Tepat pukul 17.42, announcer Stadion Gelora Ratu Pemelingan menyampaikan kepada penonton bahwa waktu salat Maghrib sudah tiba. Beliau menyampaikan bahwa jangan lupa menitipkan doa untuk kemenangan Madura United. Petang itu, Jumat (13/10), Madura United ditahan imbang Borneo FC dengan skor 1-1.
Masyarakat Madura yang mayoritas beragama Islam memang begitu intim dengan kepercayaan yang mereka anut. Dua hal, sepak bola dan agama, keduanya bisa berjalan beriringan, tidak saling mengalahkan. Dan petang itu, di sudut-sudut stadion, terlihat banyak anak muda yang bergegas membentuk beberapa baris. Mereka berjamaah, menunaikan ibadah salat Maghrib.
Bagi masyarakat Madura, makna sepak bola juga terus digali, diakrabi. Salah satu frasa yang dengan makna begitu melekat adalah salam “settong dhere”, yang berarti “salam satu darah”. Jika frasa settong dhere diteriakkan, maka jawabannya adalah teretan dhibik yang artinya ‘saudara sendiri’.
Ungkapan saling bersahutan ini sebenarnya justru sering digunakan oleh orang Madura yang tengah merantau dan saling bersilaturahmi. Ketika jauh dari rumah, para orang Madura ini tetap terikat oleh rasa settong dhere dan teretan dhibik. Rasa persaudaraan yang kuat inilah yang coba diinjeksikan ke dalam sepak bola.
Darah yang satu, adalah janji yang terus diperkuat oleh semua elemen suporter Madura United. Janji akan kedamaian, dan persaudaraan. Bukankah hal-hal indah itu juga tercermin dari salat sebagai tiang agama dan niat berjamaah yang mencerminkan hubungan yang dekat, akrab dengan sesama?
Di dalam stadion, di dalam kehidupan suporter, niat bersatu itulah yang terus diperkuat. Seperti misalnya ketika jeda babak pertama antara Madura United melawan Borneo FC. Beberapa suporter Madura mengarak bendera raksasa berwarna hitam, dengan latar belakang gambar Pulau Madura berwarna merah dan putih. Di bawah gambar Pulau Madura, tercetak frasa “Madura Bersatu”. Indah sekali.
“Buat kami, orang Madura, sepak bola itu pemersatu,” ucap Pak Hasan (49 tahun). “Madura ada empat kabupaten; Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Semuanya dipersatukan oleh sepak bola, oleh Madura United ini,” tambah Pak Hasan yang malam itu menonton pertandingan bersama salah satu anaknya.
Pak Hasan adalah salah satu suporter setia Madura United. Bapak berkacamata ini hampir selalu mengikuti Madura United ketika laga tandang. Salah satunya ketika Laskar Sapeh Kerrab dijamu Persija Jakarta. Pak Hasan berangkat bersama anaknya. Nampaknya, kegairahan sepak bola Madura tengah beliau tanamkan dalam-dalam kepada anaknya.
“Pemersatu itu maksudnya seperti kata-kata settong dhere itu,” kata Pak Hasan sambil menunjuk salah satu spanduk suporter. “Settong artinya ‘satu’, kalau dhere, artinya ‘darah. Jadi suporter Madura itu saudara. Bersatu untuk mendukung Madura United,” tegasnya.
Rasa damai di tengah masyarakat, terkadang, tidak membutuhkan teori dan pemikiran yang terlalu jauh. Yang justru dibutuhkan adalah kearifan lokal, nilai paling dekat dengan masyarakat. Bagi orang Madura, pertalian darah adalah kerinduan akan kampung halaman, akan suasana aman ketika berada di tengah keluarga.
Suasana aman di tengah suporter mulai, akan, dan terus dirawat oleh orang Madura yang menggilai sepak bola. Bukankah ini jawaban paling jelas untuk suasana tidak kondusif di tengah panasnya Liga Indonesia? Di tengah kisruh suporter tentara dengan suporter Persita Tangerang, di tengah kisruh Persewangi dan PSBK.
Bahkan, jawaban yang dibutuhkan oleh sepak bola Indonesia, mungkin, ada di sudut-sudut Pulau Garam, Pulau Madura. Pertalian saudara yang kuat, akrab, dan terus dirayakan. Mendorong jauh politik dan produk-produk negatif dari lapangan hijau. Memurnikan sepak bola, menjadikannya hakiki, mutlak soal olahraga yang sportif dan memberi rasa damai.
Salam Satu Darah di mata orang Madura adalah soal pertalian saudara umat manusia. Saling menguatkan, dan bergerak dalam harmoni.
Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen