Tanggal sebelas bulan sebelas menjadi hari yang berkesan untuk seorang Ponaryo Astaman. Di laga melawan Arema FC, mantan kapten kesebelasan timnas Indonesia tersebut memainkan pertandingan terakhirnya di sepak bola profesional. 17 tahun karier seorang Ponaryo Astaman malang-melintang di kancah sepak bola Indonesia.
Dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, Ponaryo memberikan ucapan perpisahan kepada Borneo FC yang menjadi klub terakhirnya di level sepak bola profesional. Pemain kelahiran Balikpapan tersebut menyebut bahwa kesebelasan asal Samarinda tersebut mungkin bukan tempat asalnya, tetapi klub tersebut merupakan “rumah” yang ia pilih.
Tak lupa ia juga memberikan terima kasih kepada seluruh elemen klub yang menerimanya di dua tahun terakhir kariernya jelang pensiun. Kabarnya, Ponaryo akan melanjutkan baktinya kepada tim Pesut Etam sebagai salah satu staf pelatih di musim kompetisi mendatang.
Liga 1 2017 Menjadi Kompetisi Terakhir @ponaryoastaman Sebagai Pemain Sepakbola Profesional. Legenda Hidup Sepakbola Indonesia Kelahiran Balikpapan Ini Memilih Pensiun bersama Borneo FC di Stadion Segiri, Samarinda, Sabtu 11 Novembee 2017. Respect Capt! #JayalahPesutEtam pic.twitter.com/OPcPg5bzsC
— Borneo FC Samarinda (@BorneoSMR) November 13, 2017
Mengawali karier di Kalimantan Timur, mengakhiri karier Kalimantan Timur
Nama Ponaryo Astaman melejit ketika ia mencetak gol spektakuler di Piala Asia 2004. Ia kemudian menjadi pemimpin Indoensia di Piala Tiger (kini Piala AFF 2004). Ponaryo menjadi kapten timnas Indonesia dari tahun 2004 hingga tahun 2008. Estafet kepemimpinan kemudian diserahkan Ponaryo kepada Charis Yulianto.
Ponaryo memang identik dengan PSM Makassar dan Sriwijaya FC, karena di dua klub tersebutlah ia meraih segalanya. Bersama PSM, ia memasuki jajaran teratas pesepak bola nasional. Setelah menjadi runner-up Liga pada tahun dalam dua tahun beruntun 2003 dan 2004, sementara di Sriwijaya FC, Ponaryo mendapatkan sesuatu yang sudah lama didambakan, yaitu gelar juara Liga pada tahun 2012.
Meskipun demikian, nyatanta daerah Kalimantan Timur-lah yang memiliki arti penting bagi seorang Ponaryo. Ia lahir di Balikpapan dan klub profesional pertamanya adalah Persiba. Ia lalu hijrah ke PKT Bontang, di mana ia kemudian berhadapan dengan tim yang selanjutnya ia bela, PSM, si partai final Liga Indonesia tahun 2000.
Ponaryo bermain di PKT Bontang dari periode 2000 hingga 2003, lalu hijrah ke PSM Makassar. Setelahnya ia sempat bermain di beberapa kesebelasan besar sepak bola Indonesia mulai dari Arema, Persija, hingga Sriwijaya FC. Ia juga sempat berkarier di Malaysia bersama TMFC pada tahun 2006.
Di seberang pulau, Syamsul Bachri juga sudah gantung sepatu. Di saat yang sama, Ponaryo Astaman, yang sempat bertandem dengan Syamsul di lini tengah PSM Makassar maupun di timnas Indonesia, juga melakukan hal yang sama. Duka karena kehilangan bukan saja terjadi di kancah sepak bola Eropa, tetapi juga terjadi di sepak bola Indonesia.
Karier kepelatihan kemudian dipilih oleh Ponaryo sebagai pelabuhan selanjutnya. Akan tiba masa di mana kita tidak lagi memanggil Ponaryo dengan sebutan kapten tetapi coach Ponaryo.
Kata nereka tentang sosok Ponaryo Astaman
“Saya pikir sebenarnya ia masih bisa bermain setidaknya untuk beberapa tahun ke depan. Ia punya attitude yang bagus sehingga seluruh pemain menghormatinya. Ponaryo merupakan sosok yang bisa bercanda, tetapi juga bisa serius ketika waktunya memang mengharuskan dirinya untuk fokus dan serius. Saya mendoakan dia sukses di pilihan karier selanjutnya.”
- Kunihiro Yamashita, Bek dan Wakil Kapten Tim Borneo FC.
“Ikon sepak bola Indonesia. Itu satu kata yang terlintas di kepala saya ketika berbicara soal sosok Ponaryo. Saya bisa berbicara banyak hal dengan dia, baik di dalam maupun di luar lapangan. Luar biasa karena bahkan di usianya yang sudah tidak muda lagi, ia masih tetap bermain dengan bagus.”
“Menurut saya ia merupakan sosok pemain yang melepaskan kepentingan individu demi kesuksesan tim. Banyak pemain muda mesti melihat bagaimana sikap seorang Ponaryo di dalam maupun di luar lapangan. Akan sangat sulit bagi Indonesia setelah era Ponaryo, Firman (Utina), Bambang (Pamungkas), dan (Ricardo) Salampessy, untuk menemukan pemain yang bersedia melakukan segalanya untuk tim.”
- Vladimir Vujovic, Bek Persib Bandung
“Dia salah satu gelandang cerdas dan genius yang pernah dimiliki timnas Indonesia. Sikapnya profesional, dan terbuka. Bagi beberapa orang yang belum terlalu dekat denganya, bisa jadi akan menganggapnya orang yang kaku. Tetapi sebenarnya ia adalah orang yang sangat bersahabat dan mudah membaur. Kawanku, kudoakan sukses di karier selanjutnya”
- Firman Utina, tandem Ponaryo Astaman di timnas Indonesia dari periode 2004 hingga 2008
“Ada rasa tegang dan canggung ketika pertama kali kami bertemu. Tetapi ia merupakan sosok yang baik. Legenda hidup sepak bola Indonesia, panutan saya di dalam dan di luar lapangan.”
- Abdul Aziz Luthfi, gelandang Borneo FC, teman sekamar Ponaryo di mess Segiri.
Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia