Dua entitas yang saya sebut di kalimat judul sedang bersiap menyambut musim baru dalam beberapa pekan ke depan. Liga Primer Inggris, seperti biasa, akan menjadi liga papan atas Eropa paling awal yang membuka musim, yaitu laga Jumat malam antara Arsenal melawan Leicester City pada 11 Agustus 2017.
Sementara itu, Game of Thrones besutan David Benioff dan D.B. Weiss musim ketujuh akan mengudara pada 16 Juli 2017 di saluran HBO. Menyadari bahwa syarat pergaulan generasi milenial adalah tidak gagap akan perkembangan “segala kejadian di luar sana”, Liga Primer Inggris dan Game of Thrones menjadi sangu utama dalam hal perbincangan di kalangan anak muda.
Baik Liga Primer Inggris maupun Game of Thrones, tidak punya sesuatu yang dapat menjadikan warga negara dunia ketiga tidak jatuh cinta. Dapat dimaklumi, pada saat kompetisi sepak bola nasional sedang tergopoh-gopoh merangkak mengejar kemajuan negara tetangga, publik disuguhi tontonan kelas atas berkat kesediaan stasiun swasta menyiarkannya secara cuma-cuma di akhir pekan, prime time pula.
Untuk alasan ini pula Liga Primer Inggris lebih mendapat tempat di mata orang-orang awam mengingat liga papan atas Eropa lain tidak mempu menemukan pembeli di tingkat konglomerat televisi. Kontradiktif dengan hal tersebut, Game of Thrones menikmati popularitas di Indonesia justru berkat kejengahan penonton atas pameran sinema elektronik tak berbobot cum tak mencerdaskan.
Tidak seperti film bioskop yang dapat diketahui akhir ceritanya dalam sekali selonjor, Game of Thrones menawarkan kegilaan, keruwetan serta kelicikan tanpa ujung dalam 80 episode.
Jutaan orang telah terpengaruh adegan penuh intrik dengan tebas-menebas kepala sebagai pemandangan rutin dan sejuta di antaranya bersedia melempar rating 9,5 dari skala 10 ke pangkalan data sinematik daring IMDb. Kejadian fiktif di mana Cersei Lannister dikepung klan Targaryen, Tyrell, Greyjoy dan Martell dari timur, klan Stark dari utara, serta para White Walkers dari balik tembok sungguh membuat semua orang ingin merasakan bagaimana panasnya cuaca King’s Landing.
Hanya, mengutip Arlian Buana dari Tirto.id, begitu kompleksnya suasana di Westeros mengakibatkan beberapa orang alpa betapa sederhananya narasi serial ini, yaitu perebutan kekuasaan di Seven Kingdoms. Menariknya, begitu kita mengenali kesederhanaan dalam banyak hal, kita dapat mengidentifikasi perbandingan-perbandingan di antara banyak objek dengan kesederhanaannya masing-masing.
Seperti halnya beberapa klan yang jotos-jotosan agar bisa menaruh pantat di Iron Throne, ada juga beberapa kelompok kepentingan yang berjibaku mengamankan sebuah glorifikasi atas suatu trofi. Trofi tersebut diperebutkan setiap tahunnya dalam tajuk Liga Primer Inggris, liga dengan stereotip tak jauh-jauh dari kata “kekuatan”, “kecepatan” dan sebagainya.
Liga Primer Inggris juga mengandung benih kerumitan dan kompleksitas yang lebih nyata, logis, rasional dan jauh lebih bisa dirasakan ketimbang utopia Game of Thrones. Cakupan okupansi Liga Primer Inggris juga telah mencapai sudut-sudut terpencil di ujung dunia paling sulit dijangkau sekalipun.
Usaha tanpa kenal sayah dilakukan oleh klub-klub ke seberang lautan guna melebarkan sayap bisnis (direktur pemasaran dan duta klub adalah orang penting disini; Indonesia termasuk destinasi potensial) serta meningkatkan aspek teknis (pemandu bakat atau talent scout aktif bekerja siang malam; Amerika Selatan dan Afrika ialah tujuan favorit).
Paralel dengan kematian Robert Baratheon yang mengakibatkan turbulensi politik di King’s Landing hingga sejurus waktu kemudian menimbulkan beragam upaya kudeta dari klan-klan lain, tahta (baca: trofi) Liga Primer Inggris juga memunculkan persaingan abadi bagi klub-klub raksasa Inggris.
Persaingan ini dapat menyajikan baku hantam secara kasat mata di dalam lapangan, seperti yang rutin terjadi di dalam kotak penalti sebelum sepak pojok dimulai atau duel di belakang panggung yang biasanya dilakukan orang-orang berdasi di belakang meja. Ungkapan “kegeraman resmi” Southampton di situs resmi mereka saat Liverpool secara illegal melayangkan pendekatan persuasif ke Virgil van Dijk hanyalah satu contoh di permukaan.
Detail-detail kecil dan implikasinya pada masifnya hubungan kausalitas pada kesuksesan tiap klub menjadikan Liga Primer Inggris jauh lebih butuh konsentrasi tinggi daripada sekadar mengincar kursi panas di Red Keep.
Rincian dalam aras mikro dapat menjadi penentu tiga poin di sebuah pertandingan, seperti saat perintah Aitor Karanka tentang kebiasaan bergerak bek sayap musuh tidak diindahkan Adama Traore dalam sebuah pertandingan Middlesbrough musim lalu. Pengaruh seperti demikian juga dapat ditemui dalam instruksi Sean Dyche kepada Ashley Barnes agar menjadi penyedia second ball bagi Burnley dalam setiap tendangan bebas yang diambil kiper Tom Heaton.
Perihal panjangnya rentetan kematian tokoh utama di Game of Thrones, memang tidak dapat ditemukan hal serupa di Liga Primer Inggris. Akan tetapi, terhentinya suatu karakter dalam suatu serial bisa dikatakan ekuivalen dengan ketidakmampuan seorang pelaku untuk bersaing dalam suatu ekosistem, dalam hal ini Liga Primer Inggris.
Terdapat daftar panjang tentang mereka yang harus meringis menghadapi kejamnya Liga Primer Inggris, beberapa di antaranya adalah orang-orang ini: Kostas Mitroglou datang ke Fulham dengan predikat penyerang terbaik Yunani. Nyatanya, ia tidak mampu menduplikasi apa yang dilakukannya di Liga Yunani ke Inggris. Fulham malah terdegradasi lima bulan setelah kedatangannya. Ia sukses di Benfica segera setelah keluar dari Craven Cottage.
Giannelli Imbula ialah komoditi panas eropa dalam beberapa musim terakhir ketika secara mengejutkan Stoke City memecahkan rekor klub pada Januari 2016. Meski begitu, karier Imbula justru berjalan menuju mimpi buruk akibat sering tampil buruk kala malam hujan berangin di Bet365 Stadium.
Kalah bersaing dengan gelandang gaek Irlandia Glenn Whelan, sang agen sedang sibuk mencarikan klub baru untuknya pada bursa transfer kali ini. Sementara itu, Walter Mazzari mencoba peruntungan ke Watford dengan berstatus pelatih beken Italia setelah menangani Napoli dan Internazionale Milano. Sayang, ia sudah cukup tua untuk belajar bahasa Inggris, sehingga ia tidak mampu mengendalikan ruang ganti tim.
Kelihaiannya meramu taktik menjadi tidak berguna ketika ia gagap berbicara di depan pemain, serta tidak kunjung memberi impresi positif ke penggemar lantaran tidak pernah bercakap tanpa didampingi penerjemah. Ia dipecat pada pekan ke-37 musim lalu.
Bahkan jika ditinjau dari sisi finansial pun, Liga Primer Inggris nampak lebih superior dibanding Game of Thrones. Enews berspekulasi tiap episode Game of Trones menghabiskan biaya enam juta dolar, sedangkan Forbes mengatakan biaya per episode pada musim keenam ialah sepuluh juta dolar.
Bila diambil median dari dua angka tersebut lalu dikalikan jumlah seluruh episode, 80 (delapan musim dengan sepuluh episode tiap musimnya), berarti 8 juta dikalikan 80, menghasilkan angka 640.000.000 Dollar Amerika. 640 juta dolar setelah dikonversikan ke kurs mata uang Inggris akan bernilai 495 juta paun. Seberapa besar uang segitu dibanding Liga Primer Inggris?
Transfermarkt menuturkan jumlah keseluruhan nilai skuat 20 klub Liga Primer Inggris musim lalu adalah 5,36 miliar paun. Angka 495 juta paun milik Game of Thrones hanya mampu mendekati Manchester United dengan nilai skuat 496,75 juta paun.
Selebihnya akan terlihat sangat jomplang karena jumlah tujuh tim teratas saja, agar sepadan dengan Seven Kingdoms, adalah 3,5 miliar paun (Manchester City 620,30 juta; Chelsea 600,80 juta; Arsenal 554 juta; Tottenham Hotspur 500 juta; Manchester United 496,75 juta; Liverpool 459 juta; Everton 308 kuta).
Saya akan sangat senang jika ada yang berminat melengkapi angka-angka di atas dengan menyertakan perbandingan total pendapatan Liga Primer Inggris dan Game of Thrones. Untuk sementara, setelah mencermati uraian perbandingan kualitatif maupun kuantitatif secara serampangan di atas, saya menyimpulkan orang-orang Richard Scudamore di Liga Primer Inggris mampu mengangkangi HBO dalam hal pemilikan karya penggugah perhatian generasi milenial.
Baca juga: Arsenal dan Siklus Game of Thrones
Author: Mukhammad Najmul Ula (@najmul_ula)
Mahasiswa yang menganggap dua hal paling menggairahkan di dunia adalah sepak bola dan ilmu politik