Eropa Italia

Akademi Internazionale Milano (Bagian Pertama): Sebuah Ironi

Beberapa waktu lalu, saya pernah menulis secuil kisah perihal kehebatan tim yang bernama Atalanta Bergamasca Calcio dalam memproduksi talenta-talenta berbakat dan berkualitas di kancah sepak bola Italia. Selama puluhan tahun, klub yang bermarkas di Stadion Atleti Azzurri D’Italia ini sukses menancapkan kukunya sebagai salah satu pemilik akademi terbaik di Negeri Spaghetti. Beberapa lulusan akademi La Dea yang sangat populer dan punya segudang trofi antara lain Angelo Domenghini, Roberto Donadoni dan Gaetano Scirea.

Baca juga: Pabrik Pemain Muda Itu Bernama Atalanta

Apa yang dilakukan Atalanta selama ini memang sangat menarik. Walau terbilang miskin gelar di level senior, tak membuat Atalanta menyepelekan proses pembibitan pemain muda. Sebaliknya, mereka justru amat fokus di ranah yang satu ini sehingga hampir di setiap dekade, ada jebolan akademi Atalanta yang namanya meroket, meski tak selalu bergelimang gelar.

Dan musim 2016/2017 kemarin, La Dea kembali sukses mempromosikan pemain-pemain akademinya ke tim utama seperti Alessandro Bastoni, Andrea Conti, Mattia Caldara dan Franck Kessie. Dua nama terakhir malah sudah memastikan berganti kostum per musim depan usai menerima pinangan Juventus dan AC Milan. Sementara pendekatan intensif terhadap Conti masih dilakukan oleh sejumlah klub dengan Milan maju sebagai kandidat terkuat.

Jangan kaget juga apabila Bastoni akan segera menyusul “kakak-kakaknya” itu dengan hijrah ke klub yang lebih besar dalam rentang beberapa musim mendatang.

Berjarak sepelemparan batu dari kota Bergamo, basis Atalanta, dan masih berada di wilayah Lombardy, ada tetangga La Dea yang sejatinya punya akademi dengan kemampuan serupa. Akademi sepak bola yang saya maksud tak lain tak bukan adalah milik tim asal kota Milano, F.C Internazionale.

Dikenal sebagai salah satu klub raksasa di Italia, meski jadi semenjana dalam beberapa musim terakhir, Inter terbilang sangat serius menggarap sektor akademinya. Dalam artikel yang ditulis oleh Matt Gault di thesefootballtimes., terdapat paparan jelas tentang bagaimana model latihan di tim junior Inter merupakan salah satu yang terbaik di dunia sehingga bisa membentuk pemain-pemain muda berkualitas.

Teknik menjadi instrumen yang paling penting untuk ditempa, mulai dari cara mengoper bola, menerima hingga mengontrolnya. Hal ini belum termasuk bagaimana cara melatih akurasi dari ketiga hal tersebut. Selain itu, para tim pelatih juga melatih para pemain muda agar memiliki visi bermain yang baik (tentunya sesuai dengan posisi masing-masing) sampai kesadaran spasial saat bertanding.

Kesemuanya dilatih di setiap jenjang yang ada, baik Pulcini (U-11), Esordienti (U-12), Giovanissimi (U-15), Allievi (U-17), Berretti (U-18) dan Primavera (U-19). Tujuannya tentu saja buat mematangkan skill si pemain sehingga perkembangannya berjalan dengan sempurna. Lebih lanjut, para pelatih di akademi Inter juga meyakini bila memperkuat kemampuan individu (dalam hal fisik dan teknik) lebih dahulu amat krusial peranannya sebelum mengajak para pemain-pemain muda ini belajar tentang sistem permainan dan strategi yang bisa dijalankan.

Bukti dari apiknya metode ini bisa dilihat dari sejumlah alumnus Interello yang telah menahbiskan dirinya menjadi legenda, baik di level klub, negara atau bahkan dunia. Penggila sepak bola mana yang tak kenal figur semacam Giuseppe Bergomi, Roberto Boninsegna, Marco Delvecchio, Sandro Mazzola, dan Walter Zenga? Karier kelima orang itu terbilang ciamik karena sukses meraih beberapa trofi, entah bersama klub maupun tim nasional.

Baca juga: Marco Delvecchio dan Sepotong Kenangan dari Masa Silam

Namun berbeda dengan Atalanta, Inter tak seberani sang tetangga dalam memanfaatkan produk akademinya, khususnya dalam kurun satu dekade terakhir. Padahal, kualitas dari pemain-pemain tim muda Inter bisa dikatakan cukup mumpuni.

Salah satu nama yang paling fenomenal tentu saja Leonardo Bonucci, bek yang kini berseragam Juventus. Lelaki berumur 30 tahun yang kondang sebagai salah satu ball-playing defender terbaik di era sekarang itu sempat menimba ilmu di akademi Inter pada tahun 2005 hingga 2007.

Bonucci kesulitan menembus tim utama Inter yang kala itu diasuh oleh Roberto Mancini. Kondisi ini yang akhirnya membuat Bonucci ikhlas dipinjamkan ke Treviso, kesebelasan yang ketika itu mentas di Serie B. Usai dari Treviso, Bonucci melanjutkan “masa studinya” ke Pisa.

Namun di musim 2009/2010, jalan cerita karier Bonucci berubah setelah dimasukkan Inter dalam klausul pembelian duo Diego Milito dan Thiago Motta dari Genoa. Duet itu sendiri berperan besar atas raihan treble winners I Nerazzuri di musim tersebut. Akan tetapi perjalanan Bonucci tak benar-benar berlanjut di Genoa lantaran manajemen I Grifoni mengirimkannya ke Bari dengan sistem comproprieta alias kepemilikan bersama.

Bareng klub yang berkandang di Stadion San Nicola tersebut, Bonucci mulai naik daun. Giampiero Ventura amat mengandalkannya dalam menggalang lini belakang Bari. Hasilnya pun apik, I Galletti sukses finis di peringkat sepuluh Serie A musim 2009/2010.

Performa gemilangnya bersama I Galletti itu yang kemudian memikat perhatian Juventus dan rela menebusnya dengan mahar sekitar 15,5 juta euro. Dan seperti yang sama-sama kita ketahui, sinar Bonucci sangat berkilau selama berseragam La Vecchia Signora. Dirinya jadi bagian integral kesuksesan Juventus menggondol enam titel Scudetto selama beberapa musim terakhir. Fantastis, bukan?

Bonucci adalah satu dari sekian contoh kasus yang menyebabkan Interisti, pendukung setia I Nerazzurri, kerap meradang. Pasalnya, dengan kemampuan untuk menghasilkan bakat-bakat ciamik seperti itu, Inter malah tampak malas menggunakan produknya sendiri.

Pemain-pemain dari akademi Inter lebih banyak digunakan sebagai alat barter atau diselipkan dalam klausul transfer guna mendapatkan pemain-pemain dari kesebelasan lain, termasuk penggawa asing (baik yang bermain di Serie A atau liga lain) yang berusia lebih matang. Sialnya, tak semua pemain yang diboyong dengan mengorbankan pemain akademi itu bisa bersinar di Stadion Giuseppe Meazza.

Barangkali setelah Goran Pandev, belum ada lagi eks akademi yang sanggup jadi pilihan inti di tim utama sekaligus mengantar I Nerazzurri menjuarai beberapa ajang penting. Situasi ini pun memunculkan satu pertanyaan mendasar: sampai kapan tak memanfaatkan bakat yang dihasilkan akademi sendiri, Inter?

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional