Dunia Lainnya

Merenungkan Gol Bunuh Diri

Pagi itu, tim yang saya latih sedang tertinggal 1-2 dari RT sebelah. Saya dipercaya oleh Ketua RT setempat utuk melatih beberapa anak bermain bola dengan kelompok usia antara 7-13 tahun. Tidak, saya tidak akan bicara pengalaman saya sebagai pelatih tim junior. Saya juga tidak berbagi kisah kejuaraan futsal antar-RT di lingkungan saya. Bagi saya, ada cerita yang jauh lebih otentik pada Minggu pagi itu.

Melihat gaya permainan yang monoton, saya berinisiatif memasukkan pemain depan. Pemain ini tinggi, sehingga akan mudah memenangkan duel udara di area pertahanan lawan. Bagus jika bola mampu ia kuasai secara penuh, lantas ditembak langsung ke gawang. Skenario lain, setidaknya akan tercipta bola liar hasil duel udara tadi yang dikonversi jadi gol penyama kedudukan. Namun, rencana tinggal rencana.

Selang beberapa detik setelah masuk ke lapangan, anak tadi mengalami tragedi yang mungkin tidak akan ia lupakan. Bola lambung yang niatnya ia halau, malah bersarang ke gawang sendiri. Alih-alih mengejar ketertinggalan, tim lawan justru berhasil menambah angka.

Dalam istilah sepak bola, gol yang diciptakan pemain ke gawang sendiri disebut sebagai gol bunuh diri. Entah siapa pencetus frasa tersebut. Terkesan mengerikan, namun memang itulah yang terjadi ketika gol bunuh diri tercipta.

Kebobolan oleh pemain lawan saja sudah menderita, apalagi jika gol dicetak oleh pemain sendiri. Ketika pemain seharusnya membobol gawang lawan, maka cetak gol ke gawang sendiri adalah sebuah anomali. Dalam pertandingan sepak bola, tindakan itu jelas sebuah ‘penyimpangan’.

Meski begitu, turnamen sepak bola Asia Tenggara pernah merekam kejadian gol bunuh diri yang direncanakan. Saya katakan begitu sebab lahir dari kesengajaan. Siapa tak kenal Mursyid Effendi? Pesepak bola asal Surabaya itu mencetak gol ke gawang sendiri dengan sengaja dan melawan sportivitas. Saat itu ia sedang membela timnas Indonesia di ajang Piala Tiger 1998 (sekarang Piala AFF) melawan Thailand.

Pertandingan itu tidak saja mencoreng nama timnas Indonesia, tetapi juga merugikan Mursyid sendiri. Usai insiden itu, FIFA melakukan investigasi dan hukuman yang diberikan yakni melarang sang pemain terlibat dalam turnamen sepak bola internasional apapun seumur hidupnya.

Selain Mursyid Effendi, nama Richard Dunne tak bisa lepas dari gol bunuh diri. Mantan bek Manchester City itu tercatat sudah 10 kali menyarangkan bola ke gawang sendiri. Jika kita bersepakat bahwa gol bunuh diri adalah bentuk penyimpangan, maka Dunne merupakan anomali di antara anomali. Menarik diketahui apakah rasa bersalah Dunne masih muncul kala gol bunuh dirinya yang ke-9 atau ke-10 ia lesakan. Entahlah, hanya si pemain dan Tuhan yang tahu.

Bagi pesepak bola normal, salah satu hal memalukan dalam hidup adalah mencetak gol bunuh diri. Apalagi jika proses terciptanya gol itu dilakukan dengan indah. Hal ini yang terjadi saat Internazionale Milano bertemu Chelsea di ajang International Champions Cup 2017 lalu. Geoffrey Kondogbia melakukan back pass ke arah kiper. Oleh karena posisi pemain yang berjarak 50 meter dari penjaga gawang, maka ia melakukan operan dengan sekuat tenaga. Sayangnya, bola hasil operan malah melambung dan dengan sangat cantik mendarat ke gawang sendiri. Kiper tentu tidak siap mengantisipasi datangnya bola, karena siapa mengira bola operan rekan sendiri akan seperti itu.

https://www.youtube.com/watch?v=nNEWTvDTC1M

Meski laga hanya bertajuk pemanasan jelang dimulainya musim kompetisi liga, ekspresi Kondogbia tetap menampilkan penderitaan. Tiada sama sekali senyum di wajahnya, meski harus diakui bahwa secara teknis proses terjadinya gol itu sangat baik.

Reaksi yang ditunjukkan oleh Kondogbia, pagi hari itu saya saksikan kembali oleh mata kepala sendiri. Seorang anak yang saya yakini mampu mengubah keadaan, malah merugikan tim. Meski hanya kejuaraan antar-RT, gol bunuh diri tetaplah gol bunuh diri. Mencetak gol memang sebuah kesenangan, tetapi tidak bagi gol bunuh diri. Ia adalah bentuk penderitaan.

Secara psikologis, para pelaku gol bunuh diri jelas mengalami guncangan batin. Laiknya reaksi Kondogbia, anak itu pun menjadi lemas dan seperti kehilangan gairah hidup. Sebagai pelatih tim, anda tak dapat serta merta mengganti si pemain hanya karena kecerobohan yang ia lakukan sekali. Hal itu penting bagi kesehatan mentalnya. Apalagi, pencipta gol bunuh diri masih belum cukup umur. Tidak dapat saya bayangkan jika dalam usia begitu belia, ia mengalami krisis kepercayaan diri.

Menurut seorang filsuf kontemporer Karl Jaspers, penderitaan adalah salah satu situasi batas yang secara blak-blakan menantang manusia untuk mewujudkan dirinya. Situasi tersebut mendua: kepada eksistensi diberi kemungkinan untuk berkembang maju atau mundur, tergantung keputusan manusia sendiri dalam berkonfrontasi dengan penderitaan yang dialami.

Filsuf asal Jerman itu meyakini bahwa segala bentuk penderitaan bersifat destruktif lagi konstruktif bagi manusia. Penderitaan itu bersifat destruktif, sebab ia merusak dan menggerogoti jiwa raga manusia sedikit demi sedikit. Meski demikian, penderitaan dapat juga menjadi sesuatu yang baik, yakni kesempatan bagi eksistensi untuk terus berkembang. Jikalau manusia memiliki keberanian dan ketabahan hati untuk menerima dan menanggung penderitaan, maka ia akan tumbuh melaluinya.

Dalam situasi sedang menderita, manusia mudah menjadi dirinya sendiri daripada saat dalam kondisi beruntung. Manusia yang selalu beruntung, tidak akan ditempa. Mereka yang tak pernah ditempa, akan cenderung menjadi dangkal dan tidak dapat berkembang lebih baik.

Bagi saya, pemikiran Karl Jaspers ada benarnya. Dalam 90 menit waktu normal, segala situasi bisa saja terjadi termasuk menderita karena gol bunuh diri. Tinggal bagaimana si pencetak gol bunuh diri mampu bangkit lantas menemukan kembali rasa percaya dirinya. Tidak harus secara instan, karena penderitaan yang baik adalah yang memberikan jeda untuk berpikir.

Jadi, jika ada pesepak bola yang mencetak sampai sepuluh gol bunuh diri sepanjang karier, kemungkinannya hanya dua. Pertama, ia jelas tidak menganggap peristiwa gol bunuh diri sebagai penderitaan. Kedua, ia tidak sempat berpikir dari penderitaan tersebut atau terlalu dingin untuk merespons momen merugikan dan memalukan tersebut.

Author: Agung Putranto Wibowo (@agungbowo26)