Nasional Bola

Stadion Kanjuruhan yang Tak Lagi Menegangkan

Angin malam kembali menyapa sebuah bangunan raksasa di seberang kompleks perkantoran Kabupaten Malang. Bendera-bendera raksasa berlogo sponsor kompetisi maupun sponsor klub pun menari-nari mengikuti irama yang ditentukan sang angin. Suasana itu kemudian diikuti dengan kendaraan bermotor yang memasuki area parkir secara bertahap, tertib satu per satu.

Malam itu seharusnya menjadi malam yang seperti biasanya bagi Stadion Kanjuruhan. Tak peduli siapapun lawan yang bertamu ke sana, ribuan Aremania akan selalu memadati stadion yang didirikan pada 1997 itu, minimal dua minggu sekali. Namun, malam itu menjelma sebagai malam yang tak biasa bagi Stadion Kanjuruhan.

Berkapasitas hampir 40 ribu penonton, Stadion Kanjuruhan di laga antara Arema FC kontra PS TNI, Sabtu (14/10) lalu, hanya terisi 10 persennya saja. Dengan kata lain, hanya sekitar empat ribu pasang mata yang menyaksikan langsung pertandingan di pekan ke-29 Go-Jek Traveloka Liga 1 itu.

Kabar tentang sepinya Stadion Kanjuruhan kemudian tersebar luas. Sebagai stadion yang identik dengan fanatisme tinggi suporternya, Stadion Kanjuruhan sangat lekat dengan keramaian dan ketegangan yang dialami tim lawan, karena mereka diserbu dengan yel-yel penyemangat tuan rumah sepanjang pertandingan. Akan tetapi, malam itu ungkapan “krik krik” lebih tepat menggambarkan keadaan tribun di Stadion Kanjuruhan.

Spekulasi pun merebak. Beberapa ada yang beropini bahwa Aremania sudah sangat jenuh dengan performa tim kesayangan mereka yang anjlok musim ini, dan tak sedikit pula yang berasumsi bahwa para pencinta sepak bola di Malang saat itu lebih tertarik menyaksikan big match antara Liverpool melawan Manchester United.

Semuanya hanya berupa tebak-tebakan belaka, tapi semua argumen tersebut sangat masuk akal. Seberapapun fanatiknya sekelompok suporter, pasti mereka akan mengalami titik jenuh ketika tim yang didukung tak kunjung menyajikan permainan cantik, minimal meraih kemenangan. Apesnya, ketika performa Arema FC sedang menukik seperti ini, di saat yang bersamaan ada pertandingan lain di luar negeri yang juga disayangkan untuk dilewatkan.

Jika benar laga North West Derby antara Liverpool melawan Manchester United lebih menyedot perhatian para Aremania ketimbang pertandingan Arema FC sendiri, maka bisa dibilang fenomena itu adalah pelarian dari para Aremania untuk menyaksikan pertandingan yang berkualitas.

Arema yang mengundang tanda tanya

Musim ini memang musim yang tak biasa bagi Arema FC. Di awal musim mereka menjadi salah satu kandidat juara dan sempat bertengger di papan atas. Bahkan, mereka berulang kali meraih clean sheet di kandang, termasuk empat clean sheets beruntun di awal musim. Akan tetapi di kemudian hari, Singo Edan perlahan turun peringkat hingga terlempar dari tangga juara.

Berbagai permasalahan pun disinyalir menjadi ganjalan bagi Arema FC untuk berprestasi musim ini. Mulai dari lini depan yang tumpul, usia para pilar utama yang sudah uzur, hingga Kurnia Meiga yang terbaring sakit, diperkirakan menjadi penyebab tumpulnya taring Singo Edan.

Sebuah fenomena yang aneh, karena di Torabika Soccer Championship (TSC) A 2016 dan Piala Presiden 2017 lalu, Arema FC masih sangat perkasa dengan meraih gelar juara di kompetisi yang disebutkan terakhir, dan menjadi runner-up di TSC A 2016. Namun, segala kedigdayaan itu mendadak sirna ketika liga resmi bergulir.

Penunjukan Aji Santoso sebagai pelatih pun tak luput dari kritikan Aremania. Pendiri Aji Santoso International Football Academy (ASIFA) itu disebut tidak dapat mempertahankan kualitas tim yang dibesut oleh Milomir Šešlija di musim sebelumnya. Dengan materi tim yang tidak banyak berubah sejak TSC dan Piala Presiden, Aji Santoso gagal membuat Sang Singa tetap gila.

Sampai kapan?

Kesebelasan sebesar Arema FC sangat disayangkan apabila tidak diikuti oleh ribuan Aremania yang mendukungnya di hari pertandingan. Oleh karena itu, manajemen Arema FC pun telah melakukan berbagai langkah guna meningkatkan animo penonton, seperti memindahkan venue sementara ke Stadion Gajayana di bulan Ramadan lalu, dan berencana merenovasi Stadion Kanjuruhan akhir musim nanti.

Dipindahnya kandang Arema FC dari Stadion Kanjuruhan ke Stadion Gajayana dilakukan untuk mendongkrak jumlah penonton yang sudah mulai surut sejak kompetisi memasuki bulan puasa. Dengan berbagai pertimbangan seperti pertandingan yang selesai larut malam hingga letak Stadion Gajayana yang berada di pusat kota, membuat Singo Edan harus berpindah markas sementara demi meningkatkan animo penonton.

Stadion Kanjuruhan adalah tempat di mana pemain-pemain besar nasional berlaga. Mulai dari Kurnia Sandy hingga Kurnia Meiga, dan dari Alex Pulalo hingga Ahmad Bustomi. Para pemain asing berkualitas bintang lima juga sempat mengharumkan nama Stadion Kanjuruhan dengan aksi-aksinya, seperti Franco Hita, Joao Carlos, Emaleu Serge, dan Noh Alam Shah.

Di Stadion Kanjuruhan pula Arema merayakan gelar juara di Indonesia Super League (ISL) 2009/2010, dan setahun kemudian menjamu Jeonbuk Hyundai Motors, Cerezo Osaka, dan Shandong Luneng di Grup G Liga Champions Asia. Sebuah stadion yang legendaris dengan sejuta kenangan indah, tetapi kini terancam kehilangan nyawanya.

Jika beberapa stadion di Indonesia dikenal karena banyaknya helm yang hilang atau kursi penonton yang hilang, Stadion Kanjuruhan justru menghadapi permasalahan yang lebih pelik: hilangnya animo penonton. Sampai kapan ini akan terjadi?

Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.