Sebuah tim yang baik, dibangun di atas filosofi yang jelas. Jika sebuah klub sudah kehilangan pegangan dasarnya, mau jadi apa klub tersebut di masa depan?
Barcelona tengah memasuki masa-masa darurat. Kegagalan Blaugrana mendatangkan pemain incaran hanya salah satu imbas dari masalah yang lebih memprihatinkan. Ada bara yang tengah membesar dalam tubuh raksasa Spanyol tersebut. Jika tak segera disiram dengan niat perbaikan menyeluruh, api dalam sekam tersebut akan membakar dan meruntuhkan katedral sepak bola Catalan.
Bara panas ini tersulut dari setiap kebijakan manajemen Barcelona saat ini. Tudingan, terutama diarahkan kepada Josep Bartomeu, presiden El Barca yang mulai menjabat pada tahun 2014. Pengusaha berusia 54 tahun tersebut dituduh sudah mengikis identitas Barcelona. Sebuah tudingan yang frontal, mengingat lekatnya tajuk “klub penuh tradisi” dalam diri Barcelona.
Dinamika Blaugrana
Rasa tak jenak pemain menjadi salah satu indikasi sebuah klub yang berjalan di jalur yang salah. Sesaat setelah meninggalkan Barcelona, Victor Valdes sempat mengungkapkan isi hatinya. “Satu musim di Barcelona terasa seperti dua musim di klub lain,” ungkapnya.
Pembaca pernah mengalami perasaan yang sama? Ketika tidak diperlakukan dan diperhatikan dengan adil, perasaan ingin cepat-cepat mengakhiri hari sangat terasa. Tak ingin berlama-lama berhubungan dengan sumber sakit hati tersebut. Dan memang, pada akhirnya, Valdes tak memperpanjang kontraknya dan hengkang ke Inggris.
Saga Dani Alves pun hampir sama dengan yang terjadi kepada Valdes. Bek asal Brasil tersebut bermasalah dengan manajemen. Ia juga jengah dan tak jenak dengan kepemimpinan Bartomeu. Tak main-main, ia yang baru saja bergabung dengan Paris Saint-Germain tersebut menyerang sang presiden secara langsung lewat Twitter.
Ketika berbicara kepada Mundo Deportivo, Bartomeu berkata bahwa, “Dani Alves orang yang menyenangkan dan kami semua menyukainya. Dia tak punya masalah dengan klub. Dia dan saya tahu benar bahwa masalah sebenarnya, yang mana sangat pribadi dan tidak berkaitan dengan sepak bola.”
Bartomeu menambahkan bahwa Januari yang lalu, Alves sempat mengiriminya sebuah pesan. Mereka lantas bertemu untuk merundingkan kemungkinan Alves kembali ke Barcelona. Pembaca tahu respons Alves di Twitter. Singkat saja, Alves berkicau: mentira!, yang dalam Bahasa Indonesia berarti “pembohong”.
https://twitter.com/DaniAlvesD2/status/884193226613293060
Bagaimana rasanya pembaca dimaki sebagai seorang pembohong di ranah publik? Tentu menyakitkan, apalagi, Bartomeu juga punya masalah dengan otoritas hukum di Spanyol dengan tuduhan korupsi berkaitan dengan transfer pembelian Neymar.
Selain bermasalah dengan pemain, lingkaran pengambil keputusan di Barcelona, yang disebut socios, juga menuai banyak kritikan. Mereka, yang beranggotakan hingga 177.000 orang, dianggap sebagai dalang terpilihnya Bartomeu. Masalahnya adalah, anggota socios tersebut sangat mudah terseret arus politik untuk kemudian disetir oleh pemegang modal terbesar.
Bisnis menjadi yang paling utama dan mengikis identitas Barcelona. Johan Cruyff sudah mengungkapkan keprihatinanya sejak jauh hari, sebelum beliau meninggal dunia. “Uang bukan prioritas. Yang perlu diutamakan adalah prinsip dan nilai sebuah klub. Barcelona sudah kehilangan dua hal itu.”
Prinsip dan identitas yang terkikis
Prinsip dan identitas Barcelona terlihat jelas di atas lapangan ketika dipimpin Joan Laporta, dari tahun 2003 hingga 2010.
Ketika Laporta mengambil alih, Barcelona baru saja menyelesaikan salah satu musim terburuknya: duduk di posisi ke-6 dan punya masalah keuangan. Salah satu keputusan penting yang diambil Laporta adalah mendayagunakan akademi mereka: La Masia.
Tak hanya itu, Laporta menggandeng legenda terbesar Barcelona, Johan Cruyff ke dalam jajaran manajemen dengan memberinya posisi penasihat, seorang presiden kehormatan. Di atas lapangan pun, filosofi Cruyff sangat kentara. Menunjukkan bahwa slogan mes que un club bukan sekadar penghias tribun Nou Camp saja.
Salah satu usaha Laporta menjaga identitas Barcelona adalah perjudiannya dengan mengurungkan niat menjadikan Jose Mourinho sebagai pelatih. Saat itu, karier Mourinho tengah menanjak dan dipertimbangkan sebagai salah satu pelatih terbaik di dunia. Namun, Laporte justru menunjuk Pep Guardiola, pelatih yang masih hijau di kancah sepak bola level tertinggi.
Salah satu obrolan di balik layar tersiar bahwa saat itu, Mourinho menunjukkan ego yang sangat besar ketika wawancara kerja. Sementara itu, Pep lebih membumi, lebih menunjukkan kebersamaan yang menjadi dasar Barcelona. Laporte menggambarkan situasi tersebut sebagai “keputusan yang mudah”. Ia memahami bahwa Pep adalah wujud Barcelona itu sendiri.
Pada awal kepemimpinanya, Laporte tak berharap Pep langsung memenangi piala. Namun justru Pep mempersembahkan salah satu masa keemasan Barcelona dengan memenangi semua piala yang tersedia.
Sayang, situasi mulai berubah ketika Sandro Rosell terpilih menggantikan Laporta. Salah satu keputusan besarnya adalah terjalinnya kerja sama dengan Qatar Foundation. Masa kepemimpinan Rosell tak berlangsung lama. Tahun 2014, Bartomeu “membajak” jabatan Rosell dan terpilih sebagai presiden.
Dan tepat saat itulah, prinsip dan identitas Barcelona mulai dipertaruhkan. Jangan salah, bersama Bartomeu, Barcelona masih bisa meraih treble pada tahun 2015. Catatan manis tersebut masih dilanjutkan dengan dua gelar domestik setahun setelahnya. Dari luar, Barcelona nampak baik-baik saja. Namun di dalam, api dan bara itu semakin membesar.
Terkikisnya prinsip dan identitas Barcelona sangat terasa musim ini. Dari cara mereka bermain, tidak nampak lagi filosofi Cruyff yang dahulu mendominasi. El Barca terlalu bertumpu pada tiga monster di lini depan: Lionel Messi, Neymar, dan Luis Suarez. Masalah ini pun sebenarnya sudah terasa di tahun 2015, ketika mereka memenangi tiga piala mayor.
Identitas La Masia juga mulai lesap di bawah kepemimpinan Bartomeu. Salah satu indikasinya adalah aktivitas transfer yang begitu buruk. Mereka membeli pemain mahal, yang kualitas serta cara bermainnya tidak mencerminkan DNA Barca. Mulai dari Andre Gomes, Arda Turan, Paco Alcacer, hingga Jeremy Mathieu.
Barcelona bahkan melepas para pemain muda mereka yang mulai menunjukkan potensinya di La Masia. Yang paling terakhir adalah ketika Manchester City memboyong Eric Garcia, salah satu pemain paling menonjol di akademi La Masia. Akademi yang dahulu disebut sebagai “pabrik impian”, kini semakin merana.
Saat ini, Barcelona juga dibangun di atas individu. Masih ingat dengan pemecatan Pere Gractos, seorang direksi klub? Kurang lebih, Pere berkomentar seperti ini: “Messi adalah salah satu pemain penting di tim ini. Tapi Messi tanpa Neymar, Suarez, Iniesta, Pique, tidak akan menjadi pemain yang sebagus saat ini. Meski jelas, ia adalah pemain terbaik di klub.”
Barcelona sangat memuja Messi. Tak salah memang mengingat semua piala yang dipersembahkan megabintang Argentina tersebut. Namun ketika tim “mendewakan” satu pemain, identitas klub jelas akan dinomorduakan.
Melihat kemunduran Barcelona, Laporte berujar, “Sudah sejak lama manajemen saat ini mulai menghancurkan Barcelona. Satu-satunya hal yang mereka lakukan adalah mengambil keuntungan dari yang tersisa, dan mendidikasikan kerja untuk diri mereka sendiri.” Separah itukah borok di dalam tubuh Barcelona?
Kausalitas
Ada sebab, ada akibat, hubungan kausalitas terlihat. Manajemen yang buruk, sangat berpengaruh dengan kondisi skuat. Boleh dibilang, saat ini, skuat Barcelona tak seimbang, dengan proses pembelian yang buruk, terlalu bertumpu kepada pemain bintang, dan akademi yang “nampak” ditinggalkan.
Pembaca ingat tim apa yang pernah dalam situasi menyedihkan ini? Ya, Real Madrid, di era Galacticos mereka yang mewah. Salah satu kampanye Florentino Perez adalah mendatangkan pemain bintang sebanyak mungkin ke Madrid.
Luis Figo, Zinedine Zidane, Ronaldo Lima, hingga David Beckham, rentetan pembelian yang menyedot anggaran hingga 218 juta euro. Tahun 2003, Madrid menggelar acara perkenalan Beckham sebagai pemain baru pada pukul 11 malam waktu Spanyol! Sebuah gelagat bisnis, demi meraih penonton Asia yang memang besar.
Ide ini memang sukses besar dari mata bisnis. Acara perkenalan Beckham menjadi acara televisi dengan jumlah penonton kedua terbanyak di dunia setelah prosesi pemakaman Lady Diana. Namun dari mata skuat, pembelian pemain bintang merusak keseimbangan tim. Penjualan Claude Makelele adalah contohnya.
Madrid belajar dari kesalahan mereka dan memperbaiki kebijakan di masa depan. Saat ini, skuat Los Blancos jauh lebih kuat dan seimbang ketimbang Barcelona. Pembelian yang cerdas dan berinvestasi kepada pemain muda terbayar dengan manis. Sekarang, justru Barcelona yang mengikuti kesalahan Madrid, khususnya terkait kebijakan pembelian pemain.
Kegagalan beruntun yang dicatatkan Barcelona di jendela transfer menjadi masalah sampingan yang lain. Gagal memboyong Marco Verratti, Barcelona mengalihkan perhatian kepada Paulinho. Ia bukan pemain yang buruk, namun jelas berbeda dengan spesifikasi gelandang yang tengah dibutuhkan. “Andre Gomes jilid 2”?
Bara itu merah membara. Barcelona pastinya sadar dengan potensi merusak yang bisa dihadirkan kobaran api itu. Mereka pun juga paham bahwa kehancuran total masih bisa dihindari. Kesanggupan untuk mundur dari presiden yang sekarang akan menjadi awal yang baik. Sebuah sikap yang sejuk. Sesejuk hujan bulan Juni yang jarang terjadi.
Disclaimer: Tulisan ini disusun dari kultwit akun Twitter @sweeperability. Thread yang dimaksud bisa Anda baca di sini.
Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen