Piala Dunia 2018 Dunia

Grup E Piala Dunia 2018: Bibit Badai di Balik Cuaca yang Bersahabat

Di kejuaraan mana saja, Brasil akan selalu menjadi unggulan, apalagi di Piala Dunia 2018 yang akan dihelat di Rusia. Raksasa Amerika Selatan ini tergabung bersama Swiss, Serbia, dan Kosta Rika. Grup yang mudah? Di atas kertas, betul. Namun, Grup E Piala Dunia 2018 ini menyimpan bibit badai yang berbahaya apabila disambut tanpa persiapan yang matang dan kerendahan hati.

Brasil datang ke Piala Dunia dengan kepala tegak. Penyisihan Piala Dunia zona CONMEBOL dilalui dengan begitu mudah, seperti berjalan-jalan di taman. Dari 18 pertandingan, Brasil hanya satu kali kalah, lima hasil imbang, dan 12 kemenangan. Brasil juga menjadi tim paling rajin mencetak gol dengan catatan mencapai 41, dengan 11 kali kebobolan.

Hampir semua pemain Brasil berada dalam performa terbaik, baik untuk negara, maupun untuk klub masing-masing. Konsistensi menjadi kekuatan terbesar Brasil sepanjang penyisihan Piala Dunia. Sebuah modal yang sangat penting untuk menjalani kompetisi pendek, di mana satu penampilan buruk bisa berakibat fatal.

Berbicara skuat Canarinhos, artinya mempertanyakan seberapa matang sosok Neymar. Piala Dunia 2014 digelar di negaranya sendiri, Brasil. Piala Dunia berwarna perayaan di penjuru kota berakhir dengan tragis setelah tuan rumah digulung Jerman, yang akhirnya menjadi juara, dengan skor 1-7. Salah satu kekalahan paling memalukan yang pernah dirasakan Brasil.

Kepindahan Neymar dari Barcelona ke Paris Saint-Germain (PSG) merupakan usahanya keluar dari bayang-bayang Lionel Messi, untuk berdiri sejajar dengan para pemain terbaik di dunia lainnya. Performanya yang meyakinkan selama kualifikasi baru akan menjadi lebih tegas apabila ia bawa ke Piala Dunia 2018 nanti.

Neymar, yang seperti tak terbendung di Ligue 1 Prancis, akan ditemani rekan-rekannya yang tengah menikmati performa apik. Di lini depan, Gabriel Jesus menjadi salah satu finisher paling berbahaya di Liga Primer Inggris. Ia semakin matang, punya daya amat yang baik, pergerakan yang cerdas, dan kesadaran akan tanggung jawab.

Selain Neymar dan Gabriel Jesus, Roberto Firmino juga tengah dalam performa apik bersama Liverpool. Posisi asli pemain berusia 26 tahun tersebut adalah gelandang serang. Namun, lantaran krisis penyerang yang tengah dialami The Reds, Firmino mendapatkan kepercayaan bermain di depan. Dan ia tidak mengecewakan.

Lini kedua adalah berkah terbesar yang dirasakan Brasil. Di lini ini, terdapat sebuah perpaduan antara kekuatan, kecerdasan, dan kreativitas. Kompatriot Gabriel Jesus, Fernandinho, terus menjadi kepercayaan Pep Guardiola. Ia menjadi sumbu, penyeimbang Manchester City. Kompatriot Firmino, Phillipe Coutinho, menunjukkan bahwa ia sempat lebih bahagia bermain untuk timnas ketimbang untuk Liverpool.

Dua gelandang dari Barcelona dan Real Madrid, juga tak bisa ditepikan begitu saja. Paulinho, mematahkan semua cibiran dan keraguan ketika ia bergabung bersama Barcelona. Casemiro? Sejak musim lalu, gelandang bertahan ini mendapatkan titel sebagai salah satu gelandang terbaik di dunia. Ia tak hanya tangguh, jago gaprak, tapi juga cerdas dan berbahaya.

Sudah semua? Belum, masih ada Willian yang bermain untuk Chelsea dan Renato Augusto yang bermain di Beijing Gouan. Dan jangan lupakan juga nama-nama yang bermain di liga lokal, seperti misalnya Luan dan Arthur yang baru saja mengantar Gremio menjuarai Copa Libertadores. Dua pemain ini tak hanya cerdas, namun paham makna bekerja keras. Skuat asuhan Tite ini juga “sudah teruji” ketika nama-nama belia mereka merebut medali emas Olimpiade 2016 yang dilaksanakan di Rio de Janeiro, Brasil.

