Bagi atlet di cabang olahraga apapun, cedera merupakan sebuah momok yang amat mengerikan. Karena bagaimanapun juga, cedera berpotensi mengganggu kelangsungan karier mereka sebagai seorang atlet profesional. Pada cabang sepak bola, pembaca tentu masih ingat dengan Marco van Basten dan Sebastien Deisler, dua pesepak bola yang punya kemampuan ciamik tapi kariernya harus berakhir lebih cepat lantaran didera cedera parah.
Mengingat aktivitas para atlet, termasuk pesepak bola, banyak yang bertumpu pada fisik, cedera memang jadi suatu hal yang sulit untuk dihindari. Gerakan yang salah, baik pada saat bertanding maupun berlatih, hingga benturan dengan lawan acap sekali jadi penyebab datangnya cedera bagi mereka.
Salah satu nama pesepak bola yang begitu kondang memiliki relasi kuat namun sejatinya getir dengan cedera adalah gelandang veteran asal Italia yang saat ini merumput bersama Paris Saint-Germain (PSG), Thiago Motta.
Muncul ke permukaan di pertengahan tahun 2000-an yang lalu dengan kostum Barcelona, Motta langsung mencuri atensi khalayak luas. Di usianya yang masih belia, penampilan Motta sebagai gelandang tengah memang cukup menjanjikan walau di periode tersebut Barcelona terbilang sering menggonta-ganti pelatih, mulai dari Carles Rexach, Louis van Gaal, Radomir Antic sampai Frank Rijkaard.
Sayang, kesempatannya turun bersama Barcelona seringkali terganjal oleh serangkaian cedera yang datang silih berganti. Mulai dari cedera hamstring, cedera paha sampai yang terparah, cedera ligamen, sehingga memaksanya beristirahat selama tujuh bulan. Total, dalam rentang enam musim (2001/2002 sampai 2006/2007) berseragam biru-merah khas Barcelona, Motta tidak pernah bermain lebih dari 35 kali di setiap musimnya.
Tatkala memilih hengkang ke Atletico Madrid di musim 2007/2008 dan menandatangani kontrak selama semusim, Motta tentu berharap akan memperoleh menit bermain yang lebih tinggi. Namun harapan tinggal harapan, pemain kelahiran Sao Paulo, Brasil ini, kembali dihantam cedera yang membuatnya lama menepi. Secara keseluruhan, Motta hanya delapan kali turun ke lapangan dengan kostum Atletico di musim tersebut.
Sulitnya Motta mengembalikan kebugaran tubuhnya memaksa manajemen Atletico untuk tidak memperpanjang kontrak sang pemain. Alhasil, Motta pun bisa hijrah ke klub mana saja setelah itu. Namun dirinya menyadari jika kondisi fisiknya, terutama lutut yang sempat dihantam cedera ligamen, harus dibenahi.
Demi menyelamatkan kariernya, Motta pun berangkat ke Amerika Serikat guna menjalani operasi sekaligus rehabilitasi bagi lututnya. Asa yang digantungkan Motta pun jelas, yakni sembuh dan dapat bermain sepak bola lagi dengan senyaman-nyamannya.
Sekembalinya dari Negeri Paman Sam, Motta mendarat di Italia untuk menandatangani kontrak dengan salah satu klub papan tengah Serie A, Genoa. Tak ada ekspektasi berlebih yang Motta gantungkan saat itu. Dirinya hanya ingin tampil sesering mungkin buat I Rossoblu sekaligus mengukur kemampuan fisiknya.
Pelan tapi pasti, operasi dan rehabilitasi yang dijalani Motta mulai menampakkan hasilnya. Dengan keadaan tubuh yang lebih baik, Gian Piero Gasperini, pelatih Genoa saat itu, tak ragu untuk menjadikannya pemain reguler. Ajaibnya, Motta pun sukses tampil cemerlang dan mengantar Genoa merebut satu tiket ke ajang Liga Europa setelah finis di peringkat lima Serie A 2008/2009.
Membaiknya kondisi fisik Motta juga ikut mengatrol aksi-aksinya di atas lapangan. Kemampuannya sebagai gelandang tengah jempolan pun semakin mengilap. Meski tak memiliki kecepatan, Motta punya teknik dan visi bermain yang prima. Di samping itu, pemain yang satu ini juga mempunyai akurasi umpan dan keahlian mengatur tempo yang mumpuni.
Berkat atribut-atribut seperti itu, Motta adalah sosok yang pas untuk memainkan sejumlah peran di sektor tengah. Misalnya saja deep-lying playmaker, box-to box midfielder, dan bahkan gelandang serang. Lengkapnya kemampuan Motta ini juga bikin Jose Mourinho kepincut. Pria asal Portugal yang di musim 2009/2010 menjadi allenatore Internazionale Milano itu menyodorkan nama Motta untuk direkrut sebagai langkah penguatan jelang bergulirnya musim baru.
Seusai diboyong Inter, lelaki yang hari ini merayakan ulang tahun ke-35, sukses menampilkan performa terbaiknya walau sesekali masih diganggu oleh cedera. Kombinasi apiknya bersama Esteban Cambiasso, Dejan Stankovic, dan Javier Zanetti di lini tengah I Nerazzurri membuahkan hasil gemilang. Torehan treble winners adalah sumbangsih besar Motta bagi Inter di musim itu.
Pada musim-musim berikutnya, Motta masih sanggup bermain baik walau kembali diusik oleh cedera. Situasi ini pula yang membuatnya lebih sering tergeser ke bangku cadangan sehingga kehilangan posisi utama di musim-musim selanjutnya bersama Inter.
Ditambah dengan sedikit konflik yang dialaminya, Motta memilih untuk hijrah dari Stadion Giuseppe Meazza di pertengahan musim 2011/2012 guna bergabung dengan PSG. Kubu Les Parisiens sendiri tak merasa kesulitan untuk menebus biaya transfer Motta dengan nominal 10 juta euro.
Di ibu kota Prancis, Motta bersama penggawa PSG yang lain berjuang keras untuk membangun klubnya agar lebih disegani. Tak hanya di Negeri Anggur tapi juga di benua Eropa. Hingga sekarang, pemain yang mengantongi 30 caps dan 1 gol bagi tim nasional Italia ini telah membela PSG selama lima setengah musim.
Berdasarkan data yang dihimpun via Transfermarkt, dalam rentang waktu tersebut Motta sudah berlaga di lebih dari 200 pertandingan. Namun pada saat yang bersamaan, Motta juga mengalami lebih dari tiga cedera yang mayoritas mengganggu otot kakinya.
Menariknya, meski selama ini kerap bolak-balik ruang perawatan, Motta tetap membuktikan kepada khalayak jika dirinya tetaplah sosok hebat yang punya prestasi segudang. Kecuali Genoa, Motta selalu bisa meraih titel juara bareng Barcelona, Inter dan PSG. Sampai hari ini Motta sudah punya 25 gelar juara dan catatan itu masih berpeluang untuk dipertajam.
Bonne anniversarie, Motta. Semoga sehat selalu!
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional