Yang paling diingat oleh publik sepak bola Indonesia terkait Copa Indonesia edisi 2008/2009 adalah partai final yang kontroversial. Partai puncak turnamen pengiring liga yang kini sudah terhenti tersebut pada edisi kala itu mempertemukan antara Sriwijaya FC dan Persipura Jayapura.
Pertandingan tersebut usai pada menit ke-52 setelah para pemain tim Mutiara Hitam menolak bertanding karena wasit mengesahkan gol yang dicetak oleh Anoure Obiora beberapa menit sebelumnya. Pihak Persipura menganggap bahwa Obiora melakukan pelanggaran terlebih dahulu sebelum melesakan gol.
Akibat aksi ini, kemenangan kemudian langsung diberikan kepada Sriwijaya dengan skor 4-0. Sekaligus diberikannya gelar juara kepada tim asal Sumatera Selatan tersebut.
Meskipun demikian, sebenarnya cerita hebat bukan terjadi pada partai final yang digelar di Stadion Gelora Sriwijaya, Jakabaring, pada 28 Mei 2009 tersebut. Pada gelaran Copa Indonesia edisi keempat itu ada sebuah kisah luar biasa. Cerita tentang tim semenjana yang awalnya tidak diperhitungkan, justru bisa melaju jauh. Kisah heroisme di Copa Indonesia 2008/2009 adalah miliki Persitara Jakarta Utara.
Sejak didirikan pada 1979, Persitara memang tidak mendapatkan sorotan yang sama seperti tim lain yang berdomisili di Jakarta, Persija. Persitara lebih sering berada di bawah bayang-bayang apabila berbicara terkait sepak bola di ibu kota.
Mereka tidak mendapatkan sokongan dana yang sama seperti Persija, begitu pula terkait fasilitas. Baru ketika mereka berlaga di Liga Super Indonesia mereka diperbolehkan memakai Stadion Lebak Bulus yang berada di tengah kota Jakarta. Sebelumnya, mereka memakai Stadion Tugu yang kualitasnya tidak terlalu baik.
Pada era Sutiyoso menjadi gubernur ibu kota Republik Indonesia tersebut, keadaan menjadi semakin sulit. Apalagi ketika itu Bang Yos, sapaan akrab Sutiyoso, memproklamirkan jargon “Jakarta Satu” yang secara eksplisit menunjukkan bahwa hanya ada satu kesebelasan saja yang akan mewakili Jakarta di level tertinggi sepak bola Indonesia.
Gambaran dari perjuangan untuk membuktikan bahwa di Jakarta bukan hanya ada Persija sempat berhasil Persitara lakukan pada musim 2008/2009. Promosi ke Liga Super setelah menempati peringkat enam di klasemen akhir Wilayah Timur Divisi Utama, Persitara kemudian menatap kesuksesan promosi mereka di level tertinggi sepak bola Indonesia untuk kedua kalinya dengan cara yang lebih baik.
Lini serang dashyat
Meskipun berstatus sebagai tim promosi, skuat Persitara pada musim tersebut bisa dibilang punya komposisi yang cukup. Selain pahlawan lokal Amarzukih, mereka kala itu diperkuat oleh winger eksentrik, Sutikno. Lalu ada Taufik Kasrun dan dua penggawa lini tengah berstatus pemain asing asal Afrika, John Trakpor Songkaley dan Esaiah Pello Benson.
Tetapi yang paling menarik adalah lini serang mereka yang diperkuat para penyerang yang memiliki daya ledak yang luar biasa. Rahmat ‘Poci’ Rivai didaratkan dari Persiter Ternate. Bersama tim berjulik Laskar Si Pitung inilah karier Rahmat Rivai menanjak. Setelahnya ia kemudian direkrut oleh kesebelasan-kesebelasan besar seperti Sriwijaya dan Persipura.