Di lini belakang, dua palang pintu PSG menjadi andalan, Thiago Silva dan Marquinho. Di pos bek sayap, Brasil punya dua bek sayap terbaik di dunia saat ini, Marcelo dan Dani Alves. Skuat yang betul-betul komplet.

Nama-nama yang luar biasa. Namun, kekuatan terbesar Brasil ada pada pelatihnya. Tite, adalah sosok bapak yang begitu memahami kebutuhan anak asuhnya. Tite pula yang bisa membuat hati Neymar tersentuh hingga menangis karena perhatiannya yang besar. Kedekatan ini membuat sang pelatih bisa memacu pemainnya sejauh mungkin, menembus batas kemampuan.

Salah satu kebiasaan Tite yang disambut pemainnya dengan bahagia adalah kebiasaannya memberikan jatah kapten kepada pemain yang berbeda. Kebiasaan ini dipandang tidak sehat. Namun, para pemain justru merasa sangat dihargai karena keberadaan mereka sangat penting bagi rekan-rekannya.

Kedekatan pemain dan pelatih pula yang membuat Carlos Alberto Parreira mampu membawa Brasil menjuarai Piala Dunia 1998 dan Luiz Felipe Scolari di Piala Dunia 2002. Deretan nama besar yang tengah moncer, ditambah pemain-pemain muda berprestasi, Brasil sudah berada dalam mode siap tempur.

Namun, apakah semuanya akan berjalan dengan lancar bagi Selecao?

Kesempurnaan Brasil adalah seperti persiapan menyambut kedatangan badai. Jika dipersiapkan dengan baik, badai sekeras apapun bisa dilewati dengan aman. Namun, jika “persiapan” ini diremehkan, badai yang datang akan merusak semua harapan dan kerja keras.

Badai di grup Grup E akan dihadirkan oleh Swiss, Serbia, dan Kosta Rika, di mana ketiganya punya satu kesamaan, yaitu skuat yang merata, dan cara bermain yang kurang lebih sama ketika meladeni Brasil.

Mereka bertiga akan bertahan, dengan garis pertahanan rendah. Kosta Rika harus diwaspadai ketika cara bermain seperti ini terlihat di lapangan. Di Piala Dunia 2014 yang lalu, skuat asuhan Oscar Ramirez berhasil menjadi pemuncak klasemen grup yang di dalamnya dihuni negara-negara seperti Italia, Uruguay, dan Inggris.

Pengalaman Kosta Rika ini adalah aset yang berharga. Artinya, mereka paham bagaimana memperlakukan tim besar di kompetisi berat seperti Piala Dunia. Ketika tekanan semakin berat, Kosta Rika justru menemukan cara untuk keluar. Cara bermain dan kekuatan mental seperti ini yang akan selalu dihindari negara besar.

Sedikit perbedaan ada pada tim Swiss. Negara yang menjadi tuan rumah Piala Eropa 2008 bersama Austria ini pernah gagal ketika justru melakoni pertandingan paling penting. Tepatnya ketika memperebutkan jatah lolos otomatis ke Piala Dunia 2018. Swiss justru kalah dari Portugal, di pertandingan terakhir dengan skor 0-2.

Pengalaman-pengalaman ini yang menjadi gambaran pendekatan sebuah tim terhadap sebuah pertandingan. Memang, situasi akan berbeda ketika Piala Dunia sudah dimulai. Namun, di sepak bola, sejarah pertandingan sering terulang. Pendekatan sebuah negara non-unggulan di sebuah pertandingan akan menentukan sejauh mana mereka akan melangkah.

Serbia pun bisa diperlakukan sama. Sejak tak lagi menjadi bagian dari Yugoslavia, Serbia tak pernah lolos dari babak putaran grup. Pun ketika masih bernama Serbia Montenegro, negara berperingkat 37 dunia ini hanya mencapai babak 16 besar di Piala Dunia 1998.

Ketika bisa bermain dengan tingkat disiplin tertinggi, ketiga tim ini akan sangat menyulitkan Brasil. Ingat, hanya tingkat disiplin tinggi yang akan membuat Swiss, Serbia, dan Kosta Rika bisa menantang Brasil. Ketika ketiga mencapai level tersebut, Brasil akan merasakan penderitaan yang sebelumnya tak mereka rasakan di babak penyisihan zona CONCACAF.

Brasil akan selalu diunggulkan. Grup E, bagi mereka adalah pantai dengan cahaya yang bersahabat, hangat dan menyenangkan. Tapi di ujung cakrawala, bibit badai bisa terbentuk. Kewaspadaan dan kerendahhatian yang akan menyelamatkan Brasil.

Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen