Andai sebuah kekeliruan tak membawanya ke Indonesia, Jacksen Ferreira Tiago mungkin tak akan pernah dikenal sebagai salah satu figur sepak bola tersukses, baik sebagai pemain maupun pelatih. Mari kita lihat kembali 23 tahun perjalanan pria Brasil ini di Indonesia.
”Saya datang ke Indonesia karena sudah banyak sekali pemain di Brasil,” kata Jacksen seperti dikutip situsweb emosijiwaku. “Saat itu usia saya sudah 26 tahun, dan usia segitu sudah dianggap tua di sana.”
Maka, ia pun menerima tawaran seorang agen yang akan mengirimnya ke Malaysia. Pada tahun 1994, ia pun berangkat bersama enam pemain Brasil lain. Dua di antaranya juga pernah bermain di Indonesia, yaitu Carlos de Mello dan Gomes de Olivera.
Ternyata, para pemain Brasil tersebut tak diberangkatkan ke Malaysia. Namun, negara tujuan mereka berubah menjadi Indonesia. Bagi Jacksen, akhirnya kekeliruan ini membawa berkah bagi hidupnya.
“Saya sudah mencapai semua di Indonesia. Puji Tuhan, karier saya berkembang. Dari segi profesional sudah bagus dan juga dari segi kesejahteraan,” sambungnya.
Tak banyak yang diketahui tentang karier bermain Jacksen semasa di Brasil. Bagi penggila sepak bola di Indonesia, pemain berposisi penyerang ini seolah turun dari langit ketika langsung mencuri perhatian bersama Petrokimia Putra pada Liga Indonesia (Ligina) edisi pertama, yaitu pada tahun 1994/1995 lalu.
Ia memang gagal keluar sebagai juara di partai final yang dimenangi Persib Bandung. Kekecewaan itu terulang kembali pada final Ligina 2 pada tahun 1995/1996. PSM Makassar yang dibelanya juga takluk dari klub asal Bandung, Mastrans Bandung Raya.
Namun, masa tersuksesnya sebagai pemain profesional pun akhirnya terjadi di Indonesia pada musim kompetisi 1996/1997. Saat itu ia memperkuat Persebaya Surabaya. Ia memperkuat klub kebanggaan masyarakat Surabaya tersebut bersama rekan setimnya di PSM, Yusuf Ekodono, dan rekan senasibnya dari Brasil, Carlos de Mello.
Kombinasi Jacksen dan Carlos sangat mematikan. Umpan-umpan matang Carlos banyak yang dikonversi Jacksen menjadi gol, termasuk satu ketika menghadapi PSM di semifinal dan membawa Persebaya menang 3-2. Satu gol penting lainnya dicetak Jacksen ketika mengungguli juara bertahan Bandung Raya di final dengan skor 3-1.
Persebaya pun membawa pulang trofi Ligina dan Jacksen berhak atas penghargaan sepatu emas sebagai pencetak gol terbanyak dengan koleksi 26 gol. Ia sebenarnya sudah siap untuk mengulangi prestasi tersebut pada musim 1997/1998. Sayang, kompetisi terpaksa dihentikan di tengah jalan akibat kondisi politik Indonesia yang tidak kondusif.
Jacksen akhirnya memutuskan untuk hijrah ke Singapura guna membela Geylang United. Setahun di Negeri Singa ternyata tak membuatnya merasakan atmosfer yang sama di Indonesia. Ia akhirnya kembali ke Persebaya untuk musim 1999/2000, meski gagal mengulangi prestasi juara.
Seolah memutar ulang kariernya, Jacksen memilih untuk menutup masa bermainnya di Indonesia sekaligus sebagai pemain profesional di klub pertamanya, Petrokimia. Ia pun memutuskan untuk gantung sepatu pada tahun 2001 pada usia 33 tahun.
Meski demikian, akhir karier sebagai pemain adalah awal karier Jacksen sebagai pelatih sekaligus mulainya cerita indah pelatih bertangan dingin yang kita kenal sekarang ini. Setelah sukses memperoleh lisensi kepelatihan, ia memulai karier sebagai asisten sebelum akhirnya mengambil alih kursi pelatih kepala Persebaya.
Hebatnya, meski terbilang masih hijau sebagai pelatih, Jacksen sukses membawa Bajul Ijo sebagai juara Liga Indonesia 2004. Setelah sempat gagal melatih Persiter Ternate dan Persibom Bolaang Mongondow, ia pun menjadi salah satu pelatih tersukses bersama Persipura Jayapura dengan rekor empat kali juara Liga Indonesia.
Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pencinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’.