Eropa Inggris

Hengkangnya Kieran Gibbs dari Arsenal: Senjakala Sebuah Era

Sudah sejak usia 14 tahun Kieran Gibbs bergabung dengan Arsenal. Tepatnya, bek kiri plontos berusia 27 ini bergabung sebagai bagian dari akademi The Gunners. Kemunculan Gibbs adalah tradisi yang terjaga di Arsenal. Tradisi bek kiri berkualitas dengan kemampuan menyerang yang sama baiknya dengan kemampuan bertahan.

Mulai dari Nigel Winterburn, Ashley Cole, hingga Gael Clichy, Arsenal diberkahi dengan bek kiri yang mumpuni. Jika memutar waktu jauh lebih ke belakang, masih ada beberapa nama bek kiri Arsenal yang patut dikenang. Dan di lini masa sejarah itulah nama Kieran Gibbs disambut dengan segala ekspektasi dan keharuan.

Ia asli dari Inggris, lahir di London, berdekatan dengan Arsenal sejak lahir. Gibbs mencintai Arsenal secara mendalam. Ia bukan tipe pemain yang senang mengeluh secara terbuka. Gibbs cenderung menyimpan segala kegundahan hatinya. Bahkan ketika menit bermainnya makin terbatas dan Wenger mendatangkan Sead Kolasinac.

Bahkan ketika Wenger beralih ke skema tiga bek dan justru Alex Oxlade-Chamberlain dan Hector Bellerin yang dimainkan sebagai bek sayap kiri. Bahkan ketika musim lalu Gibbs dimasukkan di ujung babak kedua hanya untuk mengulur waktu lantaran Arsenal sudah memenangi pertandingan. Gibbs tak pernah mengeluh, apalagi hingga memberontak.

Musim lalu, Gibbs pernah diminati beberapa klub lokal. Apabila cintanya untuk Arsenal tak begitu dalam, dengan mudah Gibbs berganti tim dan lebih berprestasi. Namun Gibbs menahan diri. Ia memahami bahwa jika dirinya hengkang, maka The Gunners hanya punya Nacho Monreal sebagai bek kiri murni.

Namun, jalannya takdir tak ada yang bisa memperkirakan. Cedera dan penurunan performa mewarnai perjalanan karier Gibbs bersama Arsenal. Untuk mendekati level Gael Clichy pun Gibbs kesulitan. Apalagi ketika ia menyandang status calon penerus Winterburn dan Cole. Masa depan Gibbs bukan bersama Arsenal.

Tepatnya 30 Agustus 2017, Gibbs resmi berseragam West Bromwich Albion. Mahar “hanya” tujuh juta paun disepakati kedua klub. Lewat sebuah pesan pendek, Gibbs memberi gambaran paling jelas bahwa cintanya untuk Arsenal tak bertepi. Meski memang, mencintai tak selalu harus memiliki.

“Sebuah perjalanan yang luar biasa ketika bisa bermain untuk klub masa kecil, sejak saya berusia 14 tahun. Saya ingin berterima kasih kepada Arsene Wenger yang memberi saya kesempatan memulai karier dan mewujudkan mimpi saya. Terima kasih untuk para suporter, para staf, dan terutama untuk para rekan yang selalu ada, baik ketika melewati momen-momen istimewa, dan terutama ketika mereka ada ketika saya tengah berada dalam masa-masa sulit,” ungkap Gibbs.

Suasana haru tergambar dari kalimat-kalimat Gibbs di atas. Bermain untuk Arsenal, untuk klub masa kecilnya, dan untuk mimpinya yang terwujud, adalah berkah bagi Gibbs. Harmonis dan hangat adalah dua rasa yang terbaca dari sosok Gibbs. Meski memang sedih melepas pemain asli akademi, perpisahan bisa menjadi solusi yang terbaik untuk kedua entitas, pemain dan klub.

Kepindahan dan kepergian, memang tengah menjadi tajuk menyesakkan untuk Arsenal. Beberapa pemain muda, yang sempat mengikat ikrar dalam waktu bersamaan, tengah menuju pintu keluar. Ada juga yang tengah berjuang menemukan kembali makna menjadi yang terbaik, melawan inkonsistensi dan kebodohan.

Apakah ini memang pertanda matinya sebuah era?

Tahun 2012 yang lalu, Gibbs, bersama empat rekannya yang lain, duduk bersama. Tawa riang dan kebahagiaan merona, menjadi tema sore itu. Di belakang mereka, Arsene Wenger berdiri dengan rasa puas tersaji di keriput wajahnya yang mulai banyak. Seperti seorang bapak, Wenger menaungi mereka, berdiri di belakang, tut wuri handayani.

Kredit: Arsenal.com

Mereka adalah Carl Jenkinson, Aaron Ramsey, Jack Wilshere, Kieran Gibbs, dan Alex Oxlade-Chamberlain. Di atas meja beralas kelabu itu, mereka membubuhkan tanda tangan. Dengan latar foto-foto kesuksesan, kelima pemuda ini dicintai, diharapkan bisa mengembalikan masa jaya Arsenal di tengah musim yang penuh ketidakpastian. Namun, masa depan mereka justru seperti warna alasa meja tersebut: kelabu.

Jenkinson, pemuda yang kadar cintanya kepada Arsenal mungkin yang paling besar dari keempat rekannya, sudah bergabung dengan Birmingham City dengan status pinjaman. Jenko, panggilan akrabnya, lebih banyak menghabiskan waktunya untuk cedera, berada di bawah performa yang diinginkan, atau dipinjamkan ke klub lain.

Aaron Ramsey mungkin yang kariernya paling meyakinkan dibanding keempat pemuda lainnya. Gelandang asal Wales ini masih menjadi pilihan utama Wenger, untuk bersanding dengan Granit Xhaka di lini tengah. Ramsey pernah tampil sangat hebat ketika berduet dengan Mikel Arteta. Masa-masa yang dirindukan.

Jack Wilshere? Pemain yang pernah dipuji Xavi Hernandez ini sangat akrab dengan cedera. Meski memang, rentetan cedera tersebut bukan murni salahnya. Pemain penuh imajinasi ini sudah kehilangan tempatnya di tim utama. Dan sedihnya, konon Wilshere sudah ditawarkan Arsenal kepada Real Betis.

Baca juga: Cinta yang Besar untuk Jack Wilshere

Setelah Gibbs resmi hengkang, akan menyusul Chamberlain. Pemain yang bisa bermain di banyak posisi ini tengah diperebutkan Chelsea dan Liverpool. Chamberlain sendiri lebih memilih Liverpool karena enggan bermain sebagai bek sayap kanan di Chelsea. Yang pasti, masa depan Chamberlain makin menjauh dari Arsenal.

Jika pembaca menambahkan Theo Walcott, maka semakin membuat sedih tulisan ini. Walcott, pelari cepat itu, benar-benar kehilangan sentuhan terbaiknya.

Baca juga: Apakah Theo Walcott Masih Dibutuhkan oleh Arsenal?

Kepindahan Gibbs seperti menjadi penanda waktu yang paling jelas. Penanda bahwa senja sudah tiba. Senjakala pemain-pemain asli Britania ini bersama Arsenal. Memang, di belakang mereka, Arsenal punya beberapa nama wonderkid yang siap naik pentas. Namun yang pasti, kesedihan karena ditinggal para pemain yang diberi kepercayaan sangat luas tentu sangat pedih.

Arsenal tengah memasuki kelamnya malam itu. Di tengah kegelapan malam, banyak teror yang mengintai. Salah satu langkah, tak akan ada subuh untuk waktu yang lama.

Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen