Bicara tentang AS Roma di Liga Champions Eropa, praktis tiada hal yang layak untuk dikenang. Maklum, pasukan Serigala Roma belum pernah sekali pun merengkuh Si Kuping Lebar. Torehan paling fantastis terjadi sudah lama sekali, tepatnya pada 30 Mei 1984. Kala itu AS Roma berhasil melaju hingga babak final meski akhirnya kandas di tangan wakil Inggris, Liverpool, melalui adu penalti. Adapun kekalahan itu terasa sangat pedih mengingat AS Roma bertarung di hadapan publik sendiri.
Romansa klub sepak bola Roma berbanding terbalik dengan pencapaian politik bangsa Romawi di tanah Eropa. Meski penguasa Roma dan bentuk pemerintahan mereka silih berganti, namun dominasi terhadap wilayah Eropa tak pernah surut. Kekaisaran Romawi merupakan salah satu kekuatan ekonomi, budaya, politik, dan militer paling berpengaruh di dunia pada masanya.
Kekaisaran ini menjadi kekaisaran terbesar pada masa antikuitas klasik dan salah satu kekaisaran terluas dalam sejarah dunia. Pada masa pemerintahan Trajanus, luas wilayah Kekaisaran Roma mencapai 5 juta kilometer persegi dan menjadi penguasa bagi hampir 70 juta penduduk, atau 21 persen dari keseluruhan penduduk dunia pada saat itu.
Kedigdayaan itu coba dirintis kembali lewat sepak bola. Musim ini penampilan AS Roma di Liga Champions cukup memukau. Tergabung di grup neraka bersama Atletico Madrid dan Chelsea, AS Roma yang pada musim sebelumnya kandas di babak play-off oleh FC Porto, jelas tidak diunggulkan. Namun fakta berbicara lain. AS Roma malah sanggup lolos ke babak 16 besar bahkan dengan status juara grup.
Baca juga: Lima Kesebelasan yang Melebihi Ekspektasi di Liga Champions Musim Ini
Pada awalnya. ada rasa gugup yang menyelimuti anak-anak asuh Eusebio Di Francesco. Hal itu tercermin dari hasil imbang 0-0 di laga perdana melawan Atletico Madrid. Kendati tampil di kandang, tampaknya AS Roma belum menampilkan kekuatan penuh alias masih ragu-ragu. Serigala Roma seolah belum memutuskan apa target mereka di grup ini.
Tentang keraguan ini, Titus Livus, seorang sejarawan Romawi, pernah merekam suatu kisah dengan pesan moral bahwa keragu-raguan pada dasarnya merugikan. Bangsa Latin yang kala itu tengah berperang melawan bangsa Romawi, sempat meminta bantuan kepada bangsa Lavinia. Namun bangsa Lavinia sangat lamban dalam merespons permintaan itu. Sehingga ketika mereka (pasukan militer Lavinia) sedang berbaris keluar dari kota sebagai bala bantuan, datanglah kabar bahwa bangsa Latin telah kalah.
Hal ini membuat Praetor (jabatan tinggi pada masa Romawi) mereka bernama Milonius berkata, “Barisan pendek harus dibayar mahal kepada Romawi. Andai saja mereka (pemerintah bangsa Lavinia) segera memutuskan apakah harus membantu bangsa Latin atau tidak. Jika tiba di medan pertempuran tepat waktu, bangsa Latin kemungkinan akan menang dengan bersatunya pasukan mereka dengan pasukan militer Lavinia. Akan tetapi karena terlambat memutuskan, mereka kehilangan keduanya.”
Usai skor kacamata di laga pertama, di laga kedua kala bertandang ke Azerbaijan, AS Roma mencoba bangkit. Kemenangan tipis 1-2 atas Qarabag setidaknya membuka peluang bagi pasukan Serigala Roma untuk terus bertahan hidup di grup maut. Dalam laga ini, Radja Nainggolan dan kolega seolah melawan keraguan publik terhadap kemampuan pasukan Roma.
Pada laga ketiga di Stamford Bridge, rasa percaya diri AS Roma mulai tumbuh. Setelah sebelumnya tertinggal 2-0 oleh sepakan David Luiz dan kecerdikan Eden Hazard, AS Roma bermain lepas hingga pada akhirnya sanggup menahan Chelsea 3-3 di kandang mereka. Hasil itu menjadi spesial sebab pada hari yang sama, Atletico Madrid bermain imbang tanpa gol dengan Qarabag.
Keberuntungan Serigala Roma berlanjut di pertandingan keempat kala menjamu Chelsea. Saat itu, pasukan Antonio Conte datang tanpa kekuatan penuh. Gelandang andalan N’Golo Kante sedang dibekap cedera selepas membela timnas Prancis di ajang internasional. Hasilnya mudah ditebak, barisan pertahanan Chelsea begitu leluasa dibombardir oleh lini depan AS Roma. Tidak adanya keseimbangan di lini tengah Chelsea, membuat AS Roma sangat nyaman bermain-main lantas menusuk begitu saja ke area pertahanan Chelsea tanpa ada halangan berarti.
Skor akhir memang 3-0 untuk AS Roma, namun berita yang muncul malah lebih banyak tentang dampak absennya Kante bagi Chelsea ketimbang mengapresiasi kekuatan lini serang AS Roma. Adapun hasil itu lagi-lagi terasa spesial karena Qarabag di luar dugaan sanggup menahan imbang Atletico Madrid di Spanyol.
Jika saja Atletico Madrid meraih tiga poin, tentu persaingan akan semakin riuh. Tapi faktanya, Atletico Madrid hanya mendapatkan satu poin yang membuat AS Roma sementara jadi pemuncak klasemen di grup neraka. Publik merespons hasil-hasil itu dengan kesimpulan umum: Dewi Fortuna sedang berpihak kepada AS Roma. Namun, benarkah demikian?
Plutarch, penulis tenar berkebangsaan Yunani, berpendapat bahwa bangsa Romawi berutang lebih kepada keberuntungan dibandingkan keahlian mereka sendiri. Hal itu didukung dari pengakuan orang-orang Roma sendiri bahwa seluruh kemenangan (perang) mereka berasal dari Dewi Keberuntungan. Itulah mengapa masyarakat membangun lebih banyak kuil untuk dewi ini dibanding dewa-dewa lain.
Argumen itu dibantah oleh Niccolo Machiavelli. Politikus asli Italia ini punya pendapat lain tentang kejayaan Romawi. Machiavelli menganggap tidak ada republik lain di dunia selain Roma yang pernah melakukan penaklukan seperti itu. Keberanian dari pasukan militer Roma-lah yang meraih penaklukan itu. Hal itu semakin diperkuat oleh keahlian politik dan kebijaksanaan para pemimpin yang membuat Romawi mampu mempertahankan kejayaan mereka dalam jangka panjang.
Memasuki laga kelima, nasib baik sempat menjauhi anak asuh Eusebio. Usai menang 3-0 atas Chelsea, AS Roma sedikit diunggulkan kala bertandang ke Wanda Metropolitano, kandang Atletico Madrid. Apalagi, anak asuh Diego Simeone sedang memperlihatkan performa negatif di ajang Liga Champions. Kalah di kandang sendiri oleh Chelsea, serta dua kali ditahan imbang oleh tim debutan Qarabag, jelas bukan kabar baik.
Namun sepak bola memang sulit ditebak. Atletico Madrid tidak begitu saja menyerahkan tiket ke babak 16 besar kepada AS Roma. Pertandingan berhasil dimenangkan oleh Atletico Madrid, yang memang sejak menit pertama sangat bernafsu untuk menang. Jika di dua laga sebelumnya hasil akhir AS Roma turut dibantu hasil akhir pertandingan lain, kali ini hal itu tidak berlaku. Di pertandingan lain, Chelsea menang atas Qarabag dengan skor mencolok 0-4. Hal itu membuat jatah ke babak 16 besar tersisa satu tiket, sebab Chelsea sudah lebih dulu mengantonginya.
Jadi dapat dikatakan, Dewi Fortuna tidak melulu menaungi AS Roma. Pada laga kelima, AS Roma jelas mengalami kesulitan. Benar kata Machiavelli, selain faktor keberuntungan, ada faktor lainnya yaitu keberanian pasukan dan keahlian taktik. Tiadanya gol tercipta di kandang lawan, membuat saya begitu yakin Eusebio kalah cerdik oleh Simeone dalam meramu strategi. Keberanian pasukan Serigala Roma yang ketika di Inggris begitu terlihat, entah mengapa lenyap seketika saat bertanding di tanah Spanyol.
Hasil laga kelima itu membuat laga pamungkas di grup maut menjadi seru. Dalam situasi ini, AS Roma jelas diunggulkan lolos menemani Chelsea. Pasalnya, mereka bertanding melawan Qarabag sementara Atletico Madrid harus berhadapan dengan Chelsea.
Ternyata wakil Azerbaijan itu mampu memberikan perlawanan sengit. AS Roma nyaris dibuat frustasi karena serangan demi serangan tak kunjung berbuah gol. Sebaliknya, Qarabag mampu merepotkan lewat serangan balik mereka yang cepat dan bertenaga. Meski sepak bola tidak dapat dipersamakan dengan berperang, tetapi keduanya memiliki teknik dan gaya serangan.
Seperti yang pernah diucapkan oleh French: “karena mereka (bangsa Romawi) selalu mengirim pasukan yang tangguh ke lapangan, mereka membuat perang yang mereka lakukan dengan bangsa Latin, Samnite, dan Tuscany berakhir dengan sangat cepat.” Niccolo Machiavelli menambahkan: “bangsa Romawi meningkatkan kesejahteraan dan kekuatan mereka secara pasti dengan cara menuntaskan perang secepat mungkin. Di saat yang bersamaan, mereka melemahkan musuh-musuh melalui pembaruan perang secara terus-menerus, dan mengalahkan pasukan dengan cara merusak daerah kekuasaan mereka.
Hal ini yang diperagakan Daniele De Rossi dan kolega saat menjamu Qarabag. Sejak menit awal, AS Roma sudah menekan dengan tujuan menghabisi lawan secepat mungkin. Lewat kerja sama Edin Dzeko dan Stephan El Shaarawy, Roma nyaris unggul cepat andai bek Qarabag tidak segera menghalau bola. Setelah momen itu, praktis Roma terus menekan dan menekan hingga tercipta sampai 20 kali tembakan ke gawang Qarabag.
Barulah pada menit ke-53, gol yang dinanti publik Roma tercipta. Gol yang dicetak oleh Diego Perotti menjadi satu-satunya gol di laga itu. Gol itu semakin bernilai setelah di partai lain, Chelsea yang sebelumnya berada di puncak klasemen harus rela berbagi angka dengan tamunya Atletico Madrid. Hasil tersebut tidak saja membuat AS Roma lolos ke babak 16 besar, namun juga menjadikan Il Lupi sebagai juara grup dengan raihan sebelas poin dari enam laga.
Kini, publik Roma tentu berharap nasib baik terus menyelimuti petualangan mereka. Meskipun berstatus juara grup, calon lawan AS Roma tidak serta merta menjadi mudah. Pada babak 16 besar nanti, ada kemungkinan mereka jumpa Bayern München atau Real Madrid. Jika sudah begini, mungkinkah masyarakat dan pendukung Roma diminta untuk membangun lagi kuil Dewi Keberuntungan?
Author: Agung Putranto Wibowo (@agungbowo26)