Nasional Bola

John Tarkpor Sonkaliey: Si Kecil Bertenaga Besar

Bagi kita yang tinggal di Indonesia, melihat seseorang dengan postur badan setinggi 165 sentimeter adalah hal yang wajar, karena kita termasuk dalam ras Mongoloid yang rata-rata bertinggi badan antara 160 hingga 175 sentimeter saat dewasa. Akan tetapi, tinggi badan seperti itu menjadi tidak wajar apabila dimiliki oleh pemain asing dan itulah yang menjadi daya tarik John Takpor Sonkaliey.

Lahir di Monrovia, Liberia, pada 16 Oktober 1986, John sudah merantau ke Indonesia di usia yang masih sangat belia untuk kategori legiun asing. Berapa umurnya saat itu? 19 tahun! Persiter Ternate menjadi pelabuhan karier pertamanya saat Laskar Kie Raha baru saja promosi ke Divisi Utama 2005. Di sana, ia bermain selama tiga musim. Tiga musim yang menjadi tonggak awal ketenaran serta karier panjang John di liga Indonesia.

Setelah meninggalkan Ternate, John terbang sejauh 3.500 kilometer, menuju sisi utara ibu kota Republik Indonesia, mendarat di sebuah kesebelasan berbaju biru-putih bernama Persitara Jakarta Utara. Sama seperti saat membela Persiter, pemain yang berposisi sebagai gelandang serang ini juga menghabiskan tiga musim bersama klub keduanya.

Bersama Laskar Si Pitung, John mencapai performa terbaiknya. Ia berjuang membawa Persitara meraih tempat terbaik di Indonesia Super League (ISL) bersama para pemain bintang saat itu seperti Amarzukih, Rachmat ‘Pochi’ Rivai, Esaiah Pello Benson dan Prince Kabir Bello.

Meski berasal dari Afrika, John bukan pemain dengan postur tinggi besar seperti dua rekan setimnya tadi atau Abanda Herman yang menjadi palang pintu Persija Jakarta dan Zoubairou yang menjadi tembok kokoh PSIS Semarang. Akan tetapi, justru itulah yang menjadi kelebihan John Tarkpor.

Bertubuh kecil disertai gerakan yang lincah, John sangat lihai menyelinap dalam sempitnya ruang yang tersedia di lini belakang lawan. Daya jelajahnya sangat tinggi, bergerak tak kenal lelah untuk memberi operan ataupun membuka ruang dan tendangan jarak jauhnya sangat bertenaga.

Sekilas, gaya bermain John mirip dengan rekan senegaranya yang juga berbadan mungil, Zah Rahan Krangar. Namun, ada satu hal yang menjadi perbedaan di antara keduanya. Jika Zah Rahan terlihat elegan dan skillful, John lebih terlihat powerful. Badannya ia gunakan untuk bertahan dari sergapan lawan, sedangkan kakinya digunakan untuk menebar ancaman lewat tendangan geledek yang dilesakkan dari luar kotak penalti.

Jika diperhatikan lebih lanjut, dalam video di atas juga terlihat ciri khas yang dimiliki John. Setelah memberikan bola pada rekannya, ia akan kembali bergerak, mencari ruang kosong untuk dieksploitasi atau menarik pemain lawan agar terbuka ruang kosong untuk ditempati rekannya. Sangat mobile pemain yang satu ini.

Etos kerja seperti itu sulit ditemukan di Liga Indonesia. Entah itu pemain lokal maupun asing, seringkali kita melihat mereka hanya diam di tempat atau berlari-lari kecil tanpa tujuan setelah bola diberikan pada rekannya. Pergerakan pasif ini tentu sangat menyulitkan sebuah tim untuk membongkar pertahanan lawan karena tidak ada pemain yang “menawarkan diri” untuk melakukan umpan kombinasi, sehingga satu-satunya jalan adalah melakukan aksi individu yang jarang berbuah positif.

Dengan kualitas yang ditunjukkannya di Persitara, nama John Tarkpor menjelma sebagai buruan utama klub-klub besar ISL. Polemik sempat merebak saat Persitara terlibat perebutan sang pemain dengan Persebaya Surabaya.

Akibatnya, di awal musim ISL 2009, John tidak dapat dimainkan dan Persitara harus menelan dua kekalahan beruntun tanpa sekalipun mencetak gol. Klub yang bermarkas di Stadion Kamal Muara itu dikalahkan Persela Lamongan 0-1 dan digilas Persijap Jepara tiga gol tanpa balas.

Singkat cerita, Persebaya akhirnya memenangkan perebutan itu. John kemudian hijrah dari ibu kota Indonesia menuju ibu kota Jawa Timur, dari teriknya cuaca Jakarta ke panasnya suhu Surabaya. Dengan balutan seragam Bajul Ijo, John sempat didapuk sebagai kapten kesebelasan untuk menggantikan Anderson da Silva yang dipecat pada Maret 2010.

Meski dirinya telah memiliki reputasi tinggi di Indonesia, tetap saja hal itu mengundang perdebatan karena ia baru saja bergabung di awal musim. Akan tetapi, Rudy William Keltjes yang saat itu menangani Persebaya, yakin dengan keputusannya karena ia percaya kalau John mampu mengayomi para rekannya dan siap bertarung selama 90 menit penuh.

Selepas meninggalkan Persebaya, John kembali bergabung dengan kesebelasan bertabur bintang, Pelita Jaya, di ISL 2011/2012. Ia menjadi andalan bersama Safee Sali dan Greg Nwokolo, satu tim dengan para pemain naturalisasi seperti Diego Michiels, Ruben Wuarbanaran, si gendut Jhony van Beukering dan Victor Igbonefo.

Di klub yang kini telah berganti nama menjadi Madura United itu, John membawa Pelita Jaya finis di peringkat enam, dengan predikat tim tersubur kedua dengan 68 gol. Tiga gol lebih sedikit dari Sriwijaya FC yang menjadi kampiun.

Setelah itu, pemain dengan semangat juang tinggi ini menghilang sementara dari sepak bola nasional. Ia sempat merantau ke Eropa sebelum memperkuat Persijap Jepara di ISL 2014 dan menjadikannya klub terakhir yang ia bela di Indonesia.

John Tarkpor, dengan determinasinya yang tinggi, adalah salah satu contoh terbaik bagaimana memainkan sepak bola. Ia benar-benar memanfaatkan 2 x 45 menit untuk berjuang membawa timnya menjadi yang terbaik di atas lapangan, bukan beradu akting demi menjadi yang terbaik dalam hal mengelabuhi wasit.

Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.