Lewat permainan yang khas dan enak disaksikan, Indra Sjafri berhasil membawa anak asuhnya di tim nasional Indonesia U-19 menjadi kampiun di ajang Piala AFF U-19 di tahun 2013. Kala itu, Indonesia juga menyandang status sebagai tuan rumah karena ajang ini dihelat di kota Gresik dan Sidoarjo, Jawa Timur.
Melihat pemain-pemain muda itu sanggup merengkuh titel juara, kebahagiaan pun menggelayuti masyarakat Indonesia. Dahaga prestasi yang sudah lama menjangkiti timnas Garuda seolah terobati. Lumrah memang karena trofi ini, meski hanya di kasta junior, menjadi raihan terbaik Indonesia setelah medali emas South East Asia (SEA) Games Manila di tahun 1991 yang lalu.
Namun sejumlah permasalahan yang ada di tubuh sepak bola nasional, khususnya di dalam kepengurusan federasi sepak bola Indonesia (PSSI) akibat perbedaan kepentingan dari figur-figur yang berkuasa, memberi efek yang sangat buruk. Salah satunya berakibat pada iklim tak kondusif di sepak bola Indonesia
Di tengah situasi yang kurang baik tersebut, PSSI tetap mengirimkan skuat Indonesia U-19 ke ajang Piala AFF U-19 tahun 2014 yang pada saat itu diselenggarakan di Vietnam. Akan tetapi, jabatan pelatih yang sebelumnya disandang Indra Sjafri, sudah berpindah tangan kepada mantan pesepak bola legendaris asal Papua, Rudolf ‘Rully’ Nere.
Sebagai bekal bertarung di Vietnam, Rully Nere pun membawa amunisi yang berbeda dengan kepunyaan Indra Sjafri. Gerbong skuat lelaki kelahiran 13 Mei 1957 tersebut berisi nama-nama semisal Fahmi Al Ayyubi, Febri Hariyadi, Mochamad Junda Irawan, dan Rangga Pratama.
Mengingat kondisi sepak bola Indonesia yang saat itu kurang begitu baik, ekspektasi publik terhadap pasukan Garuda Muda pun tidak terlalu tinggi. Harapan mereka sederhana, Indonesia di bawah Rully Nere tetap bisa tampil maksimal. Apalagi di babak penyisihan, Indonesia mesti bergabung dengan Myanmar dan Thailand di Grup A.
Namun harapan tinggal harapan, penampilan Junda dan kawan-kawan selama di Vietnam benar-benar amburadul. Kelas mereka seolah berjarak sangat jauh dengan Myanmar dan Thailand.
Di partai pertama (5/9), Indonesia secara tragis dibantai oleh Negeri Gajah Putih dengan skor 6-2. Atthawit Sukchuai, Patiphan Pinsermsootsri, Piyapong Homkajohn, dan Sittichok Kannoo menjadi pencetak setengah lusin gol tim asuhan Sasom Pobprasert itu. Sementara gol-gol Indonesia dibukukan oleh Alqomar Tehupelasury dan Martinus Novianto.
Sialnya, kekalahan itu justru menjepit posisi Indonesia di posisi terakhir Grup A. Pasalnya, berselang dua hari kemudian, Thailand secara tak terduga justru dibungkam oleh Myanmar dengan kedudukan akhir 1-2.
Situasi tersebut membuat laga Indonesia melawan Myanmar memegang peran krusial atas nasib kedua tim. Jika Myanmar hanya butuh satu poin alias bermain seri, Indonesia wajib menang dengan skor besar di laga tersebut.
Menurunkan skuat yang sedikit berbeda dengan partai pertama, Rully Nere tentu berharap anak asuhnya bisa memetik kemenangan. Tapi nahas, harapan saja tak cukup buat Indonesia di laga tersebut. Myanmar justru tampil eksepsional dan memenangi laga itu dengan skor tiga gol tanpa balas.
Dua kekalahan dengan kedudukan yang cukup mencolok itu pada akhirnya menempatkan Indonesia sebagai juru kunci Grup A. Sebuah prestasi yang berbanding terbalik dengan pencapaian tim Garuda Muda di turnamen yang sama setahun sebelumnya. Sebuah memori kelam yang tentunya ingin dihapus lewat prestasi gemilang di Piala AFF U-19 tahun ini.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional