Eropa Lainnya

Paradoks dalam Kasus Sandy Walsh

Dalam beberapa hari ke belakang, publik sepak bola Indonesia dihebohkan oleh Sandy Walsh, pemuda Belanda keturunan Indonesia yang bermain untuk tim Belgia, SV Zulte Waregem. Sandy Walsh memberikan sinyal besar soal memperkuat timnas Indonesia dengan memamerkan foto pelindung tulang kering atau dekker yang ia kenakan berwarna merah putih dengan lambang Garuda.

Setali tiga uang, pelatih timnas Indonesia, Luis Milla Aspas, mengaku berminat untuk memanggil Sandy Walsh. Milla juga mengatakan bahwa dirinya sudah lama mengamati pemain berusia 22 tahun ini. Tetapi pada akhirnya sang pelatih mengembalikan semuanya kepada federasi terkait pemanggilan Sandy Walsh ke tim nasional Indonesia.

Sandy memiliki darah Indonesia dari kakeknya yang berasal dari Surabaya, Jawa Timur. Nenek Sandy pun berasal dari kota di Jawa Timur lain, Malang. Sang kakek sudah memberikan saran kepada Sandy bahwa seandainya ia kesulitan atau tidak mendapatkan panggilan dari timnas Belanda, maka Sandy mesti mempertimbangkan bermain untuk Indonesia.

Tetapi di sinilah masalah kemudian bisa saja muncul. Terutama bagi perkembangan karier seorang Sandy Walsh. Jangan ragukan nasionalisme serta kecintaan penulis terhadap sepak bola Tanah Air, akan tetapi rasanya Sandy Walsh lebih baik tetap menunggu panggilan ke timnas negara lain. Karena selain Belanda, Sandy bisa saja bermain untuk Irlandia dan Swiss yang merupakan garis keturunan sang ayah. Atau bahkan Belgia, yang merupakan tempat kelahirannya.

Sandy Walsh saat ini masih berusia 22 tahun dan kariernya masih sangat panjang. Meskipun SV Zulte Waregem, klub yang saat ini dibela oleh Sandy, tidak tersohor seperti Anderlecht, Genk, Club Brugge, atau Royal Antwerp, di telinga publik sepak bola Indonesia, tetapi klub tersebut sedang mengalami perkembangan yang sangat baik dalam beberapa tahun terakhir. Bisa jadi itu adalah batu loncatan Sandy sebelum memperkuat tim-tim besar di Belgia maupun Eropa.

Karena yang biasanya terjadi setelah para pemain keturunan bermain untuk timnas, justru mereka meninggalkan sepak bola Eropa yang lebih mapan secara kompetisi. Alasan utamanya biasanya adalah agar lebih mudah terpantau oleh federasi. Tidak perlu dihadirkan daftarnya karena para pembaca yang budiman pun sudah tahu tentunya ya?

Yang bernasib agak baik adalah mereka-mereka yang hanya turun level kompetisi saja setelah dipanggil timnas Indonesia. Kasus yang dialami oleh Stefano Lilipaly tentu mesti menjadi pembelajaran. Fenomena yang terjadi kepada para pemain keturunan mesti lebih diperhatikan kembali.

Lagipula di sektor bek kanan, di mana posisi Sandy Walsh bermain, masih ada banyak nama-nama potensial. Mulai dari Putu Gede Juni Antara, Alfath Fathier, hingga Henhen Herdiana. Singkatnya, agak berlebihan dan memenuhi daftar pemain apabila bakat Sandy Walsh kemudian tersia-siakan karena tidak ditangani dengan baik. Anda tentu masih ingat nama Ruben Wuarbanaran bukan? Ke mana dia sekarang?

Bukan tidak ingin sepak bola negeri ini maju, karena impian besar penulis sendiri adalah mendengar Indonesia Raya berkumandang di Piala Dunia. Akan tetapi, apabila Sandy Walsh menyia-nyiakan masa depannya hanya untuk timnas Indonesia, rasanya sayang sekali. Padahal, bisa saja ia memiliki nasib yang lebih baik. Toh, pada akhirnya, meskipun Radja Nainggolan bermain untuk timnas Belgia, publik sepak bola Indonesia pun tetap mencintainya.

Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia