Selayaknya kompetisi tertinggi di negara-negara Eropa macam Bundesliga Jerman, La Liga Spanyol ataupun Serie A Italia, Eredivisie di Belanda pun mempunyai satu laga bertensi tinggi dan penuh sejarah. Pertandingan yang melibatkan dua kesebelasan mahsyur di negeri kincir angin, Ajax Amsterdam dan Feyenoord Rotterdam, itu mendapat tajuk De Klassieker.
Sedikit berbeda dengan beberapa partai klasik yang lahir akibat pandangan politik, tatanan sosial dan bahkan sektarianisme, rivalitas panas yang terjadi di antara Ajax dan Feyenoord lebih diakibatkan oleh riak kultural dari masyarakat di mana kedua tim bermarkas, Amsterdam dan Rotterdam.
Semenjak Amsterdam dan Rotterdam mendapat status kota dari pemerintah kerajaan Belanda pada abad ke-13 atau jauh sebelum Ajax dan Feyenoord lahir, masing-masing wilayah memang tumbuh dan berkembang dengan kultur yang berlainan.
Amsterdam lebih identik sebagai pusat kesenian di tanah Belanda yang menarik perhatian banyak orang, khususnya seniman, untuk berduyun-duyun mendatangi dan tinggal di kota ini guna mengasah dan mengembangkan kemampuan mereka.
Sebaliknya, Rotterdam yang merupakan kota pelabuhan terbesar dan pusat industri di Belanda, lebih banyak dijejali oleh kaum pekerja yang datang dari penjuru negeri untuk bekerja sebagai buruh pelabuhan, kelasi kapal, dan lain sebagainya.
Baca juga: Dongeng Mbah Budi tentang Feyenoord Rotterdam
Jules Deelder, seorang pendukung Sparta Rotterdam, bahkan pernah berkelakar jika Belanda menghasilkan uang melalui Rotterdam, membaginya di Den Haag (kota yang jadi pusat pemerintahan kerajaan Belanda), dan menghambur-hamburkannya di Amsterdam.
Kondisi kultur dengan corak berbeda inilah yang lantas menjadi ciri khas Ajax maupun Feyenoord sejak berdiri pertama kali. Dibarengi oleh gengsi dari masyarakat masing-masing kota yang meyakini bahwa mereka lebih baik ketimbang yang lain, membuat laga De Godenzonen dan De Trots van Zuid di atas rumput hijau selalu berjalan ketat dan panas.
Sampai hari ini, keduanya pun masih tercatat sebagai anggota De Grote Drie di sepak bola Belanda bareng PSV Eindhoven, sebab bergelimang kesuksesan luar biasa. Bila dihitung, Ajax mempunyai 71 silverwares di lemari trofinya sementara Feyenoord memiliki 37 gelar juara, masing-masing dari seluruh kompetisi yang pernah kedua tim tersebut ikuti.
Sejatinya, Ajax dan Feyenoord sudah bertemu untuk kali pertama di era 1920-an (pada periode Perang Dunia I) yang lalu. Namun bila dikerucutkan pada ajang Eredivisie, kedua tim ‘baru’ memulai rivalitasnya pada era 1950-an.
Puncak rivalitas panas di antara Ajax dan Feyenoord sendiri terjadi pada awal tahun 1970-an. Kala itu, masing-masing klub yang jadi penguasa di Belanda juga sukses menembus empat partai final Piala Champions (sekarang Liga Champions) secara beruntun dan satu final Piala UEFA (kini Liga Europa).
Feyenoord membuka keran prestasi klub-klub Belanda di Piala/Liga Champions dengan menjadi kampiun pada 1969/1970 yang lantas diekori Ajax dengan keluar sebagai juara tiga kali beruntun pada 1970/1971, 1971/1972 dan 1972/1973. Pencapaian hebat De Godenzonen tersebut kemudian dijawab sekali lagi oleh Feyenoord setelah mereka keluar sebagai juara Piala UEFA/Liga Europa di musim 1973/1974.
Di era yang sama, para penggawa dari masing-masing tim juga menjadi tulang punggung lahirnya Totaalvoetbal yang legendaris dan memikat atensi khalayak pada penyelenggaraan Piala Dunia 1974. Meski gagal juara, tim nasional Belanda besutan Rinus Michels tersebut akan selalu dikenang sebagai salah satu kesebelasan dengan performa terbaik sepanjang sejarah dan menjadi cikal bakal permainan modern di dunia sepak bola.
Menariknya lagi, legenda sepak bola Belanda, Johan Cruyff, juga pernah membuat friksi di antara kedua semakin meninggi. Hal ini terjadi pada era 1980-an yang lalu. Cruyff yang ketika itu semakin menua dianggap manajemen Ajax tak layak untuk diberi perpanjangan kontrak.
Merasa geram, Cruyff lantas pindah ke kubu Feyenoord di musim 1983/1984. Proses kepindahan ini sendiri menghadirkan gelombang protes dari suporter kedua tim. Pendukung Ajax marah kepada manajemen karena Cruyff adalah pemain penting yang dianggap pantas memperoleh ekstensi kontrak. Tak peduli bahwa usianya ketika itu mencapai 36 tahun.
Sedangkan pendukung Feyenoord naik pitam karena manajemen bersedia menampung sosok yang di sepanjang kariernya justru identik dengan rivalnya. Sejumlah pendukung De Trots van Zuid bahkan berjanji untuk tidak datang ke Stadion De Kuip untuk menyaksikan tim kesayangannya berlaga selama Cruyff masih ada di sana.
Ajaibnya, Cruyff yang pikiran dan hatinya dipenuhi motivasi balas dendam, justru berhasil mengantar Feyenoord menjadi kampiun Eredivisie di pengujung musim, sebelum akhirnya pensiun dan mengejar karier di dunia kepelatihan.
Perseteruan sengit yang terjadi di antara Ajax dan Feyenoord juga melibatkan pendukung masing-masing kesebelasan. Ketika bertemu, entah di ajang Eredivisie maupun Piala KNVB (Piala Belanda) maupun Johan Cruyff Schaal, mereka acapkali terlibat kontak fisik yang menimbulkan kekisruhan. Bahkan ketika kedua tim mereka tidak berjumpa pun, relasi panas di antara pendukung kedua klub juga tetap berpotensi menimbulkan masalah.
Salah satu buktinya tersaji pada tahun 1997, dua faksi hooligans dari masing-masing kesebelasan terlibat pertikaian sehingga menewaskan salah beberapa orang walau Ajax dan Feyenoord tidak bertemu. Tragedi ini sendiri lantas dikenal dengan sebutan Perang Beverijk. Secuil kisah dari kejadian tersebut bisa Anda baca selengkapnya di sini.
Bagai El Clasico di Spanyol, Der Klassiker di Jerman dan Superclasico di Argentina, rivalitas sengit dalam wujud De Klassieker yang mempertemukan Ajax dan Feyenoord adalah laga prestisius yang selalu ditunggu-tunggu khalayak yang menggemari sepak bola.
Atmosfer panas, gengsi, dan harga diri yang selalu meliputi pertemuan kedua klub merupakan substansi yang tak lekang oleh waktu meski gengsi Eredivisie justru semakin menukik dalam rentang dua dekade terakhir. Sampai kapanpun, De Klassieker yang melibatkan Ajax dan Feyenoord bakal selalu jadi pemanis dari eksistensi Eredivisie di jagad sepak bola dunia.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional