Kolom

Tak Perlu Sedu-Sedan untuk Lionel Messi

Bagaimana Piala Dunia Rusia 2018 tanpa Lionel Messi? Ya tidak gimana-gimana, biasa saja.

Setahun lalu, di Prancis, publik Eropa tercekat. Belanda, mantan juara Eropa, juga salah satu negara yang menjadi kutub sepak bola terbaik di dunia, gagal lolos ke ajang empat tahunan di putaran final Piala Eropa 2016. Publik tercengang dan pertanyaan yang sama dengan kalimat di awal artikel ini juga muncul: bagaimana nasib Piala Eropa tanpa Negeri Kincir Angin?

Jawabnya pun sama: ya tidak gimana-gimana, biasa saja.

Apa yang perlu disesali dari sebuah tim sepak bola, yang gagal lolos ke ajang akbar di dunia, akibat inkonsistensi dan buruknya performa mereka? Dengan atau tanpa Belanda, kemeriahan Piala Eropa 2016 masih merambah ke penjuru dunia.

Performa Islandia yang memulangkan Inggris di fase gugur, Wales yang melaju hingga semifinal, Portugal dan Fernando Santos yang bermain pragmatis dan juara, serta gol surealis Ederzito ke gawang Hugo Lloris di final, membuat ketiadaan Belanda seperti angin lalu saja. Belanda tidak dirindukan, juga tidak diingat sepanjang turnamen. Sepak bola tetap meriah, dengan atau tanpa Arjen Robben, Wesley Sneijder, hingga Robin van Persie kala itu.

Tapi, itu Belanda, dan ‘hanya’ ada pemain seperti Robben dan Sneijder, bagaimana bila itu Lionel Messi?

Andai, Argentina gagal lolos ke Rusia dan kemudian kita melihat Messi kembali merana dan (mungkin) kembali memutuskan pensiun dari timnas, Piala Dunia 2018 tetap akan meriah. Ini Piala Dunia, bukan Piala Eropa. Ada Brasil yang sudah mengamankan tiket ke Rusia. Berturut-turut, ada Spanyol hingga Jerman, dua kutub terbaik sepak bola Eropa yang juga sudah memastikan kehadiran mereka di Negeri Beruang Merah. Juga jangan lupakan generasi emas Belgia dan Prancis (Prancis belum memastikan lolos otomatis ketika tulisan ini diketik), yang siap menyongsong Piala Dunia dengan penuh optimisme. Dengan atau tanpa Messi, Piala Dunia akan berjalan meriah, ramai, dan megah.

Memang, Messi (mungkin) akan sedikit menurunkan euforia, juga keuntungan finansial yang mungkin dikeruk FIFA dari sponsor. Tapi, bukankah itu baik bagi sepak bola? Sudah terlalu banyak uang berputar di FIFA, bahkan mereka terkena skandal korupsi di rezim Sepp Blatter. Berkurangnya pendapatan dari Piala Dunia akibat absensi La Pulga jelas tak perlu dirisaukan.

Piala Dunia tidak butuh Messi, tapi sebaliknya

Logika ini yang kemudian salah ditangkap banyak orang. Tatap nanar Messi selepas final Piala Dunia 2014 di depan trofi Jules Rimet, memang mengharukan. Ia pemain hebat, yang sampai detik ini, tiga kali gagal di final bersama negaranya, dan tak mampu menyumbangkan prestasi bergengsi semenjak medali emas Olimpiade 2008 di Beijing.

Tapi, Piala Dunia memang tidak butuh sosok Messi dan negara yang tengah terpuruk seperti Belanda. Messi yang butuh Piala Dunia dan bukan sebaliknya. Bila seorang Per Mertesacker saja punya medali juara dunia, tentu seorang Messi, genius sepak bola yang mungkin hanya muncul bak komet Halley, sangat berhasrat memenanginya.

Orang kerap mempunyai rasa takut pada sesuatu yang tidak bisa mereka kontrol. Bagi penonton netral, yang negaranya hanya menjadi pemandu sorak di ajang sekelas Piala Dunia, dengan atau tanpa pemain bintang, saya yakin kita pasti rela bertahan di tengah malam, menyaksikan setiap laga Piala Dunia yang ditayangkan televisi. Saya ingat tiga tahun lalu, di Piala Dunia 2014, terjaga sepanjang malam sampai pagi, menyaksikan laga antara Nigeria kontra Iran yang berkesudahan tanpa gol.

Kita takut tak menyaksikan Messi, sampai kemudian ketika sepak mula Piala Dunia 2018 dimulai dan euforianya menyergap kita, kita perlahan akan lupa bahwa tidak ada Messi di sana. Bintang baru akan lahir, negara baru (mungkin) akan memunculkan kejutan, dan Piala Dunia 2018, seperti Piala Eropa 2016, akan tetap meriah sampai akhir dan memunculkan juara di partai puncak.

Tak ada kesedihan untuk Messi bila ia absen di Rusia

Andai di laga terakhir Kualifikasi Piala Dunia zona CONMEBOL, Argentina kandas di tangan Ekuador, kita akan bersiap menikmati salah satu Piala Dunia tanpa kehadiran bintang terbesar di dunia ini dalam satu dekade terakhir.

Melepas Messi dari Piala Dunia seperti bagaimana publik Argentina melepas Eva Peron. Eva adalah salah satu presiden terbaik Argentina dan menjadi sosok yang begitu ikonik. Begitu berharganya Eva bagi rakyatnya, hingga ketika kepergiannya akibat kanker serviks, membuat negara Amerika Latin ini berduka. Lagu “Don’t Cry For Me Argentina” kemudian menjadi hits, bersamaan dengan meningkatnya karier sang penyanyi lagu, Madonna. Tak hanya itu, kisah Eva Peron juga menjadi inspirasi sebuah film berjudul Evita, yang menangkap rekam jejak sang presiden hingga waktu terakhirnya di dunia.

Dengan penyesuaian seperlunya, lagu “Don’t Cry For Me Argentina” akan menjadi pengiring yang pas untuk didengarkan kala Messi dan kolega bertanding melawan Ekuador tengah pekan nanti. Tengah pekan yang membuat badan kecil La Pulga memikul beban yang mungkin sama beratnya dengan apa yang ia pikul di tiga final yang telah berlalu.

Kaki mungil Messi akan berlarian dengan kondisi yang membuatnya tak bisa nyaman bermain karena tuntutan menang adalah harga mati. Messi, sang juru selamat itu, akan sekali lagi berada di garda terdepan, bahwa ketika negaranya kelak gagal, ia akan menjadi sasaran tembak media di Argentina. Ia kapten, sumber inspirasi, sekaligus pemain terbesar yang pernah ada di Argentina setelah era Diego Maradona berakhir sebagai pemain sekaligus tuhan.

Seperti Eva Peron yang mencoba ‘menghibur’ rakyat Argentina dengan lirik lagu puitis, dengan cara yang kurang lebih sama, Piala Dunia tengah bersiap ‘menghibur’ Messi dengan kalimatnya yang syahdu, “Don’t cry for me, Messi. The truth is, I never left you…..”

Author: Isidorus Rio Turangga (@temannyagreg)
Tukang masak dan bisa sedikit baca tulis