Turun Minum Tribe Travel

Mengunjungi Wanda Metropolitano dan Tak Menemukan Atletico Madrid

Pada hari Selasa, 31 Oktober 2017, saya melewatkan perayaan Halloween dengan mengunjungi Stadion Wanda Metropolitano di kota Madrid. Mewakili Football Tribe Indonesia, saya berkesempatan meliput langsung laga tuan rumah Atletico Madrid melawan debutan asal Azerbaijan, Qarabag FK.

Saya keluar dari stasiun metro dan akhirnya berdiri di depan tulisan ‘Wanda Metropolitano’. Saya memandangi bangunan modern tersebut selama beberapa saat. Kesan pertama yang saya dapatkan adalah: mewah.

Kredit: Dokumentasi Mahir Pradana

Investor dari Cina, Wanda Group, memang terlihat sukses mengangkat derajat Atletico Madrid jika melihat kandang baru mereka. Stadion berkapasitas 67 ribu penonton ini telah memperoleh predikat bergengsi sebagai stadion berbintang empat UEFA. Predikat ini setara dengan beberapa stdaion terkenal lain, seperti Allianz Arena dan Amsterdam Arena.

Stadion yang merupakan hasil renovasi stadion tua bernama ‘La Peineta’ ini benar-benar mencirikan bangunan abad ke-21. Wanda Metropolitano terlihat sangat menghindari desain kuno seperti Camp Nou, Santiago Bernabeu, atau ‘saudara tua’-nya, Vicente Calderon. Stadion seharga 240 juta euro yang diresmikan Raja Spanyol Felipe VI ini juga dibuat sibuk dengan persiapan menjadi tuan rumah final Liga Champions 2019.

Salah satu wujud keunggulan desain stadion ini adalah tangga penghubung dari pintu keluar stasiun metro yang menuju stadion. Tribun stadion memang terletak cenderung di atas, sehingga pada bagian bawah bangunan terdapat ruangan yang dipergunakan sebagai toko resmi Atletico Madrid.

Saya melangkahkan kaki dan masuk ke toko tersebut untuk melihat-lihat. Saya pun dibuat terkesima karena ternyata toko tersebut sangat luas, tak hanya berupa ruangan garasi yang disulap dan diisi etalase. Pegawai yang bekerja di toko tersebut juga cukup banyak dan hampir semuanya bisa berbahasa Inggris. Menurut saya, ‘Official Store Atletico Madrid’ ini tak kalah dari dua raksasa Liga Spanyol lain, Real Madrid dan Barcelona.

Kredit: Dokumentasi Mahir Pradana
Kredit: Dokumentasi Mahir Pradana

Tepat di samping toko tersebut, terlihat sebuah ruangan yang masih tertutup. Tulisan di depannya mengatakan bahwa tempat itu akan dijadikan museum Atletico Madrid. Ini semakin menegaskan kuatnya dukungan finansial di balik klub ini sekarang.

Ketika akhirnya berada di tribun penonton, saya semakin bersemangat. Saya sempat menonton langsung Atletico Madrid pada tahun 2012 lalu, ketika mereka masih diperkuat Radamel Falcao. Saya tak akan pernah lupa antusiasme tinggi para Atleticos yang ‘berisik’ dalam pengertian positif, sehingga saya bertekad suatu hari nanti saya harus kembali menyaksikan klub ini berlaga.

Teriakan ‘Atleti, Atleti…’ menggelora dan mengirim sinyal dari penonton kepada para pemain. Sekitar 55 ribu pendukung Atleti tentu saja menginginkan para pemain idola mereka mengalahkan Qarabag, agar tetap bisa bersaing dengan Chelsea dan AS Roma untuk melangkah ke babak enam belas besar. Optimisme juga didukung dengan penampilan nyaris full-team, meskipun tanpa Yannick Carrasco dan Koke yang terkena cedera.

Malam hari di Wanda Metropolitano itu bisa jadi sempurna, seandainya Atletico bermain seperti Atletico. Skuat asuhan Diego Simeone ini sudah menjadi kekuatan nomor satu di Eropa dalam lima tahun terakhir, terbukti dengan dua kali tampil di final Liga Champions dan sekali menjuarai Liga Spanyol. Namun, Atletico yang saya saksikan pada malam itu ternyata berbeda. Penampilan mereka seolah kurang darah dan miskin kreativitas.

Siulan demi siulan bernada mengejek terus-terusan terdengar akibat para penonton tak puas melihat peforma para jagoan mereka, apalagi setelah Qarabag secara mengejutkan mencuri gol lewat skema sepak pojok. Atleti kemudian bermain terburu-buru dengan kesalahan umpan terjadi hampir lima menit sekali.

Untungnya, mereka terhindar dari kekalahan berkat gol spektakuler Thomas Partey. Anehnya, pemain asal Ghana yang dianggap penerus Michael Essien ini justru diganti oleh Simeone. Keputusan ini lalu dikecam banyak kalangan, karena Thomas terlihat satu-satunya pemain Atletico yang tampil cukup bagus.

Hingga akhir pertandingan, Los Colchoneros tak sanggup menambah gol dan harus puas dengan hasil imbang 1-1. Bagi klub sekelas Atleti, ditahan imbang oleh klub antah berantah tentu saja cukup memalukan. Simeone sendiri terkesan menyadari performa buruk anak-anak asuhnya dengan tampil murung pada sesi konferensi pers.

Seorang wartawan senior bahkan mempergunakan kesempatan mengajukan pertanyaan untuk melancarkan kritik. “Tim yang ditahan seri Qarabag itu bukan Atletico yang saya kenal,” kata wartawan itu dalam bahasa Spanyol. “Tim ini kehilangan permainan elektrik yang membuat mereka atraktif dalam beberapa tahun terakhir.”

Dalam hati, saya sepakat. Mungkin semangat dan daya juang Atletico tertinggal di Vicente Calderon, stadion lama mereka.

Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pencinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’.