Di tengah hujan deras yang mengguyur kota Mataram sore itu, langkah kaki saya tetap kukuh menuju Stadion 17 Desember. Tak peduli bahwa sebagian tubuh sudah basah kuyup, namun hasrat menyaksikan laga uji coba PS Sumbawa Barat melawan Persela Lamongan benar-benar sulit dibendung.
Pada laga yang sukses dimenangi Laskar Joko Tingkir dengan skor telak 4-0 itu, sejumlah pemain berhasil tampil gemilang. Padahal, kondisi lapangan sungguh buruk akibat genangan air yang muncul di mana-mana sehingga lebih cocok disebut sawah ketimbang lapangan sepak bola.
Dari sekian nama yang turun berlaga saat itu, mata saya sulit sekali berpaling dari sosok jangkung yang mengawal jala Persela, Choirul Huda. Menyaksikan figur berusia 38 tahun itu berdiri dengan gagahnya di sana, saya merasa bahwa gawang Laskar Joko Tingkir pasti akan baik-baik saja.
Walau tekanan dari tim tuan rumah saat itu tidak terlalu banyak, namun pria yang akrab disapa Huda ini tak segan-segan untuk berjibaku kala merasa gawangnya terancam. Dirinya siap terbang sembari melentingkan tubuh, menjatuhkan badan menyusur tanah, sampai melakukan kontak fisik dengan pemain lawan. Sejumlah aksi penyelamatan yang ditunjukkannya bahkan mengundang tepuk tangan riuh penonton sore itu.
Selepas laga yang menguras fisik tersebut, saya memperoleh kesempatan emas untuk bertemu dengan pria kelahiran Lamongan, 2 Juni 1979 itu. Terus terang, saya merasa grogi dan salah tingkah. Mirip seperti penggemar yang bakal berjumpa idola mereka. Namun semua perasaan aneh itu lenyap begitu Huda menyapa saya dengan senyuman yang hangat. Padahal, gurat-gurat lelah masih menyembul dari wajahnya.
Perbincangan yang saya lakukan dengannya berlangsung nyaman karena Huda selalu menjawab pertanyaan dengan tutur kata yang lembut, sikap yang ramah, dan sambil melontarkan guyonan sesekali. Sungguh, saya merasakan impresi luar biasa dari sosoknya kala itu. Huda seperti mengenal saya dengan begitu akrab, padahal itu adalah perjumpaan kami yang pertama.
Selama tampil di kancah profesional, Persela adalah satu-satunya kesebelasan yang diperkuat Huda. Stadion Surajaya menjadi tempatnya menyemai mimpi semasa belia, membangunnya dari nol, lalu mewujudkannya dengan cara-cara heroik. Padahal, tawaran dari klub-klub yang punya tradisi dan prestasi lebih mentereng di Indonesia selalu datang kepadanya. Namun Huda selalu menjawab tawaran itu dengan penolakan.
Dirinya enggan pergi dari Lamongan dan menanggalkan kostum Persela. Cinta yang tertimbun di dalam hatinya kepada sepak bola dan kota kelahirannya, ditautkan hanya kepada tim yang berdiri tahun 1967 itu. Huda, dalam benak saya, seperti malaikat penjaga yang dianugerahkan Tuhan secara khusus untuk Persela, Stadion Surajaya, dan kota Lamongan.
Selama 17 tahun karier profesionalnya, entah berapa ratus pertandingan yang dilakoninya berseragam dan menjaga gawang Laskar Joko Tingkir. Baik di kasta paling bawah sampai level tertinggi. Selama itu pula, jutaan aksi brilian diperlihatkannya kepada khalayak pencinta sepak bola nasional, khususnya pendukung setia Persela, LA Mania.
Namanya selalu terselip pada kisah suka dan duka yang dialami oleh Persela dalam mengarungi kompetisi. Walau riak berupa cacian dan kritik juga sering diterimanya dari para suporter, namun sangat pantas rasanya bila sosok Huda dijadikan contoh, panutan, dan pahlawan oleh masyarakat Lamongan. Sebab tak ada pemain yang sanggup mencurahkan seluruh hidupnya buat Persela selain Huda.
Dedikasi dan kesetiaan yang diperlihatkannya kepada Persela juga membuat Huda jadi satu dari segelintir pemain Indonesia yang mendapat label one man club. Ya, Huda adalah sosok langka sekaligus ajaib dalam tatanan sepak bola nasional. Persela adalah Huda, Huda adalah Persela, merupakan jargon yang selalu meluncur dari mulut publik setiap kali membahas keduanya.
Namun kisah romantis Huda dan Persela telah sampai di halaman terakhirnya kemarin petang. Bertempat di Rumah Sakit dr. Soegiri, Huda menghembuskan napas terakhir akibat cedera yang dideritanya kala bermain untuk Persela dalam lanjutan kompetisi Go-Jek Traveloka Liga 1 melawan Semen Padang.
Mata pencinta sepak bola nasional, khususnya LA Mania, sudah barang tentu basah oleh tangis. Sosok legenda yang selama ini mereka kagumi akan loyalitasnya itu, akhirnya pergi. Melangkah menuju tempatnya yang abadi dan hakiki.
Takkan ada lagi aksi-aksi ciamik, yang bakal Huda perlihatkan kepada publik sepak bola Indonesia ketika mengawal jala Persela. Takkan ada lagi ekspresi marah dan kecewa yang muncul darinya setiap kali kebobolan. Takkan ada pula selebrasi gembira khas Huda disaat rekan setimnya mencetak gol.
Akan tetapi, Huda dan segala kehebatannya akan selalu hidup di dalam memori pencinta sepak bola tanah air. Namanya bakal melegenda sebagai salah satu pesepak bola top Indonesia yang kariernya bareng Persela berjalan luar biasa.
Saya pun kini tersadar, pertemuan dengannya di Stadion 17 Desember lalu, bukan hanya yang pertama tapi juga yang terakhir kalinya. Sungguh, rasanya seperti ada yang sesak di dalam hati ini. Namun saya, selayaknya para penikmat sepak bola Indonesia, akan selalu bersyukur karena pernah mengenal sosok bak malaikat penjaga bernama Choirul Huda.
Beristirahatlah dengan tenang, Kapten. Kami semua mencintaimu.
Al-Fatihah.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional