Januari tahun 2000, ketika Italia tengah dipeluk oleh musim dingin yang membuat jari jemari terasa begitu kaku. Marcelo Lippi, yang di periode tersebut sedang menangani Internazionale Milano, mengajukan sebuah permintaan kepada pihak klub. Menurut sang pelatih, La Beneamata membutuhkan satu orang bek tengah tambahan guna menjadi pendamping sepadan buat Laurent Blanc.
Inter yang diawal musim ditinggal sang kapten, Giuseppe Bergomi, karena memutuskan pensiun usai mengabdi selama 20 tahun, hanya mempunyai Salvatore Fresi dan Dario Simic sebagai opsi lain buat mengawal jantung pertahanan.
Sayangnya, penampilan tidak konsisten dari kedua pemain itu kala dipasangkan dengan Blanc membuat Lippi meminta satu bek tengah anyar di bursa transfer musim dingin. Inter sendiri tengah tercecer di classifica pada saat itu.
Uniknya, nama yang diboyong oleh pihak manajemen terbilang kurang familiar di telinga Interisti. Dialah bek berkebangsaan Kolombia bernama Ivan Ramiro Cordoba. Pemain setinggi 173 sentimeter ini ditebus dengan mahar senilai 16 juta euro, angka yang terbilang cukup fantastis ketika itu. Inter berhasil mengalahkan klub raksasa Spanyol, Real Madrid, yang dikabarkan juga menaruh hati pada kemampuan Cordoba.
Cordoba tak membutuhkan waktu lama untuk mencicipi debutnya berseragam biru-hitam khas Inter. Di laga perdana seusai jeda paruh musim (6/1), Lippi langsung menurunkan Cordoba sebagai tandem Blanc guna menjamu Perugia di Stadion Giuseppe Meazza. Pada laga tersebut, Hidetoshi Nakata dan kolega sukses dibungkam dengan kedudukan akhir 5-0.
Penampilan impresif yang diperlihatkan Cordoba di laga pertamanya itu membuat Lippi kesengsem. Dirinya pun sukses mematri satu tempat di lini belakang La Beneamata. Bahkan, ketika terjadi sejumlah pergantian pelatih, mulai dari Lippi, Marco Tardelli, Hector Cuper dan Alberto Zaccheroni, nama lelaki yang hari ini (11/8) genap berumur 41 tahun itu seolah tak tergoyahkan.
Para pelatih yang pernah membesut Inter dan juga suporter Inter jatuh cinta pada gaya main Cordoba yang ulet, tak kenal lelah dan rela berjibaku demi mengamankan lini belakang. Dirinya bahkan tidak merasa keder andai diberi tugas mengawal penyerang lawan yang punya postur lebih tinggi darinya.
Tatkala Blanc memutuskan hengkang, Inter mengambil langkah cepat dengan merekrut Marco Materazzi dari Perugia. Ciamiknya, kolaborasi Cordoba dan Materazzi justru menjadi andalan. Bahkan Fabio Cannavaro, bek kenamaan Italia yang dibeli Inter dari Parma dengan biaya 23 juta euro, gagal menggeser posisi Cordoba.
Di pertengahan 2000-an, Inter yang kembali punya allenatore baru dalam wujud Roberto Mancini, masih tetap mengandalkan duo Cordoba dan Materazzi di jantung pertahanan. Kombinasi sepasang pemain dengan tinggi badan bak bumi dan langit tersebut senantiasa menjadi pilihan inti.
Bareng Mancini, Inter pada akhirnya sukses meraup sejumlah titel prestisius dan menyudahi paceklik titel yang berlangsung sejak 1997/1998. Masing-masing berupa tiga Scudetto, dua Piala Italia, dan sebiji trofi Piala Super Italia.
Peruntungan Cordoba sedikit berubah setelah pelatih asal Portugal, Jose Mourinho, datang sebagai juru taktik anyar. Duetnya bersama Materazzi sering dipecah dan Cordoba lebih sering dimainkan bersama dengan Nicolas Burdisso atau Walter Samuel.
Bahkan di musim 2009/2010, Cordoba lebih sering menghuni bangku cadangan karena Mourinho lebih memercayai Samuel dan bek asal Brasil yang baru saja ditebus dari Bayern München, Lucio. Pada musim keduanya bersama Inter kala itu, Mourinho juga berhasil mempersembahkan treble winners (Scudetto, Piala Italia dan Liga Champions) bagi La Beneamata. Sebuah pencapaian hebat yang membuat Interisti bersuka ria.
Dengan usia yang semakin menua, menit bermain dari sosok yang fasih bermain sebagai fullback ataupun bek sentral ini memang terus berkurang. Status pemain utama pun tak lagi bisa disandangnya. Meski begitu, dirinya sama sekali tidak menunjukkan hasrat untuk pergi dari Appiano Gentile, markas latihan Inter. Cordoba tetap menunjukkan dedikasi, kesetiaan dan loyalitas tinggi bagi klub yang mengajaknya berpetualang di Eropa ini.
Sampai akhirnya di musim 2011/2012, bertepatan dengan kontraknya yang habis bersama Inter, Cordoba memutuskan untuk pensiun dari dunia yang membesarkan namanya. Saya pun masih ingat sebuah prosesi perpisahan sederhana yang dilakukan para penggawa Inter untuk melepas kepergian Cordoba.
Kala itu, seusai laga Derby Della Madonnina melawan AC Milan yang dimenangi Inter dengan skor 4-2, seluruh pemain La Beneamata mengenakan jersey dengan nama Cordoba. Mereka lantas menggendong dan melempar-lemparkan bek yang mencetak gol kemenangan tim nasional Kolombia di final Copa America 2001 ini ke udara.
Tifosi yang masih memadati Giuseppe Meazza pun berurai air mata sembari bertepuk tangan. Mereka sadar jika malam itu harus melepas salah satu legenda hidup Inter. Selama berkostum biru-hitam, Cordoba telah bermain di 454 pertandingan resmi. Dirinya juga sukses menyumbangkan 13 titel juara bagi La Beneamata.
Menariknya, momen terakhir Cordoba mengenakan seragam Inter dan merumput di lapangan justru terjadi di partai eksebisi melawan Indonesia Selection di Stadion Gelora Bung Karno tahun 2012 silam. Kala itu, Inter tengah menyambangi Indonesia dalam rangka Inter Tour Indonesia.
Setelah pensiun, Cordoba sempat didapuk untuk menjadi manajer tim sehingga dirinya tetap dekat dengan Inter. Akan tetapi, Cordoba tak begitu lama mengisi posisi ini. Jika dibandingkan dengan Esteban Cambiasso, Diego Milito, Christian Vieri sampai Javier Zanetti, nama Cordoba mungkin tak terlalu sering dinyanyikan tifosi Inter laksana seorang pahlawan. Namun sumbangsihnya selama tiga belas musim bagi warna biru-hitam sungguh terlalu banyak untuk dipandang sebelah mata.
Terima kasih, Ivan. Tanti auguri
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional