Dunia Asia

Hidetoshi Nakata: Sigi Buat Generasi Terkini

Sosoknya disebut pendobrak, mengenalkan cakrawala baru untuk pesepak bola Asia. Hidetoshi Nakata, dengan berani menerima tawaran Perugia, berkarier di Serie A, liga paling sohor pada masa itu. Ia seperti membawa sigi, obor dari bilah bambu, menerangi, memberi contoh bagi generasi terkini.

Musim debut Nakata di Perugia berjalan begitu liar. Ia yang saat itu baru berusia 22 tahun, berhasil mencetak 10 gol. Nakata menancapkan kesan yang begitu mendalam bagi para penggila Serie A. Tak sekadar punya kecepatan, Nakata membalut penampilannya dengan pertunjukkan teknik, kreativitas, ketajaman, dan tentu saja: kerja keras.

“Darah Jepang” mengalir begitu deras, hingga terasa nyata di atas lapangan. Darah pekerja keras dan pantang mundur dari gelanggang yang membuat Nakata mampu “menaklukkan Italia”. Hasil kerja kerasnya berbuah ketika namanya masuk dalam daftar pemain terbaik versi FIFA dan Ballon d’Or. Catatan yang impresif.

Sejak muda, Nakata memang sudah memesona. Di usia 18 tahun, Nakata membantu Bellamere Hiratsuka memenangi Asian Cup Winner’s Cup tahun 1996. Setahun berselang, di usia 19 tahun, ia berhasil menyabet gelar pemain terbaik Asia. Ia, seorang remaja, mendominasi kompetisi tertinggi di Asia.

Karier yang istimewa, wajah yang rupawan, karisma yang terasa, dan kepribadian yang menyenangkan, membuat Nakata menjadi salah satu media darling yang baru di dunia. Bahkan pernah di satu masa, nama Nakata hanya kalah sohor ketimbang David Bechkam, untuk urusan citra diri dan iklan.

Pesona Nakata memang begitu cemerlang, terutama setelah menyita panggung Serie A bersama Perugia dan diboyong AS Roma dengan dana mencapai 21,5 juta euro! Nilai yang cukup tinggi saat itu. Kisah legenda Nakata dipatenkan ketika ia membela Roma.

Tepatnya, ketika ia menggantikan sang pangeran, Francesco Totti, di pertengahan laga. Totti ditarik keluar ketika Roma sudah tertinggal dua gol dari Juventus yang saat itu masih dimotori oleh Zinedine Zidane. I Giallorossi membutuhkan keajaiban dan kepada Nakata mereka menggantungkan asa.

Nakata menyuntikkan tenaga sekaligus kreativitas di lini tengah. Roma seperti dihidupkan kembali setelah tendangan jarak jauhnya gagal dijangkau dua tangan Edwin van der Sar. Gol spektakuler itu dirayakan hanya dengan teriakan kecil dan senyum yang sederhana.

Sentakan yang diterima So Nyonya Tua terus berlanjut. Bidikan jarak jauh dari Nakata menjadi teror malam itu, seperti membebaskan Roma dari belenggu tekanan tuan rumah.

Puncaknya adalah ketika sepakan diagonal tanpa mengontrol bola terlebih dahulu, gagal dijinakkan kiper jangkung asal Belanda itu. Bola muntah produk sepakan teknik tinggi itu disambut dengan cekatan oleh Vincenzo Montella. Roma menyamakan kedudukan dan pulang dengan satu poin krusial. Di akhir musim, Roma memastikan diri menjadi juara.

Satu pertandingan, dua sepakan berteknik tinggi, yang meneguhkan kisah legenda Nakata di tepi kota Turin. Meski namanya semakin harum, Nakata tak bertahan lama bersama Roma. Satu musim kemudian, Nakata bergabung dengan Parma.

Bersama Parma, Nakata sukses merengkuh Coppa Italia. Pencapaian yang sangat baik, terutama setelah merengkuh Scudetto bersama Roma satu musim sebelumnya. Karier Nakata bersama satu klub tak pernah awet. Bersama Parma, Nakata hanya bertahan dua musim.

Penurunan performa membuat Nakata banyak menghabiskan karier dengan status pinjaman. Mulai dari Bologna, Bolton Wanderers, hingga Fiorentina. Ketika usianya menginjak 29 tahun, Nakata mengambil sikap untuk pensiun. Alasannya pensiun sungguh menggugah.

 

Teladan sikap Nakata

Siapa saja yang membaca latar belakang pensiunnya Nakata pasti akan menyunggingkan senyum. Nakata memutuskan menggantung sepatu karena tak lagi merasakan cinta dari sepak bola. Menurutnya, karier sepak bola sudah berubah dari sebuah kesenangan, menjadi urusan bisnis dan mengumpulkan uang semata. Sepak bola tak lagi menggembirakan.

“Hari demi hari, saya semakin menyadari bahwa sepak bola berubah menjadi lading bisnis semata. Saya bisa merasakan bahwa klub hanya bermain untuk uang, bukan untuk bersenang-senang. Saya selalu menganggap bahwa tim itu seperti keluarga besar. Namun, saya tak lagi merasakan perasaan itu lagi. Saya sungguh sedih. Itulah mengapa saya ingin berhenti di usia 29 tahun,” kenang Nakata kepada TMW Magazine.

Nakata memang sering berganti klub. Namun, ia tak mengejar uang semata. Baginya, sepak bola adalah sebuah kesenangan. Perasaan bahagia harus ada di tengah olahraga ini. Perasaan yang, menurut Nakata, seperti ketika anak kecil mendapatkan mainan.

Perasaan bersenang-senang dengan lepas itu pula yang menjadi modal besar bagi timnas Jepang di Piala Dunia 1998. Jepang, dengan Nakata sebagai pusatnya, berhasil merepotkan Argentina. ‘Saudara tua’ Indonesia tersebut bermain begitu lepas, menikmati “tekanan” yang seharusnya mereka rasakan. Jepang tidak takut dengan tekanan, mereka justru menikmatinya. Namun memang, kualitas tim berbicara banyak pada akhirnya.

Tapi perasaan lepas dan bersenang-senang yang ditegaskan Nakata itulah yang penting untuk terus diteladani oleh pesepak bola muda saat ini. Sepak bola adalah karier. Itu hal yang tak bisa dibantah saat ini. Uang juga sebuah pencapaian yang penting, bahkan perlu. Apalagi, jangan sampai klub lupa untuk membayar gaji dan bonus pemain dan mengandalkan pertandingan amal untuk melunasi kewajibannya.

Meski uang juga penting, merasakan kebahagiaan, pada titik tertentu, juga sama pentingnya. Untuk alasan melankolis ini, banyak pesepak bola yang memilih bermain di klub semenjana, meski tiap minggu harus meneguk kekalahan.

Untuk bahagia, terkadang, dibutuhkan bayaran senilai seluruh kekayaan manusia. Namun uang, sering kali, tak bisa membayar semua kebahagiaan yang dirindukan manusia kesepian.

Maka, seperti Nakata, jangan lupa bahagia!

Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen