Tepat pada hari ini, 13 tahun yang lalu, sebuah kejadian janggal terjadi di Estádio da Luz, Lisbon. Sebuah negara dengan mayoritas pemain kelas dua, tak diunggulkan sama sekali dan lolos dari penyisihan grup hanya berkat keunggulan selisih gol, di akhir turnamen dinobatkan menjadi yang terbaik, bahkan mengalahkan tuan rumah.
Nama Angelos Charisteas pasti akan selalu diingat oleh para suporter Portugal yang menyaksikan laga puncak Piala Eropa 2004. Menyambut sepak pojok Angelos Basinas di menit ke-57, penyerang yang memperkuat Werder Bremen itu melompat mendahului kiper Portugal, Ricardo, dan mencetak gol semata wayang untuk gelar prestisius satu-satunya yang akan selalu dibanggakan Yunani dalam puluhan hingga ratusan tahun ke depan.
Yunani bersorak, Portugal menangis terisak-isak. Selecção das Quinas gagal menggenggam gelar juara walau berstatus tuan rumah, diperkuat pemain-pemain terbaik Eropa, bahkan kembali takluk dari lawan yang sama di ajang yang sama. Di babak penyisihan grup, Portugal juga kalah dari Yunani dengan skor 1-2. Menyedihkan memang.
Di laga puncak, tim asuhan Luiz Felipe Scolari memainkan materi terbaiknya. Felipao menurunkan tim yang sama seperti saat mengalahkan Belanda di semifinal. Ricardo Carvalho dan Jorge Andrade berdiri kokoh di lini belakang, Costinha dan Maniche menjadi jagal di lini tengah untuk mengimbangi trio gelandang serang Luis Figo, Deco dan sang calon megabintang, Cristiano Ronaldo. Kejutan sedikit terjadi di lini depan karena Pedro Pauleta lebih dipercaya sebagai starter daripada Nuno Gomes yang sedang on fire.
Sebaliknya di kubu “tim tamu”, tak ada pemain tenar kecuali sang kapten Theodoros Zagorakis yang kelak terpilih sebagai pemain terbaik turnamen. Selebihnya, tidak ada yang menarik perhatian kecuali satu hal, semua nama pemain Yunani di pertandingan itu berakhiran huruf “S”.
Pun begitu, Yunani di Euro 2004 bukanlah Yunani biasa dan mungkin saja mereka dipinjami kekuatan para dewa untuk sekali-kali merasakan indahnya trofi juara. Bagaimana tidak, di fase gugur, Antonios Nikopolidis dan kawan-kawan hanya meraih satu kemenangan, satu kali imbang dan sekali kalah dari tim juru kunci Rusia.
Selisih gol mereka dengan Spanyol sama, namun karena lebih banyak memasukkan gol, maka Yunani berhak lolos ke fase gugur dan di sini mukjizat para dewa turun menghampiri para penggawa Yunani. Sejak fase gugur (termasuk babak final), Yunani selalu menang dengan skor 1-0. Uniknya lagi, semua gol Yunani dicetak dari skema sepak pojok. Hanya kehendak para dewa yang dapat membuat memori kejayaan Yunani seunik itu.
Kejadian unik juga dialami dua bek sayap Yunani di partai final, mereka direkrut oleh klub kontestan Liga Portugal sebelum Euro 2004 dimulai. Takis Fyssas yang berposisi bek kiri didatangkan Benfica dari Panathinaikos pada Januari 2004, sedangkan kisah Giourkas Seitaridis yang merupakan bek kanan lebih menarik. Ia juga mengikuti jejak Fyssas yang hijrah dari Panathinaikos, namun ia berlabuh di FC Porto dan baru saja diresmikan pada 1 Juli 2004, alias tiga hari sebelum dirinya mengandaskan perlawanan Portugal.
Gelombang mantan starter Yunani di final Euro 2004 yang merantau ke Liga Portugal kemudian diteruskan oleh Kostas Katsouranis. Ia berlabuh di Benfica dari AEK Athens pada Juli 2006.
Kini, mukjizat para dewa telah menjauh dari para penggawa timnas Yunani. Dengan kualitas pemain yang tak kunjung meningkat dan skandal yang terus menerus menimpa liga domestik mereka, sulit rasanya mengharapkan Yunani akan kembali berpesta di ajang bergengsi atau hanya sekedar ikut berpartisipasi sebagai kontestan, kecuali jika Wonder Woman ikut turun berjuang bersama para penggawa Ethniki.
Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.