Musibah dibalik berkah
Pepatah boleh saja memopulerkan istilah “berkah di balik musibah”, tapi yang dialami Milan di awal musim ini justru sebaliknya. Dibalik moncernya nama-nama yang tak terduga, terselip aroma kegagalan dari nama-nama yang diproyeksikan mengisi tim utama.
“Musibah” berawal dari dua gol yang dicetak Patrick Cutrone ke gawang Bayern München di pramusim. Dengan usia 19 tahun, brace-nya saat itu adalah sinyal kuat bahwa ia merupakan salah satu pemain muda dengan potensi besar musim ini, selain Manuel Locatelli.
“Kesialan” Montella kembali berlanjut saat penyerang bernomor punggung 63 ini mencetak satu gol masing-masing ke gawang Craiova, Shkendija, Crotone, dan Cagliari. Dari 421 menit yang telah dijalaninya hingga tulisan ini dirilis, Cutrone memiliki rataan satu gol tiap 105,25 menit. Not bad untuk ukuran pemain muda. Namun, dilema Montella tak berhenti sampai di situ.
Fabio Borini yang awalnya ditujukan sebagai pelapis, justru dapat tampil menjanjikan dan selalu tampil penuh di dua laga awal Serie A, menyingkirkan dua penyerang yang memiliki rekor gol jauh lebih baik, yaitu pemuda tampan asal Portugal dan penyerang Kroasia yang namanya mirip sebuah kafe susu di Yogyakarta.
Kehadiran Cutrone dan Borini di lini depan Milan merupakan hal yang tidak diduga. Dalam formasi 4-3-3, tiga slot di lini depan rencananya akan diisi Suso – André Silva – Çalhanoğlu/Bonaventura, atau Suso – Kalinić – André Silva dengan nama terakhir yang bergerak melebar. Namun, panah merah yang ditunjukkan Cutrone dan Borini mengubah rencana awal Montella.
Ia tidak mungkin membangkucadangkan Cutrone begitu saja, karena selain wonderkid-nya itu sedang berada di performa terbaiknya, Cutrone juga merupakan pemain masa depan dari hasil pembinaan sendiri yang sangat butuh jam terbang.
Kemudian untuk Borini, Montella harus memainkan pemain berusia 26 tahun itu sebanyak mungkin mumpung kinerjanya masih konsisten, sebelum ia kembali ke bentuk aslinya sebagai penyerang semenjana.
Jika performa memang lebih diutamakan Montella daripada harga pemain dalam pemilihan starting line-up, Cutrone, Borini, dan Suso merupakan pilihan mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Namun sialnya dua nama pertama justru grafiknya semakin menurun dan puncaknya terjadi di laga kontra Lazio akhir pekan lalu (10/9). WhoScored bahkan hanya memberi nilai 5,9 untuk kedua pemain tersebut, terburuk bersama Mateo Musacchio.
Jika kita bermain Winning Eleven, penurunan performa Cutrone dan Borini dapat langsung ditangani dengan menempatkan Kalinić dan André Silva sebagai penggantinya. Akan tetapi, sayangnya ini adalah dunia nyata dan keputusan mengganti pemain tidak mudah dilakukan karena harus mempertimbangkan berbagai hal.
Kalinić yang baru bergabung di giornata kedua jelas masih membutuhkan waktu adaptasi dengan rekan-rekan barunya. Tidak bijak jika kita langsung menyematkan ekspektasi tinggi padanya di awal-awal kedatangannya. Situasi yang serupa pasti juga pernah kalian alami bukan, seperti ketika datang ke kampus atau masuk kerja di hari pertama?
Parahnya, André Silva yang berstatus pemain termahal kedua Milan sepanjang sejarah juga belum menunjukkan tanda-tanda ketajamannya secara signifikan, bahkan di dua laga terakhir Milan di Serie A kontra Cagliari dan Lazio, ia sama sekali tidak diturunkan.
Situasi yang terjadi di lini depan Milan saat ini mengingatkan saya pada salah satu program hiburan di stasiun televisi swasta yang dibintangi komedian kondang, Cak Lontong. Di program tersebut, peserta diharuskan menjawab teka-teki silang (TTS) dengan pertanyaan yang sebenarnya mudah, tapi jawabannya menjebak. Jawaban dari TTS Cak Lontong selalu tak terduga dan sangat jarang ada peserta yang dapat langsung menebaknya dengan benar.
AC Milan dengan lima penyerang murninya sebenarnya bukan perkara sulit untuk dibentuk menjadi susunan pakem jika mengacu pada nilai pasar dan rekam jejak sang pemain. Akan tetapi, performa adalah atribut penting yang harus didahulukan ketika seorang pelatih menentukan susunan pemain di jelang pertandingan.
Di depan wajah Montella saat ini, layar TTS Cak Lontong yang berisikan susunan penyerang Milan akan selalu menemani kesehariannya, menanti jawaban yang tepat keluar dari mulut pelatih berusia 43 tahun itu.
Jika ia salah menebak lagi, poin akan hangus seketika seperti saat melawan Lazio, tapi jika tebakannya benar, tiga poin akan didapat demi memuluskan langkah untuk kembali ke Liga Champions
Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.