Di pengujung Januari 2011, sebuah kabar yang cukup mengejutkan didapati oleh pendukung setia Internazionale Milano setelah pihak klub menyetujui pertukaran pemain dengan Cesena via status pinjaman. Bek sayap didikan akademi Inter, Davide Santon, resmi hijrah ke kubu I Cavallucci Marini sedangkan lelaki asal Jepang, Yuto Nagatomo, melakukan hal yang sebaliknya.
Terus terang, ketika itu nama Nagatomo memang belum terlalu familiar. Tak hanya di kalangan Interisti, tapi juga para penggemar Serie A. Lelaki kelahiran Ehime ini memang baru saja mendarat di tanah Italia pada musim panas 2010, tepat seusai gelaran Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Cesena merekrutnya dari FC Tokyo dengan status pinjaman.
Uniknya, etos kerja dan determinasi yang Nagatomo tunjukkan berhasil merebut hati pelatih Cesena saat itu, Massimo Ficadenti. Dirinya lantas dijadikan pilihan utama di sektor fullback kiri I Cavallucci Marini.
Penampilan apik yang disuguhkan Nagatomo itu pula yang lantas menggoda iman Marco Branca, yang ketika itu memegang kendali transfer Inter. Dan seperti yang telah saya tulisan di paragraf awal tulisan ini, Nagatomo benar-benar didaratkan ke Appiano Gentile, markas latihan Inter, hanya beberapa saat setelah Cesena membelinya secara permanen dari FC Tokyo.
Sejak pertama kali mengenakan kostum biru-hitam khas Inter, karier Nagatomo memang turun naik bak rollercoaster. Di satu laga, dirinya bisa tampil gemilang, namun di laga selanjutnya, penggemar angka 5 ini bisa berperforma amat buruk. Wajar bila relasi Nagatomo dan suporter, bahkan sampai hari ini, juga penuh warna dan sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Faktanya, meski relasinya dengan pendukug Inter kerapkali tak menentu, Nagatomo sudah tampil di 199 pertandingan pada seluruh ajang yang diikuti Inter. Dirinya pun ikut menyumbangkan 11 gol dan 18 asis selama mengabdi di tujuh setengah musim.
Salah satu hal yang seringkali jadi bahan kritikan Interisti adalah skill Nagatomo yang dianggap pas-pasan. Tak salah memang jika Interisti menyebut Nagatomo tak memiliki akurasi umpan silang yang baik, seringkali telat dalam melakukan trackback ketika membantu serangan, hingga teledor dalam mengawal areanya pada saat bertahan. Dengan segala kekurangan tersebut, Nagatomo seperti ‘tidak selevel’ dengan kebutuhan La Beneamata.
Namun menganggap remeh sosok berpostur 170 sentimeter ini sejatinya tidak dapat dibenarkan. Kalau memang kemampuannya buruk, sudah barang tentu Nagatomo tak jadi andalan di tim nasional Jepang sampai detik ini. Manajemen Inter juga pasti takkan memperpanjang kontraknya medio 2016 silam, walau konon saat itu kubu manajemen sedang khilaf berat.
Bagaimanapun juga, Nagatomo adalah pesepak bola profesional yang kariernya tidak dimulai kemarin sore, tapi ditempa sejak dirinya masih belia dahulu. Tentu ada banyak pengorbanan serta perjuangan yang telah dilakukannya, melebihi apa yang ada di pikiran kita.
Kalau harus jujur, saya pun jeri apabila dipaksa untuk duel one-on-one dengan Nagatomo. Bisa-bisa saya terlihat seperti seekor siput yang ngos-ngosan mengejar seekor kijang di atas lapangan rumput.
Karakter ramah Nagatomo yang khas orang-orang Asia juga membuatnya cukup disukai di ruang ganti. Dirinya beken sebagai pemain yang mau bergaul dengan siapa saja alias tidak membuat kelompok sendiri layaknya para bintang yang memiliki ego selangit.
Ada banyak alasan yang membuat performa Inter begitu jeblok dalam kurun satu windu terakhir dan hal tersebut, bukan semata-mata kesalahan Nagatomo. Setidaknya, pemain yang sekarang merayakan ulang tahunnya yang ke-31 ini juga lebih bisa dimaksimalkan ketimbang Santon yang bolak-balik naik meja operasi karena masalah kebugaran yang sudah menahun.
Saya rasa, Nagatomo pun yakin jika Interisti takkan bisa memberinya cinta luar biasa seperti yang diterima oleh Ivan Cordoba, Julio Cesar, Marco Materazzi, atau bahkan Javier Zanetti. Tapi setidaknya, Nagatomo pun layak untuk dicintai secara apa adanya. Seperti masing-masing Interisti mencintai pasangannya, menerima segala kekurangan, dan kelebihan yang ada.
Tanjoubi omeddetou gozaimasu, Yuto!
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional