Di kawasan Eropa Timur, salah satu negara yang dipandang punya kekuatan cukup hebat di kancah sepak bola adalah Serbia. Negara dengan ibu kota Belgrade ini memang sering menelurkan bakat-bakat hebat yang namanya harum karena bermandikan sejumlah titel prestisius.
Pada era 1990-an lalu, para penikmat sepak bola tentu familiar dengan nama-nama seperti Vladimir Jugović, Darko Kovacević, Sinisa Mihajlović, Predrag Mijatović, Savo Milosević, Dejan Savicević, hingga Dragan Stojković. Selain bermain untuk beberapa klub top Eropa, mereka juga menjadi andalan tim nasional Serbia yang kala itu masih bernama Yugoslavia.
Selain nama-nama yang telah saya sebutkan itu, masih ada satu sosok lain yang pastinya akrab di telinga, sebab memiliki karier yang sangat apik di dunia sepak bola, khususnya di Liga Italia Serie A. Tak lain tak bukan, dia adalah Dejan Stanković.
Lahir dan besar di kota Belgrade, Stanković muda memulai petualangannya di dunia sepak bola bersama klub lokal, FK Teleoptik, pada pertengahan 1980-silam. Namun, kemampuannya yang eksepsional dan di atas rata-rata berhasil menarik atensi pemandu bakat dari salah satu tim terbesar di Serbia, Crvena Zvezda alias Red Star Belgrade pada medio awal 1990-an. Sadar bahwa kemampuannya bisa berkembang lebih maksimal, Stanković pun sepakat untuk bergabung dengan jawara Piala Champions 1990/1991 tersebut.
Dalam proses menimba ilmu di tim akademi Red Star, pelan tapi pasti Stanković muda juga berhasil ‘memaksa’ pelatih tim utama saat itu, Ljupko Petrović, agar memberinya kesempatan menjalani debut profesional sebagai pesepak bola. Tepatnya pada musim 1994/1995. Padahal, usia Stanković ketika itu baru menyentuh angka 16 tahun.
Berbekal teknik olah bola dan visi yang prima, memang terasa sulit untuk mengabaikan kemampuan ciamik Stanković muda. Hal ini juga yang lantas membuat dirinya mendapat kesempatan dan kepercayaan tampil sebagai salah satu pemain inti.
Apalagi, pria yang sering disapa Deki ini juga terbilang serbabisa lantaran mampu bermain di sejumlah posisi di sektor tengah dengan sama fasihnya, entah sebagai gelandang serang, gelandang sayap, maupun gelandang bertahan.
Saking ciamiknya kemampuan Stanković, pada saat dirinya berusia 19 tahun jelang musim 1997/1998 bergulir, tim pelatih Red Star berani memberikan jabatan kapten untuknya. Stanković pun resmi jadi kapten termuda sepanjang sejarah klub yang bermarkas di Stadion Rajko Mitić tersebut.
Berkat serentetan permain apiknya bersama Red Star, termasuk menjadi pencetak gol terbanyak klub di musim 1997/1998 dengan koleksi 21 gol, memancing ketertarikan tim asal Italia, Lazio. Mahar transfer sebesar 15 juta euro pun disanggupi oleh kubu Gli Aquilotti pada saat itu.
Walau terbilang mahal, namun pilihan Lazio untuk meminang Stanković sama sekali tidak salah. Selama merumput di Stadion Olimpico, lelaki yang juga ayah dari Stefan, Filip, dan Aleksandar ini, berhasil menyuguhkan performa gemilang.
Turun di 214 pertandingan pada seluruh kompetisi dalam rentang 1998-2004, Stanković sanggup menggelontorkan 34 gol dan 3 asis yang ikut berkontribusi terhadap sejumlah gelar yang mampir ke lemari trofi Lazio. Antara lain dua Piala Super Italia serta masing-masing satu gelar Scudetto, Piala Italia, Piala Winners, dan juga Piala Super Eropa.
Sayangnya, problem finansial yang mengganggu Lazio di pertengahan 2000-an memaksa pihak klub untuk melepas salah satu gelandang favorit Laziale ini pada Januari 2004. Pada awalnya, Juventus menjadi klub terdepan yang disebut-sebut bakal mengamankan jasa sang pemain. Akan tetapi, Stanković justru lebih memilih Internazionale Milano.
Inter sendiri cuma mengeluarkan biaya sebesar 4 juta euro plus Goran Pandev (berikut separuh hak kepemilikannya) untuk memboyong Stanković ke Stadion Giuseppe Meazza. Seolah tak ingin buang-buang waktu, Stanković pun langsung berupaya memikat hati Interisti usai mendapat kesempatan debut.
Berseragam biru-hitam khas Inter, Stanković selalu menjadi pilihan utama baik di era Roberto Mancini, Jose Mourinho, Rafael Benitez, Leonardo, sampai Andrea Stramaccioni. Dirinya menjadi figur penting di sektor tengah bersama dengan Esteban Cambiasso, Thiago Motta, dan Javier Zanetti.
Selama sembilan setengah musim menghabiskan kariernya di kota Milan hingga gantung sepatu pada musim panas 2013 silam, Stanković bermain di 329 laga pada seluruh ajang sembari menyumbang 42 gol dan 39 asis. Tak hanya itu, lelaki yang sekarang bekerja untuk asosiasi sepak bola Eropa (UEFA) ini juga mengadiahkan lima gelar Scudetto, masing-masing empat Piala Italia dan Piala Super Italia serta satu trofi Liga Champions dan Piala Dunia Antarklub buat Inter.
Selain banyaknya trofi yang mengiringi kariernya di Italia, satu hal lain yang tidak bisa dilupakan oleh penggemar Serie A tentang Stanković pastilah tendangan keras yang menjadi ciri khas Stanković. Sudah menjadi rahasia umum, baik saat berkostum Lazio dan Inter, pria yang hari ini genap berusia 39 tahun tersebut seringkali menciptakan gol-gol indah lewat sepakan jarah jauh.
Bermodal kedua kaki yang sama kuatnya, memberi keleluasaan Stanković untuk bermain-main dengan bola di depan kotak penalti merupakan sebuah alarm bahaya. Karena lewat satu atau dua sentuhan saja, pengoleksi 103 caps dan 15 gol bareng timnas Serbia ini bisa mengirimkan sebuah tembakan keras yang meluncur mulus ke dalam gawang.
Gol-gol ajaib nan indah yang kerap Stanković bukukan ini pula yang bikin komentator Inter Channel, Roberto Scarpini, sering meneriakkan “E…gol…e…gol…e…gol…e…gol….e…gol” dengan lantang dan penuh semangat.
Dobrodošli godina, Deki!
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional