Tak sulit memberi label ‘kambing hitam’ kepada Hanif Sjahbandi andaikata tempo hari Indonesia bertekut lutut di hadapan Vietnam. Ia jadi salah satu kartu mati di lini tengah. Hanif terlihat lamban, pasif dalam melakukan covering dan pressing, serta tak menunjang progresi serangan timnas dengan umpan ke depan yang terukur.
Tapi, benarkah demikian? Pantaskah Hanif menjadi aktor yang disalahkan terlepas ‘kesuksesan’ mengamankan satu poin penting dari Vietnam?
Untuk memahami kartu merah yang didapat Hanif, kita perlu untuk lebih jeli memahami bahwa terkadang, di tengah situasi pertandingan yang berjalan cepat dengan tensi tinggi, pemain acapkali lepas kendali. Banyak pemain kelas dunia telah melakukannya. Di SEA Games 2017 sendiri, pemain Thailand, Chaiyawat Buran, menjadi korban pertama sebelum Hanif, di laga kontra Kamboja lalu.
Keteledoran kolektif lini tengah Indonesia
Pemain dengan gaya bermain seperti Hanif Sjahbandi, saya rasa tidak terlalu siap bermain dengan intensitas tinggi seperti yang diperagakan oleh Vietnam kemarin. Lini tengah The Golden Stars yang dihuni tiga gelandang dengan olah bola mumpuni dan distribusi bola yang apik, membuat Hanif, yang sebenarnya menempati posisi gelandang nomor 6, harus menjaga wilayah yang terlampau luas di lini tengah.
Apakah Luis Milla melakukan kesalahan dengan menurunkan Hanif? Belum tentu.
Perlu dipahami bahwa dengan absennya Evan Dimas, lini tengah yang hanya berisikan empat gelandang tengah murni sebenarnya kekurangan stok pengganti. Muhammad Hargianto, Hanif Sjahbandi, dan Asnawi Mangkualam Bahar adalah nama gelandang tengah murni yang dibawa ke Malaysia. Praktis, Milla tak ada pilihan lain selain ‘memaksakan’ Hanif turun sebagai pemain inti di laga sengit melawan Vietnam.
Hanif bukan pemain buruk, ia malah pembagi bola yang baik. Tapi, ia akan mudah terekspos bila kawan-kawannya tak memberikan covering yang baik. Kasus ini akan mudah kamu temukan di skema 4-2-3-1 Arsenal ketika Granit Xhaka pertama kali bergabung di musim panas tahun lalu. Bermain sebagai double pivot, Xhaka perlu pemain yang tak hanya menyediakan opsi untuk mengirimkan umpan, tapi juga menjadi pelindung ketika tim dalam transisi bertahan. Sesuatu yang gagal dilakukan Aaron Ramsey, Mohamed Elneny hingga Francis Coquelin kala itu.
Hanif pun, di laga dua hari lalu, mengalami hal serupa. Tak jarang, ia kesulitan melepaskan umpan karena jarak antarlini yang terlampau jauh dan posisi Hargianto yang kerapkali tak cukup bebas kala meminta umpan pendek. Selain itu, dalam transisi bertahan, Hanif kerap tertinggal sendirian di lini tengah dan harus menghadapi dua sampai tiga gelandang Thailand yang maju naik ke depan untuk melancarkan serangan balik.
Dalam konteks ini, saya rasa ucapan legendaris Johan Cruyff ada benarnya. “Saya bukan pemain bertahan yang baik bila harus menjaga area yang luas. Tapi bila menjaga area yang lebih kecil, saya pemain bertahan terbaik di dunia.” Hanif kerap dihadapkan dengan situasi transisi lini tengah yang buruk dan ia sering terekspos sendirian di tengah. Kartu kuning pertama yang diterimanya kemarin adalah bukti. Sedangkan kartu kuning kedua adalah efek dari akumulasi kejadian sejak babak pertama.
Hanif perlu memahami tekel yang baik dan menyesuaikan diri dengan tempo permainan
Kalau harus mencari komparasi pemain tipe seperti Hanif Sjahbandi di ASEAN, pilihan terbaik saya rasa adalah Tanaboon Kesarat, pemain timnas Thailand dengan gaya bermain dan posisi yang mirip dengan Hanif. Tak hanya piawai sebagai gelandang bertahan, Tanaboon, yang masih tercatat sebagai pemain termahal Thailand, adalah bek tengah yang bagus.
Di sepak bola modern, dengan tempo permainan yang acapkali berjalan cepat, tekel sembari menjatuhkan diri tak lagi menjadi cara yang digemari pemain-pemain kelas dunia. Bila kamu sering menonton Coquelin melakukan tekel ala satpam komplek-nya sembari menjatuhkan diri, silakan tonton bagaimana tekel Ander Herrera atau Gabi Fernandez yang bisa merebut bola tanpa menjatuhkan diri dan tetap mampu mengalirkan bola dengan baik setelahnya.
Hanif perlu mempertimbangkan waktu terbaik merebut bola, tanpa harus melakukan tekel menjatuhkan badan dan memaksanya membuat pelanggaran yang berbuah kartu. Selain itu, gaya bermain gelandang muda Arema FC ini harus lebih adaptif ketika Indonesia menghadapi lawan-lawan yang bermain cepat seperti Vietnam tempo hari.
Bila Indonesia lolos ke semifinal dan mungkin saja akan bertemu Myanmar, gaya bermain Hanif yang possession-based akan sangat rentan diancam pemain Myanmar yang memainkan tempo cepat seperti Vietnam, tentu saja bila ia kembali dimainkan Luis Milla. Satu hal yang perlu dipelajari Hanif dari Evan Dimas, adalah kemampuannya menyeleksi umpan dan mengatur tempo dengan bola di kakinya. Hanif Sjahbandi punya kualitas dan kartu merah kemarin tentu kita harapkan tak mengubah apapun di mental bertandingnya kemudian hari.
Author: Isidorus Rio Turangga (@temannyagreg)
Tukang masak dan bisa sedikit baca tulis