Eropa Lainnya

‘Ancaman’ yang Nyata dari Financial Fair Play (FFP)

Bulan Juni hingga Juli ini memang kompetisi tengah libur. Tidak terlalu banyak turnamen yang menarik perhatian dunia kecuali “miniatur Piala Dunia” yaitu Piala Konfederasi di Rusia yang akan mulai Sabtu (17/6) mendatang. Namun, bukan berarti dunia sepak bola akan tenang-tenang saja.

Hampir semua klub sudah mulai bergerak cepat mengincar para pemain favorit di bursa transfer. Saya jadi ingat pertanyaan keponakan saya beberapa tahun lalu saat masih dia masih di bangku Sekolah Dasar. Dia sempat bertanya ”Beli pemain bola itu mahal, ya?”

Pertanyaan sangat polos khas anak kecil. Sebagai anak-anak, pemikirannya belum sampai bahwa urusan membeli pemain bola (terlebih di kompetisi elite Eropa) bukan seperti membeli sepatu baru atau mainan belaka.  Yang datang ke toko, pilih, beli, bayar dan selesai. Mungkin keponakan kecil saya juga bingung betapa klub-klub selevel Manchester United, Juventus, Barcelona atau Real Madrid bisa mengeluarkan triliunan rupiah dengan mudah untuk membeli satu pemain bintang saja.

Seperti kita ketahui, klub-klub banyak yang kalap saat bursa transfer resmi dibuka. Mereka terus mengeluarkan uang dengan jumlah tak terbatas dan akhirnya mereka sendiri harus berutang. Sudah banyak bukan contoh kasus seperti ini? Akhirnya, neraca pengeluaran dan pemasukan jadi tidak imbang.

Nah, saat Michel Platini menjadi Presiden UEFA (dan Gianni Infantino masih menjabat sebagai Sekretaris Jenderal UEFA), ia sudah mengeluarkan aturan pada 2011 terkait hal ini. Namanya Financial Fair Play (FFP). Apakah itu?

FFP adalah aturan yang tujuannya untuk menyeragamkan kemampuan bermain di lapangan hijau bagi 660 klub di seluruh Eropa. Terkesan rumit, bukan?

Ada batas kerugian atau breakeven yang menjadi patokan apakah klub tersebut masih boleh berlaga di kompetisi berikutnya atau tidak.  Saat awal diterapkan, ada kompromi bahwa klub-klub yang mengalami kerugian sebesar 39,5 juta paun masih boleh ikut kompetisi.

Mulai 2014 hingga 2017, UEFA tidak main-main dalam menerapkan aturan ini dan total kerugian yang masih bisa diberi toleransi adalah 26,3 juta paun saja.

FC Porto terkena dampak

Jelang bursa transfer musim 2017/2018 ini, klub-klub tentu sudah mulai berhitung jangan sampai karena bernafsu membeli pemain, mereka jadi merugi. Nah, Porto kemudian menjadi salah satu korban awal. Tim asal Portugal ini harus membayar denda sebesar 700 ribu euro dan mengurangi jumlah pemain mereka yang akan berlaga di Liga Champions musim depan (dari 25 menjadi 22 pemain).

Badan pengawas keuangan klub UEFA menetapkan target breakeven yang harus dicapai Porto akhir tahun ini adalah 30 juta euro, lalu 20 juta euro tahun 2018 dan menurun menjadi 10 juta ruro tahun 2019.

Sejauh ini, UEFA mengatakan bahwa Porto menjadi satu-satunya klub yang terkena hukuman akibat melanggar FFP. Saat musim 2013/2014 akan berakhir, UEFA memutuskan menyelidiki sembilan klub karena diduga melakukan pelanggaran terkait FFP  ini dan eks tim asuhan Jose Mourinho ini ‘terpilih’ sebagai korbannya karena gagal menerapkan FFP.

Tidak bisa dipungkiri sepak bola sudah menjadi industri hiburan dengan perputaran duit yang sangat besar. Jangan sampai juga klub sudah getol membeli pemain, tetapi nantinya harus berhutang yang tidak sedikit untuk membayar gaji pemain yang tinggi. Intinya, semua pengeluaran dan pemasukan harus diawasi sedini mungkin dan neraca keuangan harus diusahakan seimbang.

Apakah tim pujaan kalian termasuk dalam daftar rawan pelanggaran FFP, Tribes?

Author: Yasmeen Rasidi (@melatee2512)