Sebuah jabatan memang seperti pisau bermata dua; di satu sisi menggiurkan namun juga menjerumuskan. Jabatan memungkinkan seseorang melakukan apa saja karena dia punya kewenangan. Tinggal bagaimana orang itu memanfaatkan jabatannya.
Jabatan jika digunakan dengan cara yang baik, maka hasilnya akan baik. Tetapi kalau tidak? Kita sudah menyaksikan betapa banyak pejabat yang harus mengakhiri masa jabatannya berada di tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jabatan yang dulu diagungkan, fasilitas yang berlimpah, semua tidak berarti apa-apa lagi jika sudah tersandung kasus hukum. Sangat miris.
Jika orang lain merasa belum puas menjabat (dan masih betah menjabat walau sudah jadi tersangka), yang dialami mantan bos FIFA, Sepp Blatter, justru sebaliknya. Pria gaek asal Swiss ini justru menyesal tidak mengundurkan diri lebih awal saat kasus korupsi melanda badan sepak bola dunia pada 2015 lalu.
Dalam wawancaranya dengan sebuah media lokal Swiss, Blatter yang sempat terpilih menjadi presiden FIFA untuk kelima kalinya (sebelum akhirnya mengundurkan diri) mengatakan bahwa harusnya dia mengundurkan diri lebih awal dan justru lepasnya jabatan sebagai presiden FIFA adalah hal yang melegakan. Berbeda jauh dengan di Indonesia, ya?
Blatter juga sempat ditanya mengenai sebuah laporan di surat kabar Jerman, Der Spiegel, bahwa bos FIFA saat ini, Gianni Infantino, sempat takut posisinya akan tergeser karena diselidiki berkaitan dengan investigasi komite etik.
Namun, FIFA menyatakan Infantino bebas dari segala tuduhan pelanggaran etika setelah menyelidiki penggunaan jet pribadi, pengeluaran pribadi hingga masalah kontrak.
Blatter juga sempat mengomentari diterapkannya video replay atau VAR di Piala Konfederasi di Rusia. Apa pendapatnya? Justru Blatter mengkritik penggunaan VAR dan wajar saja jika sesekali wasit berbuat salah. VAR justru dianggap merusak permainan, demikian menurut pria berusia 81 tahun ini. Namun, Blatter nyatanya masih menjadi sosok yang penting. Terbukti, presiden Rusia, Vladimir Putin, mengundangnya untuk hadir ke Piala Dunia Rusia tahun depan.
Krisis FIFA, Krisis dunia
FIFA bisa dibilang organisasi super. Suatu negara berani keluar dari PBB, namun tidak ada negara yang berani benar-benar keluar dari FIFA. Itu menunjukkan bahwa sepak bola begitu penting bagi suatu negara karena berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Namun, tidak ada sesuatu yang 100 persen sempurna. FIFA juga tidak sepenuhnya bersih dari korupsi dan suap. Dua tahun lalu, jelang kongres tahunan FIFA, skandal korupsi dan suap ini sempat menghebohkan dunia sepak bola. Bagaimana ceritanya?
Semua berawal di akhir Mei 2015 saat tujuh pejabat FIFA ditangkap oleh pihak berwenang Swiss. Dua di antaranya adalah wakil presiden FIFA yang saat itu masih menjabat, yaitu Jeffrey Webb dan Eugenio Figueredo.
Penangkapan ini berbuntut panjang, termasuk terungkapnya ada indikasi suap saat terpilihnya Rusia dan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022. Lalu terungkap juga salah seorang pejabat FIFA yang menerima suap untuk memuluskan langkah Afrika Selatan menjadi tuan rumah tahun 2010 lalu.
Akhirnya berkat kasus pelik ini, Blatter resmi mundur pada 2 Juni 2015 dan pemilihan segera berlangsung untuk menggantikan dirinya.
Pernyataan mantan bos FIFA, Sepp Blatter, tentunya menjadi renungan bagi kita semua (khususnya para pejabat) agar mawas diri. Tidak ada yang langgeng di dunia ini karena sekali nama kita terseret kasus, reputasi baik yang sudah dibangun bertahun-tahun jadi tidak berarti lagi.
Author: Yasmeen Rasidi (@melatee2512)