Nasional Bola

Indonesia (Sudah) Tak Butuh Sepak Bola

Antusiasme masyarakat Indonesia, saya termasuk di antaranya, terhadap cabang olahraga bernama sepak bola sejatinya tak ada duanya. Berbagai hal rela dilakukan mayoritas warga Indonesia guna menyaksikan dan mendukung klub lokal ataupun tim nasionalnya.

Saya pun berani bertaruh, jika afeksi orang-orang Indonesia kepada olahraga yang dimainkan 22 pemain ini bahkan setara dengan masyarakat di kawasan Amerika Latin yang menjunjung sepak bola bak sebuah agama.

Namun sayang seribu sayang, atmosfer sepak bola di Indonesia tak setenang dan semanis di negara-negara yang lain. Jangan membandingkannya dengan wilayah Eropa atau Amerika Latin yang segalanya sudah terkontrol dengan apik (meski ada juga kasus-kasus negatif yang mengemuka), sepak bola di sini bahkan belum sampai pada tingkatan yang sama seperti di beberapa negara Afrika, Karibia, sampai Oseania.

Bicara prestasi di level dunia, sepak bola Indonesia cuma liliput dihadapan cabang olahraga angkat besi ataupun bulutangkis. Di saat keberhasilan usang mendapatkan medali emas South East Asia (SEA) Games 1991 yang lalu jadi nostalgia yang indah di ajang sepak bola, dua cabang olahraga yang beritanya kerap dianaktirikan itu justru telah berulangkali menyumbang medali di level yang lebih tinggi semisal Asian Games dan juga Olimpiade.

Sialnya, perasaan cinta kelewat besar yang dimiliki masyarakat Indonesia terhadap sepak bola juga yang kemudian bikin segelintir pihak dapat memanfaatkan situasi tersebut dengan sebaik-baiknya, sesempurna-sempurnanya, untuk kepentingan mereka.

Ya, sudah menjadi rahasia umum bila sepak bola di negeri ini kerap ditunggangi untuk sejumlah kepentingan, baik individual maupun kelompok. Entah yang berkaitan dengan unsur politik maupun sekadar mengincar keuntungan pribadi.

Usai federasi (PSSI) lepas dari sanksi yang dijatuhkan induk organisasi sepak bola dunia (FIFA) beberapa tahun lalu, harapan masyarakat Indonesia agar sepak bola nasional berjalan lebih baik dan ada pada koridor-koridor yang semestinya meluap-luapat. Tapi sial, harapan tinggal harapan karena kenyataannya, kebobrokan sepak bola Indonesia tak kunjung berakhir dan malah semakin menjadi-jadi.

Kompetensi orang-orang yang memegang kuasa di tubuh federasi kembali dipertanyakan. Sejumlah cibiran bahwa mereka sebenarnya cerdas dan ahli namun pura-pura idiot pun kerap muncul.

Khusus dalam pagelaran Go-Jek Traveloka Liga 1 dan Liga 2 musim ini saja, berulangkali muncul kasus-kasus dagelan yang dibuat oleh PSSI dan PT. Liga Indonesia Baru (LIB) sebagai operator kompetisi.

Baca juga: Sepak Bola Indonesia: 50% Rusuh, 40% Dagelan, 10% Hiburan

Mulai dari jadwal kompetisi, subsidi yang didapat klub, hak siar televisi, sanksi yang dijatuhkan kepada klub maupun pemain dan masih ada banyak hal lain lagi yang kalau saya tulis satu per satu, bisa membuat Anda malas membaca tulisan ini lagi.

Paling teraktual, tentu saja kasus yang melibatkan Mohammed Sissoko dalam laga Mitra Kutai Kartanegara dan Bhayangkara FC. Keruwetan muncul terkait pertandingan tersebut usai PSSI via Komite Disiplin (Komdis) menyatakan bahwa Sissoko tidak boleh diturunkan pada laga itu karena masih mendapat sanksi larangan bermain setelah menerima kartu merah di laga sebelumnya.

Lucunya, persoalan ini justru tidak diketahui secara pasti oleh manajemen Mitra Kukar lantaran surat yang dikirimkan Komdis kepada pihak mereka justru tak mencantumkan nama Sissoko sebagai pemain yang dilarang tampil melawan Bhayangkara FC.

Akibat ‘kesalahan prosedural’ dengan menurunkan pemain yang dilarang tampil, Mitra Kukar dihukum kalah walk-out (WO) dengan skor 0-3. Segalanya makin jadi polemik karena Bhayangkara FC menjadi pihak yang diuntungkan berkat ‘kemenangan’ itu. Persaingan sengit di tangga juara dengan Bali United pun langsung hilang hanya dalam tempo sehari usai Komdis memutuskan hal tersebut.

Selepas masalah ini, saya pun masih percaya dan yakin jika berbagai kejutan bakal muncul dari ajang Liga 2 yang telah mementaskan babak 8 besar. Seperti apa bentuknya? Tunggu saja tanggal mainnya.

Baca juga: Dagelan PSSI di Babak 8 Besar Liga 2

Dosa-dosa yang diukir oleh PSSI dan PT. LIB musim ini sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Namun, sekesal apapun kita sebagai pencinta sepak bola, takkan bisa membuat senyum di wajah-wajah pengurus PSSI dan PT. LIB lenyap ditelan Bumi.

Para penggemar sepak bola Indonesia, yang mencintai permainan ini dengan tulus walau kadang saking cintanya juga gemar berbuat anarkis, adalah pihak yang paling sering jadi korban. Cinta mereka kerap bertepuk sebelah tangan.

Bukan karena klub jagoannya kalah atau gagal juara, namun lebih diakibatkan oleh kejadian-kejadian aneh dan tak terduga yang lahir dari kompetisi. Regulasi yang sedari awal dibuat oleh PSSI dan PT. LIB justru tiba-tiba memiliki makna lain yang membuat segala sesuatunya bisa berubah seketika.

Sialnya, ini tidak terjadi kemarin sore, segalanya seperti telah terstruktur sejak belasan atau bahkan puluhan tahun yang lalu. Sepak bola Indonesia, disadari atau tidak, memang jadi rumah yang begitu nyaman untuk para mafia. Karena segala sesuatu yang berputar di kompetisi sepak bola nasional, semua bergantung kepada pesanan mereka.

Dipandang dari kacamata kuda sekalipun, sepak bola kusut di negeri ini memang lebih banyak mendatangkan mudharat ketimbang manfaat. Energi di dalam tubuh ini juga terasa habis tiap kali membahas atau memikirkan kondisi sepak bola lokal.

Kalau sudah begini, mungkin ada baiknya jika sepak bola dihapuskan dari Indonesia. Supaya cerita-cerita muram dan memalukan yang selama ini sering muncul, bisa hilang total, demi kehidupan yang lebih baik. Cukuplah kita bersemangat dan total dalam mendukung atlet-atlet angkat besi dan bulutangkis yang prestasinya sudah jelas itu.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional