Pada suatu hari, 21 tahun yang lalu, seorang remaja belasan tahun yang masih duduk di bangku SMA, baru saja tiba di bandara Indonesia. Ia datang dari Italia, setelah tinggal di sana selama dua tahun. Ia memang terbang dari Eropa, tapi dia bukan penduduk Benua Biru, karena di sana ia tergabung dengan sekelompok remaja lain yang dikirim dari Indonesia untuk mengasah kemampuan bermain sepak bola.
Saat itu, ia baru lima bulan bersekolah dan harus terbang ke Negeri Pizza untuk mengikuti program pembinaan pemain muda yang dinamai PSSI Primavera. Setelah tiba di Tanah Air, remaja laki-laki itu kemudian kembali berlatih dengan klubnya, Arseto Solo, melanjutkan kiprahnya di kompetisi antar-SSB di Diklat Arseto.
Jumat, 29 Maret 1996, suasana negara kita tercinta di hari itu biasa-biasa saja seperti biasanya. Anak-anak dengan semangat berangkat ke sekolah, para pekerja kantor juga masih sibuk dengan rutinitasnya masing-masing walau sedikit kurang fokus karena tak sabar ingin berakhir pekan, dan para ibu rumah tangga melakukan pekerjaan harian mereka seperti biasanya. Namun, bagi seorang remaja bernama Indriyanto Nugroho, hari itu bukan hari yang biasa baginya.
Bersama Kurniawan Dwi Julianto, Indriyanto adalah salah satu penyerang terbaik yang menetas di Italia. Sama seperti si Kurus juga, setelah pulang ke Indonesia, nama Indriyanto mendadak tenar dan ia menjadi komoditi panas di bursa transfer. Akan tetapi, status sebagai pemain buruan utama saat itu ternyata berujung pada perebutan hak milik.
Polemik ini diawali dengan kebijakan PSSI yang menetapkan bahwa semua pemain hasil binaan proyek Primavera akan dilepas ke klub dengan penawaran tertinggi. Indriyanto sebenarnya saat itu tercatat sebagai pemain Arseto Solo, tapi masalahnya ia tidak terikat kontrak. Itulah titik lemah yang diincar oleh Nirwan Bakrie, pemilik klub Pelita Jaya yang hendak meminang Indriyanto.
Arseto jelas tidak terima dengan pernyataan itu, karena bersama Arseto-lah nama Indriyanto pertama kali meroket di kancah sepak bola nasional. Lagipula, sebelum dan sesudah Indriyanto mengikuti proyek Primavera, ia tetap berlatih di Arseto.
Tak ingin masalah ini terjadi berlarut-larut, PSSI kemudian mempertemukan kedua klub di kantor Sekretariat Liga. Pertemuan saat itu berlangsung panas, karena selain kedua kubu yang saling ngeyel perihal kepemilikan Indriyanto, sang pemain juga semakin memperkeruh suasana dengan mengatakan ke salah satu media cetak bahwa ia tidak dibesarkan oleh Arseto.
Kubu Arseto jelas sangat sakit hati akibat pernyataan Indriyanto itu, melengkapi rasa kecewa mereka pada sikap Nirwan Bakrie yang ditengarai sengaja mengatur situasi untuk merekrut penyerang setinggi 173 sentimeter ini. Nirwan saat itu memang merangkap dua jabatan sekaligus. Selain menjadi direktur komite tim nasional, ia juga merupakan pemilik Pelita Jaya, selain menjadi penyandang dana utama proyek Primavera.
Darah harus dibalas dengan darah, dan penghinaan harus dibalas dengan penghinaan. Arseto, klub yang dimiliki oleh Sigit Harjoyudanto, putra keluarga Cendana, menetapkan angka 100 rupiah sebagai nilai transfer Indriyanto ke Pelita Jaya. Sebuah nilai transfer yang sangat rendah, karena mereka juga merasa direndahkan oleh anak asuhnya sendiri. Bahkan, uang berwarna merah itupun kabarnya dipinjam dari salah satu staf PSSI, karena saat itu para bos besar Pelita Jaya tidak ada yang memiliki uang sekecil itu di dompetnya.
Peristiwa legendaris itu kemudian berbuah julukan Mister Cepek bagi Indriyanto. Perihal julukannya itu, dirinya pernah berkomentar bahwa sebenarnya ia lebih baik pindah dengan bebas transfer daripada hanya dihargai 100 rupiah. Akan tetapi, terkadang pemain besar memang dilahirkan dari peristiwa besar.
Uang 100 rupiah yang saat ini mungkin setara dengan seribu rupiah, tak hanya menjadi awal karier Indriyanto sebagai pesepak bola profesional, tapi juga menjadi saksi bisu lesatan karier pemain yang akrab disapa Nunung ini di lapangan hijau.