Zaman saya masih sekolah menengah, AC Milan adalah klub aristokrat. Membicarakannya bersama kawan-kawanmu sekolah, terlebih mendaku diri sebagai penggemarnya, membuatmu jadi manusia pilih tanding di hadapan pergaulan kala itu.
Tapi, zaman berjalan, dan menuju ke era perubahan masing-masing. Tapi bagi Milan, roda nasib nyatanya membuat sang aristokrat dari kota mode ini, perlahan kehilangan statusnya sebagai bangsawan di ranah sepak bola Italia. Juventus, Si Nyonya Tua yang angkuh, menjelma menjadi hegemon tunggal. Si biru dari Naples, bersama seorang eks bankir dan ide permainannya yang atraktif, membawa SSC Napoli muncul sebagai calon aristokrat baru. Lalu, Milan di mana?
Mengawali musim dengan optimisme baru selepas kedatangan pemilik baru dari Cina, Rossoneri membubungkan asa para penggemarnya dengan aktivitas transfer yang tak biasa di musim panas 2017. Bersama Everton, AC Milan adalah satu dari sedikit klub di bulan Agustus lalu yang melakukan pembelian pemain lebih dari 10 pemain dalam satu jendela transfer saja. Pembelian yang penuh gegap gempita dan sorot lampu. Optimisme merebak, harapan diapungkan, misi besar dikejar: tiket untuk kembali ke Liga Champions Eropa.
13 pekan berjalan, Vincenzo Montella kepayahan meracik skuatnya yang disesaki nama-nama baru. Andre Silva dan Nikola Kalinic kepayahan menyesuaikan ritme dengan nama lama seperti Suso Fernandez. Hakan Calhanoglu, Lucas Biglia, hingga Franck Kessie tak cukup solid bertandem di lini tengah karena skema yang kerap berubah-ubah dan tak menentu.
Sang kapten baru, Leonardo Bonucci, banyak menjadi pesakitan karena memaksa Montella bermain dengan skema baru di lini belakang yang butuh waktu lama untuk dimatangkan. Baru 13 pekan, Milan tampak seperti kapal yang tengah oleng dan siap karam kapanpun diterjang badai.
AC Milan sekarang adalah AC Milan yang kampungan
Menghamburkan 200 juta euro untuk 11 pemain baru adalah cara paling kampungan untuk menghabiskan uang dalam satu jendela transfer. Untuk perbandingan saja, dengan dana yang sedikit lebih banyak dari yang dikeluarkan Milan, Paris Saint-Germain (PSG) sukses mendatangkan megabintang 25 tahun dari Brasil, Neymar da Silva Santos Junior. Satu orang Neymar, jelas jauh lebih komersil dari Andre Silva, Nikola Kalinic, bahkan Leo Bonucci sekalipun. Transfer boros dari PSG, yang sialnya, justru membuat transfer Milan terasa norak dan ndeso.
Tidak ada urgensi yang menuntut Milan harus mengeluarkan banyak uang dan merombak skuat di awal musim panas lalu. Hanya nama Gerard Deulofeu yang harus kembali dipulangkan ke Everton, sosok pemain kunci yang dilepas oleh Milan musim ini. Selebihnya, tak ada nama penting di skuat inti yang hengkang. Tak seperti Everton yang kehilangan Romelu Lukaku dan kepayahan menemukan penggantinya hingga terdampar di posisi 16 saat ini, Milan, tak berada di situasi yang sama.
Ini yang kemudian membuat mercato Milan mulai dipertanyakan urgensinya, karena ketika pekan-pekan Serie A tengah berjalan, waktu makin menunjukkan bahwa tim merah-hitam ini justru kepayahan mengejar laju rival-rivalnya di Serie A. Melihat geliat transfer Milan, kamu seperti diberi tontonan orang kaya anyar yang baru pertama kali memegang banyak uang usai memenangkan lotre, lalu membelanjakannya sekaligus tanpa perhitungan matang.
Sah-sah saja, memang, jika uang itu bukan dana pinjaman dan tak ada klausul yang memberatkan di masa depan. Waktu semakin berjalan, di tengah periode limbung Rossoneri, tersiar kabar bahwa Yonghong Li, pemilik baru Milan dari Cina, ternyata memakai banyak dana pinjaman untuk proses akuisisi dan untuk bujet transfer. Prestasi belum jua datang, Milan justru terancam dijual kembali oleh Yonghong Li.
Baca juga: Benarkah AC Milan Terancam Dijual (Kembali)?
Kalau sudah begini, sebelas transfer yang dilakukan AC Milan musim panas kemarin, nyaris tak menyisakan rasa bangga sama sekali. Mendatangkan Andre Silva hingga Bonucci, hanya terasa seperti belanja banyak tanpa tahu cara terbaik memanfaatkan apa yang mereka beli. Tagar #wearesorich hanya terasa omong kosong belaka sebab dengan 200 juta euro, Milan hanya bertengger di peringkat ke-7 dan ngos-ngosan bahkan untuk mengejar tetangganya, Internazionale Milano, yang musim ini berbelanja dengan efisien.
Milan, yang mencuri banyak lampu sorot di bulan Agustus, kini justru tengah terjerembab dalam nasib buruk yang mengintai perjalanan musim mereka yang masih panjang sampai tahun depan. Bersama Everton, Milan memberi pelajaran penting yang seharusnya dipahami baik-baik banyak kesebelasan di era sepak bola industri: jangan norak kalau sedang punya banyak uang, karena Anda belum tentu tahu kapan prestasi akan datang menyapa.
Author: Isidorus Rio Turangga (@temannyagreg)
Tukang masak dan bisa sedikit baca tulis