“Kita (perempuan) punya rahasia dalam budaya kita, bukan bahwa melahirkan itu menyakitkan, tetapi bahwa wanita itu kuat” –Laura Stavoe Harm.
Di era modern saat ini, peran perempuan sudah terlibat lebih menonjol dibandingkan berpuluh-puluh tahun sebelumnya. Banyak wanita yang mengambil karier di bidang-bidang yang dominannya diisi oleh pria, bahkan tak jarang menuliskan namanya di buku sejarah.
Tak terkecuali di sepak bola, olahraga yang dikenal sebagai olahraga maskulin para lelaki. Kita bisa melihat beberapa contoh seperti Rosella Sensi yang pernah menjadi chairman AS Roma maupun Margarita Louis Dreyfus, yang pernah menjadi pemilik Olympique Marseille.
Tidak hanya di belakang meja saja, ada beberapa contoh juga perempuan yang memiliki karier di lapangan hijau sendiri (sebagai pemain, pelatih, atau wasit) seperti Bibiana Steinhaus yang akan menjadi wasit wanita pertama Bundesliga per musim 2017/2018 maupun Eva Carneiro yang pernah menjadi fisioterapis di Chelsea.
Baca juga: Balada Kaum Wanita dan Sepak Bola
Dan salah satu yang patut jadi perhitungan saat ini adalah Corinne Diacre, pelatih klub Ligue 2 Prancis, Clermont Foot 63.
Mungkin kita belum pernah mendengar namanya, namun di Prancis sendiri namanya mulai menjadi perbincangan dalam beberapa tahun terakhir. Ya, karena Diacre sendiri adalah seorang perempuan dan menjadi perempuan satu-satunya yang melatih tim di kompetisi sepak bola pria profesional di Prancis. Munculnya sosok yang juga mantan pesepak bola wanita ini cukup memberi warna tersendiri di sepak bola Eropa saat ini.
Sebelum menjadi pelatih, Diacre sudah mempunyai karier panjang sebagai pemain selama 19 tahun. Bersama klub sepak bola wanita, ASJ Soyaux dan timna Prancis, dia menjadi pemain timnas dengan caps terbanyak ketiga (121).
Setelah pensiun sebagai pemain, Diacre pun menjadi pelatih mantan timnya, Soyaux selama 4 tahun (2010-2014) dan menjadi asisten pelatih timnas perempuan Prancis dari tahun 2007 hingga 2014, sebelum akhirnya didapuk menjadi pelatih Clermont Foot per musim 2014/2015.
Padahal Clermont Foot sendiri sebetulnya tidak asing dengan sosok pelatih wanita. Sebelum Diacre, Helena Costa sudah pernah menukangi klub yang berdiri sejak tahun 1911 tersebut. Namun, Helena Costa hanya bertahan selama kurang dari dua bulan, bahkan sebelum Ligue 2 resmi bergulir.
Alasan tidak dihargai dan kehilangan kontrol ruang ganti (dikarenakan dia sebagai perempuan dan kurang dihormati oleh pemainnya) selama menukangi Clermont Foot menjadi alasan pelatih asal Portugal tersebut meninggalkan jabatan pelatih pada 2014.
Tentu saja hal tersebut menjadi momok bagi Diacre. Apalagi beberapa pihak meragukan kemampuannya mengingat track record-nya yang kurang mentereng dan tentu saja ketakutan apabila para pemain (yang tentu saja pria), tidak menaruh respect kepadanya dalam memimpin tim.
Namun mantan pemain yang berposisi sebagai pemain bertahan tersebut tidak terlalu ambil pusing mengenai masalah tersebut, dia lebih memilih fokus dalam tugasnya di lapangan.
“Saya tidak akan berkomentar dengan isu tersebut, sekarag misi saya adalah memimpin Clermont Foot dengan tujuan dan hal-hal baru yang akan menyertainya, tetapi peran saya tentu saja akan berada di lapangan. Saya akan memberikan yang terbaik pada tugas saya di lapangan,” ujarnya pada sebuah konferensi pers.
Tantangan pun tidak berhenti sampai disitu. Clermont Foot di bawah komandonya tidak pernah meraih kemenangan dalam lima laga awal Ligue 2 dan berada di posisi terbawah saat musim pertamanya. Tentu saja media-media mengkritik dan meragukan kemampuannya.
Bahkan tidak adanya direktur olahraga di tubuh klub membuat Diacre harus ikut terlibat dalam urusan transfer pemain. Namun di akhir musim pertamanya, Diacre berhasil membungkam kritik dengan membawa Clermont Foot berada di posisi 12 dan bertahan di Ligue 2. Tidak hanya sampai di situ, pelatih berusia 42 tahun tersebut bahkan berani melakukan sejumlah perubahan di tubuh timnya, dengan menjual beberapa pemain yang tidak sesuai dengan strateginya dan juga mengubah susunan staf kepelatihan.
Tentu saja setelah itu membuat namanya diakui oleh publik sepak bola Prancis. Corinne Diacre berhasil membawa Clermont Foot stabil dan bertahan di Ligue 2 hingga saat ini. Bahkan Diacre dianugerahi gelar Ligue 2 Manager of The Year pada tahun 2015. Hal itu membuat manajemen klub puas dengan kinerjanya dan memberinya perpanjangan kontrak hingga 2018.
Capaian Diacre semakin membaik ketika di musim 2015/2016, ia sukses membawa anak asuhnya finis di posisi 7 klasemen akhir. Musim lalu, 2016/2017, Diacre, walau tak sesukses musim keduanya, kembali berhasil membawa timnya finis di posisi 12 dan lagi-lagi selamat dari jerat degradasi.
Walau lumayan sulit, bukan hal mustahil jika dalam beberapa waktu ke depan, Clermont Foot akan berlaga di Ligue 1, kompetisi tertinggi sepak bola Prancis. Dan juga, bukan hal mustahil pula jika Corinne Diacre akan mencatatkan sejarah sebagai wanita pertama yang melatih tim di kompetisi tertinggi sepak bola Prancis atau lebih spektakuler lagi, menjuarainya di kemudian hari.
Satu yang terpenting, akan ada saatnya kisah Diacre ini akan menginspirasi wanita lainnya untuk meraih prestasi seperti (atau bahkan lebih) Diacre dan menunjukkan bahwa wanita bisa bersaing dengan pria tidak hanya di sepak bola, tapi juga di semua segi kehidupan.
Author: Alessandro Pradipta (@pradipta_ale)
Seorang mahasiswa desainer grafis di salah satu kampus swasta di Yogyakarta dan menggemari sepak bola. Bisa cek akun Instagram untuk melihat karya grafis saya di @pradiptale.