Di Liga Inggris, ada begitu banyak rivalitas panas antara dua klub tertentu. Banyak faktor yang menjadi pemicu rivalitas ini, misalnya menyoal kesuksesan di berbagai kompetisi dan dominasi di liga, seperti yang terjadi pada Liverpool dan Manchester United. Namun, penyebab rivalitas yang paling lazim di Inggris adalah karena permasalahan geografis.
Kedua klub yang berasal dari kota atau bahkan wilayah yang sama akan memperebutkan status sebagai yang terkuat di daerah masing-masing. Rivalitas antar klub sekota ini banyak sekali di Inggris, beberapa contohnya adalah derbi Merseyside antara Liverpool dan Everton, derbi Manchester antara Manchester United dan City, dan derbi Tyne-Wear antara Sunderland dan Newcastle.
Seringkali, derbi-derbi ini berlangsung dengan panas dan keras, mengingat gengsi yang dipertaruhkan untuk yang menjadi raja di daerah sendiri. Namun, ada satu derbi lokal yang permasalahannya lebih dari sekedar menjadi yang terbaik di wilayah sendiri, yaitu derbi London Utara yang melibatkan Arsenal dan Tottenham Hotspur.
Rivalitas ini bermula ketika Sir Henry Norris, mendirikan Woolwich Arsenal, cikal bakal Arsenal saat ini, di daerah Kent, bagian Tenggara London tahun 1886. Kala itu, Woolwich Arsenal sempat beberapa kali bertanding melawan Tottenham Hotspur yang berbasis di London Utara, namun rivalitas belum benar-benar terjadi ketika Arsenal memutuskan untuk berpindah stadion ke Highbury di London Utara, berjarak hanya sekitar 6,2 kilometer dari stadion milik Spurs, White Hart Lane di tahun 1913.
Kepindahan itu tentu tak disenangi oleh kubu Spurs, meski rival baru mereka saat itu hanya berkompetisi di divisi dua, dan mereka berada di divisi pertama. Kedua klub ini beberapa kali bertemu, dan meskipun Arsenal bermain di divisi bawah, mereka sering mendapat kemenangan melawan Spurs.
Namun, penyebab utama kebencian yang menghinggapi derbi ini terjadi di tahun 1919, ketika divisi satu Liga Inggris menambah kapasitasnya sebanyak dua tim.
Saat itu, Chelsea yang finis di posisi 19 di akhir musim otomatis mendapatkan satu spot dari penambahan dua tim ini, sehingga dipastikan posisi mereka aman. Sementara, satu spot tersisa ternyata akan ditentukan melalui pengambilan suara. Kandidat terkuatnya adalah Tottenham yang duduk di peringkat 20 divisi satu dan Barnsley yang finis di peringkat tiga divisi dua, namun, lima klub lainnya yang duduk di bawah Barnsley, termasuk Arsenal yang ada di peringkat enam divisi dua, turut ikut serta dalam voting ini.
Arsenal pada saat itu memang bermain hanya di divisi dua dan finis di peringkat enam, namun mereka memiliki dukungan kuat, salah satunya dari petinggi liga yang juga merupakan bos Liverpool, John McKenna. Alhasil, Arsenal memenangkan voting dan berhasil menggantikan posisi Spurs di divisi satu.
Wajar saja kubu Spurs mencak-mencak akan hasil ini, karena mereka merasa lebih pantas untuk berada di divisi satu mengingat posisi mereka sebelumnya. Tak hanya itu, mereka juga menuduh Sir Norris menyogok beberapa petinggi FA demi mendapatkan tiket promosi, meski kemudian tuduhan ini tak terbukti. Kejadian ini tentunya sangat menyakiti hati kubu Spurs, dan menjadi penyulut kebencian mereka terhadap Arsenal yang bertahan hingga saat ini.
Rupanya, bukan ini saja penyebab rivalitas panas antara The Lilywhites dan The Gunners. Ketika Arsenal pertama kali pindah ke London Utara, mereka paham bahwa sebagai pendatang setidaknya mereka harus membuat pengaruh di London Utara. Salah satu solusinya adalah mengubah nama stasiun kereta bawah tanah terbesar di London Utara yang bernama Gillespie Road, yang memang sangat dekat jaraknya dengan Highbury, menjadi Arsenal Station.
Mereka melobi pengurus kereta api setempat untuk pengubahan nama ini. Meskipun ditentang keras oleh kubu Spurs, usaha Arsenal berhasil, dan hingga saat ini, Gillespie Road dikenal sebagai Arsenal Station. Tentu, hal ini menjadi langkah yang terhitung progresif saat itu, menjadikan nama klub sebagai nama stasiun demi mendapatkan pengakuan dan popularitas dari warga London Utara.
Langkah ini juga sudah tentu membuat Arsenal dibenci oleh pendukung Spurs, yang bila diibaratkan, merupakan “anak asli kampung situ”. Bayangkan, bagaimana rasanya menjadi orang yang lebih dulu tinggal di satu tempat, lalu tiba-tiba tempat penting di daerah anda tinggal diklaim oleh orang lain. Wajar rasanya, bahkan hingga saat ini, pendukung Spurs masih menyebut Arsenal Station sebagai Gillespie Road, dan ketika Arsenal hijrah ke Stadion Emirates di tahun 2006, pendukung Spurs membuat petisi untuk kembali mengubah nama Arsenal Station menjadi Gillespie Road.
Kisah “perampokan” ini tentunya membuat perih kubu Spurs, terlebih ditambah fakta bahwa Arsenal adalah klub yang lebih sukses ketimbang tetangga sekaligus musuh beratnya itu. Total trofi domestik Arsenal mencapai 29, jauh meninggalkan Spurs yang hanya memiliki 14 trofi, dan oleh karena itu, Arsenal-lah yang disebut-sebut sebagai wajah dari sepak bola London Utara.
Sebagai pendukung Spurs, berat rasanya menerima hal itu disematkan kepada para pendatang, bukan ‘pribumi’, seperti isu yang sedang sensitif di Jakarta akhir-akhir ini.
Meskipun begitu, untuk saat ini, Spurs tentu memiliki peluang untuk menggeser Arsenal sebagai yang terkuat di London Utara. Musim lalu, Mauricio Pochettino akhirnya berhasil mematahkan dominasi Arsenal (dan Arsene Wenger) setelah mampu membawa Spurs untuk akhirnya finis lebih tinggi ketimbang Arsenal untuk yang pertama kali sejak 22 tahun.
Malam nanti, akan tersedia derbi London Utara pertama musim ini, dan sudah tentu laga akan berjalan panas. Bagi Arsenal, laga ini tentu akan sangat krusial untuk kembali merengkuh kejayaan mereka di London Utara, sementara bagi Spurs, kemenangan akan mengukuhkan status mereka sebagai anak lokal yang mampu merebut kembali kekuasaan mereka yang dirampok oleh tetangga barunya.
Selamat menikmati!
Author: Ganesha Arif Lesmana (@ganesharif)
Penggemar sepak bola dan basket