Eropa Italia

Keterpurukan dan Kebangkitan Bryan Cristante

Tidak mudah bagi seorang pemain sepak bola muda untuk bangkit dari keterpurukan setelah sebelumnya dibebani ekspektasi yang terlalu tinggi. Namun Bryan Cristante sejauh ini membuktikan bahwa ia bukanlah orang itu. Sempat dianggap sebagai wonderkid lulusan akademi AC Milan yang gagal memenuhi potensi bersama Rossoneri, kini ia telah bangkit bersama Atalanta. Gol yang dibuatnya akhir pekan lalu ke gawang SPAL dalam lanjutan kompetisi Serie A Italia merupakan yang keempat baginya musim ini, menegaskan perannya yang semakin vital bagi La Dea.

Berbicara soal nama, Bryan bukanlah nama yang lazim dimiliki orang Italia. Sang pemain sendiri yang angkat bicara tentang nama uniknya itu. “Ayah saya lahir dan besar di Kanada, dan kemudian memberikan nama Bryan kepada saya. Hal ini juga yang membuat saya memiliki dua paspor,” jelasnya dalam sebuah wawancara kepada situsweb Vivo Azzurro.

Mungkin saja sang ayah merupakan penggemar dari Bryan Adams, penyanyi pop/rock pencetak hits yang juga berasal dari Kanada. Melihat Cristante yang lahir tahun 1995 saat Bryan Adams sedang mencapai puncak popularitas, memang masuk akal jika banyak orang tua Kanada yang saat itu menamai putranya sama dengan sang penyanyi.

Kisah penjualan yang mengherankan

Kembali ke Cristante, pemain ini sebetulnya sempat menjadi bagian dari proyek pengembangan pemain muda AC Milan. Menjalani debut tahun 2011 pada usia 16 tahun di ajang Liga Champions dan mencetak gol pertamanya di ajang Serie A saat usianya 18 tahun, Cristante dipandang sebagai wonderkid yang begitu lama tidak dihasilkan akademi Milan.

Pemain yang besar di kota Treviso ini dianggap memiliki atribut untuk menjadi seorang gelandang komplet. Kemampuannya mengumpan dan skill yang tinggi ditambah kematangan bermain yang menonjol untuk pemain seusianya membuat ekspektasi membumbung. Ia pun mampu bermain sama baiknya sebagai gelandang tengah atau gelandang serang. Tempat di tim nasional junior Italia di berbagai kelompok umur pun menjadi miliknya.

Namun kemudian yang terjadi sangat mengejutkan. Jelang musim 2014/2015 dimulai, Cristante dilego ke klub raksasa Portugal, Benfica dengan nilai transfer 5 juta euro. Yang kian mengherankan, saat itu Milan dilatih Filippo Inzaghi, yang notabene mengenal betul Cristante, anak asuhannya semasa di tim Primavera. Keberadaan Inzaghi di tim senior semestinya melancarkan karier Cristante di Milan, namun yang terjadi malah sebaliknya. Bagi para pendukung, penjualan Cristante seperti menertawakan youth project yang kala itu digaungkan klub usai menurunnya performa finansial.

Adriano Galliani, CEO Milan saat itu, mengungkapkan alasan di balik penjualan ini. Cristante saat itu menuntut waktu bermain yang lebih banyak, yang mana tidak dapat ia rasakan jika bertahan di Milan. Ia juga menolak opsi peminjaman ke klub Italia lainnya dengan alasan tidak ingin bertanding melawan Milan. Ditambah dengan reputasi Benfica yang dikenal andal mendidik pemain muda, kepindahan pun terlaksana. Atas ambisi besarnya itu, Cristante kemudian menandatangani kontrak selama lima tahun bersama As Aguias.

Bagi Milan sendiri, ternyata kepindahan Cristante membawa berkah terselubung. Dana yang didapat dari penjualannya memberi ruang bagi Milan untuk mendatangkan pemain baru. Saga transfer pun tercipta dari situ. Dari mulai kedatangan Jonathan Biabiany yang dibatalkan karena gagal di tes kesehatan, Milan pun bergerak cepat mencari target lain. Pada hari terakhir bursa transfer, Milan pun berpaling ke Giacomo Bonaventura, playmaker Atalanta.

Uniknya, Bonaventura pada pagi harinya nyaris bergabung dengan rival sekaligus tetangga, Internazionale Milano. Namun karena Nerazzurri batal menjual Fredy Guarin, Bonaventura batal bergabung. Sore harinya, Bonaventura dihubungi pihak klub soal tawaran sebesar 7,5 juta euro yang datang dari Milan, yang langsung diiyakannya. Kini, Jack Bonaventura adalah pemain kesayangan Milanisti. Dari sini, keputusan Milan untuk menjual Cristante dirasa tepat.

Peminjaman yang mematangkan

Alih-alih mendapatkan keinginannya untuk bermain secara rutin, Cristante malah gagal mendapatkan tempat di tim inti As Aguias. Kegagalan beradaptasi menjadi penghalangnya untuk berkontribusi. Akhirnya, pilihan mudik ke Italia pun diambil sang pemain.

Pertengahan musim 2015/2016, ia hijrah ke Palermo sebagai pemain pinjaman. Di klub yang bermarkas di stadion Renzo Barbera ini, Cristante hanya tampil sebanyak empat kali. Dari calon pemain bintang, Cristante mendapati jalan yang jauh dari kata mudah.

Musim 2016/2017, ia kembali menjalani periode peminjaman. Klub Pescara menjadi pelabuhan berikutnya. Di klub yang kala itu dilatih Massimo Oddo dan diperkuat Alberto Aquilani, ia mendapati reuni kecil bersama sosok-sosok mantan penggawa Milan. Bersama kesebelasan bercorak biru muda dan putih ini, Cristante pun tampil secara reguler.

Namun Cristante baru menemukan permainan terbaiknya ketika paruh kedua kompetisi dipinjamkan ke Atalanta. Datangnya Cristante memang diupayakan untuk menggantikan peran Roberto Gagliardini yang dibeli Inter saat itu. Duetnya bersama Franck Kessie (sekarang memperkuat Milan) membantu Atalanta lolos ke ajang antarklub Eropa.

Berkat performa impresifnya, Atalanta pun mempertahankannya. Musim ini, negosiasi peminjaman ditingkatkan dengan opsi pembelian pada akhir musim nanti. Melihat performanya yang cukup stabil hingga saat ini yang bahkan berbuah pemanggilan ke tim nasional senior, status permanen tentu saja bukan hal mustahil bagi Cristante.

Kisah Cristante ini memperlihatkan bahwa ambisi atau ekspektasi yang terlalu tinggi dapat menjerumuskan seorang wonderkid menjadi pemain medioker. Namun sebagaimana hidup, selalu ada kesempatan kedua. Bagi Cristante, kesempatan itu telah datang dan ia berhasil mengambilnya. Selamat!

Author: Aditya Nugroho (@aditchenko)