Menemani Poci, didaratkan penyerang asal Nigeria, Prince Kabir Bello. Sebelum mendarat di Jakarta, Kabir Bello bermain untuk kesebelasan asal Iran, Sepahan, selama empat musim. Ia sempat beberapa kali bermain di ajang Liga Champions Asia. Duet dua penyerang yang masing-masing berbadan mungil dan jangkung ini menjadi daya ledak yang luar biasa bagi Persitara. Keduanya menghasilkan total 17 gol atau sekitar 40 persen dari total gol yang dilesakkan Peristara di liga musim tersebut.
Keduanya mencetak gol di dua pertandingan hebat yang dijalani Persitara di Liga musim tersebut. Yaitu ketika mereka bermain imbang melawan Persipura dengan skor 3-3. Lalu ketika kemenangan sensasional atas Persib Bandung dengan skor 4-1 pada 2 Juni 2009. Plus rekor Kabir Bello yang menyarangkan gol tercepat di liga musim tersebut ketika berhadapan dengan PSM Makassar. Kabir Bello mencetak gol untuk Persitara ketika pertandingan baru berjalan 21 detik!.
Tapi cerita paling hebat adalah bagaimana kiprah mereka di ajang Copa Indonesia. Laiknya tim promosi, Persitara yang kala itu ditangani oleh Hary Ruswanto tidak berharap banyak soal kiprah mereka di ajang Copa. Bisa bertanding saja tampaknya sudah cukup baik. Ada pertandingan tambahan berarti ada tambahan yang berarti cukup baik untuk keuangan klub.
Asa di mulai ketika mereka berhasil memenangkan pertandingan putaran pertama melawan Persikota Tangerang. Padahal kala itu pertandingan digelar di kandang tim berjuluk Jawara Benteng tersebut. Poci dan kawan-kawan kemudian berhasil melaju lagi setelah menghempaskan PSIS Semarang di babak kedua dengan agregat 4-2.
Di babak perdelapanfinal kemudian sesuatu yang melegenda bagi Persitara terjadi. Kala itu mereka mesti menghadapi Persebaya Surabaya. Sebuah kekuatan tradisional sepak bola Indonesia yang kala itu diperkuat bintang-bintang kelas atas. Penyerang gaek Andi Oddang membawa Bajul Ijo memenangkan pertandingan putaran pertama di Surabaya dengan skor 2-0. Secara matematis, Persitara mesti menang dengan selisih lebih dari tiga gol di Jakarta untuk bisa melaju ke fase selanjutnya.
Sama seperti kebanyakan kisah kepahlawanan, segala sesuatunya dimulai dengan sulit. Persebaya berhasil menjauhkan skor setelah Mourad Faris berhasil menyarangkan gol pada menit ke-19. Sepanjang babak pertama sendu memayungi North-Jakmania yang selalu setia mendukung Persitara bertanding.
Lima menit wasit meniup peluit tanda babak kedua dimulai, sesuatu yang luar biasa kemudian terjadi. Dalam waktu dua belas menit, Persitara kemudian berhasil memberondong gawang Persebaya sebanyak tiga kali. Poci Rivai berhasil menyarangkan gol pada menit ke-51 dan ke-54. Prince Kabir Bello kemudian menambah angka pada menit ke-63. Menjadi lengkap untuk Poci karena pada menit ke-81 ia berhasil mencetak hattrick sekaligus mengantarkan Persitara ke babak perempatfinal secara heroik.
Sayang mimpi untuk melaju jauh kemudian pupus karena Persitara ditaklukkan oleh Persijap Jepara di babak selanjutnya. Penyebabnya masih diperdebatkan, antara kehabisa tenaga karena tampil gila-gilaan sejak putaran pertama, atau karena euforia yang berlebihan setelah berhasil mengempaskan Persebaya di babak perdelapanfinal.
Satu yang pasti, prestasi tersebut hingga kini menjadi catatan terbaik tim “anak tiri” Jakarta ini dalam cakupan sepak bola nasional. Yang rasanya akan lama sekali terulang kembali karena tim Laskar Si Pitung saat ini masih saja kesulitan untuk bisa setidaknya melaju ke level tertinggi sepak bola Indonesia.
Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia