa menjamin satu posisi utama begitu Boninsegna dirasa layak untuk ‘lulus’ dari tim junior. Alhasil, manajamen Inter ‘menyekolahkannya’ terlebih dahulu ke tim-tim papan bawah macam Prato, Potenza, dan Varese.

Namun pesona Boninsegna yang kelewat ciamik bikin klub asal Pulau Sardinia, Cagliari, merekrutnya secara permanen di tahun 1966. Skill Boninsegna yang ketika itu memperoleh kesempatan untuk berduet dengan penyerang mematikan nan legendaris milik Gli Isolani dan tim nasional Italia, Luigi Riva, justru semakin terasah.

Perfoma keren yang diperlihatkan oleh Boninsegna selama berseragam Cagliari, akhirnya memantik atensi manajemen Inter buat memulangkannya ke Stadion Giuseppe Meazza. Tepat jelang bergulirnya musim kompetisi 1969/1970, Boninsegna ditebus dengan mahar senilai 200 ribu paun, plus tiga orang pemain yaitu Angelo Domenghini, Sergio Gori, dan Cesare Poli.

Dari sini, sisi buas Boninsegna dalam hal mencetak gol ke gawang Juventus pun mulai terlihat nyata. Dalam rentang tujuh musim membela I Nerazzurri (1969/1970-1975/1976), sosok setinggi 178 sentimeter ini sanggup mencetak 9 gol. Uniknya, mayoritas gol-gol tersebut malah lahir di ajang Piala Italia, bukan Serie A.

Walau tergolong beringas dalam urusan membobol gawang I Bianconeri dan menjadi sosok pilar di dalam skuat, Ivanoe Fraizzoli (Presiden Inter dalam rentang 1968-1984), justru memberitahu sang penyerang bahwa dirinya dilego ke Juventus pada bursa transfer musim panas 1976.

Boninsegna yang saat itu telah berumur 32 tahun, dianggap uzur sehingga dibarter dengan penyerang yang lebih muda, Pietro Anastasi. Situasi tersebut membuat Boninsegna geram tak kepalang. Tanpa basa-basi, ia pun membentak Fraizzoli dengan kalimat, “Kau saja yang pindah ke Juventus”.

Sebagai pemain yang tumbuh dan berkembang di Inter, Boninsegna tentu kecewa dengan keputusan sang presiden. Akan tetapi, dirinya tetap menunjukkan sisi profesional yang luar biasa kala memakai baju I Bianconeri.

Di sebuah pertandingan pra-musim melawan Pro Patria, Boninsegna yang pergerakan-pergerakannya di atas lapangan sering diabaikan rekan barunya di Juventus, lantas menarik kaus Gaetano Scirea dan berteriak tepat di depan wajah bek andalan I Bianconeri tersebut.

“Lihat, sekarang kita mengenakan seragam yang sama. Jadi, berikan bolanya kepadaku. Kuulangi sekali lagi, berikan bolanya kepadaku”. Amarah Boninsegna itu cuma bisa dibalas oleh anggukan kepala Scirea yang merasa jeri.

Khusus di laga Derby d’Italia, Boninsegna tetap menunjukkan ketajaman yang berkualitas. Bersama Juventus, ia sukses mengemas 3 gol tambahan sehingga pundi-pundi golnya menjadi 12 buah sekaligus menyejajarkan namanya dengan Meazza dan Sivori.

Berikut beberapa laga Derby d’Italia di mana Boninsegna mencetak gol:

Lebih mantapnya lagi, prestasi yang didapatkan Boninsegna bareng klub asal Turin tersebut bahkan lebih mentereng ketimbang saat berseragam Inter. Secara kesuluruhan, Boninsegna sanggup menggondol dua titel Scudetto dan masing-masing satu Piala Italia dan Piala UEFA bareng Juventus dalam kurun tiga musim. Sementara di Milano, ia cuma bisa meraih satu Scudetto meski keluar sebagai capocannoniere Serie A sebanyak dua kali.

Terasa makin ironis buat Inter karena Anastasi yang tampil gemilang bersama Juventus, malah gagal menduplikasi penampilannya kala berseragam I Nerazzurri. Selama dua musim masa pengabdiannya, Anastasi hanya menyumbang satu titel Piala Italia 1977/1978.

Selepas membela Juventus, pria yang memiliki 22 caps dan 9 gol bersama Italia tersebut hijrah ke Hellas Verona yang berlaga di Serie B 1979/1980. Di klub itu pula Boninsegna mengakhiri karier profesionalnya sebagai pesepak bola.

Sejarah akan selalu mencatat para pelaku sepak bola yang berhasil menorehkan tinta emas dalam momen-momen spesial yang ada. Boninsegna, dengan narasi kompleks yang mengitarinya pasti akan selalu dikenang sebagai salah satu penyerang paling tajam di eranya, terutama dalam partai Derby d’Italia.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional