Pertandingan panas yang ‘membelah’ Prancis menjadi dua itu akhirnya datang juga akhir pekan ini (22/10). Dua kutub berbeda di kancah sepak bola Negeri Anggur, Olympique Marseille dan Paris Saint-Germain (PSG), bakal saling sikut di Stadion Velodrome dalam lanjutan Ligue 1 musim 2017/2018.
Sedikit berbeda dengan laga-laga klasik semacam El Clasico di Spanyol, Derby Della Madonnina di Italia atau bahkan De Klassieker di Belanda, tensi panas yang melibatkan Marseille dan PSG masih terhitung baru di jagad sepak bola dunia. Hal ini disebabkan oleh jarak berdirinya masing-masing klub yang terpaut jauh.
Marseille yang sering dijadikan representasi kaum pekerja dengan status sosial rendah, berdiri pada 31 Agustus 1899. Sementara PSG yang identik dengan masyarakat tajir dan kaum bangsawan, baru dibentuk pada 12 Agustus 1970.
Akan tetapi, segala perbedaan yang ada di antara masing-masing klub justru melahirkan rivalitas klasik yang begitu kental. Ibu kota melawan wilayah provinsi, perseteruan orang-orang utara dan selatan, si congkak melawan para tertindas dan masih ada banyak tajuk lain yang mewarnai laga ini. Seperti air dan minyak, semua itu menjadi sekat pemisah di antara Marseille dan PSG.
Bara api permusuhan yang terjadi di antara kedua klub mulai menyeruak pada era 1980-an silam. Marseille yang ketika itu jadi salah satu penguasa kompetisi lokal bareng Saint-Etienne, merasa terganggu dengan kehadiran PSG yang begitu berisik.
Les Phocéens menganggap jika Les Parisiens berpotensi merusak cita-cita mereka untuk menahbiskan diri sebagai klub nomor wahid di Negeri Anggur. Hal ini didasari oleh keberhasilan PSG yang mencaplok satu titel Ligue 1 dan dua Piala Prancis pada awal era tersebut.
Hadirnya Bernard Tapie, pria asli Paris yang menjadi presiden Marseille, dan stasiun televisi Canal+ di tubuh PSG sebagai pemilik di akhir 1980-an, juga semakin meruncingkan persaingan kedua tim. Sama-sama ingin membangun tim tangguh yang bisa menjadi penguasa, baik Marseille dan PSG lantas mendatangkan sejumlah pemain bintang.
Basile Boli, Eric Cantona, Enzo Francescoli, Jean-Marie Papin, Abedi Pelé sampai Rudi Völler didatangkan manajemen Marseille ke Stadion Velodrome. Sebagai upaya menjawab tantangan sang rival, PSG pun mendaratkan nama-nama beken sekelas Youri Djorkaeff, Luis Fernandez, David Ginola, Rai, dan George Weah ke ibu kota.
Baca juga: Mutiara Hitam Bernama George Weah
Kedatangan para bintang tersebut menjadikan laga Le Classique semakin ketat dan penuh gengsi. Terlebih, di pengujung 1980-an dan awal 1990-an, masing-masing tim kebanjiran sejumlah trofi, baik di level domestik maupun Eropa. Sampai hari ini pun, Marseille (Liga Champions 1992/1993) dan PSG (Piala Winners 1995/1996) masih tercatat sebagai dua klub asal Prancis yang pernah menggondol gelar antarklub Eropa.
Aroma panas yang melibatkan kedua kubu di atas lapangan juga memantik perseteruan di antara pendukung fanatik Marseille dan PSG. Berulangkali, bentrokan hebat di antara mereka menyebabkan korban jiwa. Situasi buruk inilah yang membuat pihak keamanan Prancis selalu waspada dan beberapa kali melarang tim tamu untuk melakoni awaydays.
Walau begitu, pasang-surut dari laga Le Classique juga sempat muncul pada beberapa kesempatan. Hal ini disebabkan oleh performa angin-anginan yang sempat dirasakan masing-masing tim, khususnya di awal milenium baru kemarin tatkala Olympique Lyon menyeruak sebagai kesebelasan yang paling dominan di daratan Prancis.
Hingga akhirnya, seiring kejatuhan Lyon dan membaiknya performa Marseille serta PSG di atas lapangan, gereget Le Classique kembali memuncak. Jargon boleh kehilangan gelar liga asal bukan dari Marseille menggema di Stadion Parc des Princes. Di sisi lain, Stadion Velodrome pun riuh dengan teriakan lunglai dari kesebelasan amatir takkan jadi masalah selama mereka bukan PSG.
Namun kedatangan Oryx Qatar Sports Investment (QSi) sebagai pemilik anyar PSG di awal 2010 kemarin membuat wajah Le Classique sedikit berubah meski tensinya tetap sengit dan keras. Apalagi di momen yang sama, Marseille justru mengalami problem finansial.
Di saat PSG semakin rajin mendatangkan nama-nama mahal seperti Edinson Cavani, Zlatan Ibrahimovic, Javier Pastore, Thiago Silva hingga yang terbaru, Kylian Mbappe dan Neymar, selama beberapa tahun terakhir, Marseille cenderung berhemat dan ‘hanya’ merekrut Cesar Azpilicueta, Michy Batshuayi, Lassana Diarra, Lucas Ocampos, Dimitri Payet, dan Adil Rami.
PSG pun mulai mendominasi pertemuan kedua tim di laga Le Classique dalam beberapa musim terakhir. Kondisi ini sedikit mirip dengan kedigdayaan Marseille di setiap pertandingan yang melibatkan kedua tim di Le Classique pada era 1990-an.
Walau durasi dari rivalitas sengit di antara Marseille dan PSG belum setua Barcelona-Real Madrid atau Ajax Amsterdam-Feyenoord Rotterdam, namun Le Classique tetaplah pertandingan sepak bola yang tak boleh dilewatkan begitu saja. Namanya akan selalu abadi sebagai panggung pertemuan dari sepasang tim yang saling benci namun membutuhkan satu sama lain di tanah Prancis.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional