National Football Museum di Manchester mengukir kehebatan Paul Gascoigne dengan gelar syahdu, “the most naturally gifted English midfielder of his generation.”
Pemain yang akrab disebut Gazza memang salah satu gelandang terbaik yang pernah dilahirkan Inggris dalam tiga sampai empat dekade terakhir. Dan entah kenapa, bagi saya, Gazza terasa sangat Inggris. Saya membaca berita tentangnya pertama kali sekitar tahun 2001, kala sang pemain sudah merumput bersama Everton. Kariernya meredup, kualitasnya mulai hilang entah ke mana, dan alkohol menguasai hidupnya.
Di satu titik, Gazza memang cermin sejati sepak bola Inggris. Alkoholik dan bengal. Nakal namun berbakat. Dan memang seperti itulah kita harusnya mengenang karier fenomenal nan ironis milik Gazza. Tidak diragukan memang bahwa ia gelandang brilian yang luar biasa hebat. Mungkin, ini opini saya pribadi, hanya Paul Scholes, satu-satunya gelandang yang memiliki kualitas teknik sebagus dan seistimewa Gazza.
Saya mengorek berbagai cerita soal sang pemain dan muncul dua kata kunci untuk mengingat Paul Gascoigne: Alkohol dan tangis. Pertama dimulai pada 1998, masa kelam yang tak hanya dialami Indonesia di era awal Reformasi, namun juga masa kelam yang mengawali titik terendah karier Gazza.
Dia mengawali pertautan hidupnya dengan alkohol dengan kecanduan minuman keras dan kedapatan menenggak 32 botol wiski dalam satu malam. Peristiwa yang kemudian menggiringnya menuju pusat rehabilitasi pertama setelah delapan tahun sejak performa gemilang di Piala Dunia 1990 bersama timnas Inggris.
Setelahnya, berturut-turut aura negatif membayangi jalan hidup pemain yang memiliki ekspresi wajah begitu ikonik dan senyum yang sekilas, akan membuatmu teringat Wayne Rooney. Di tahun 2001, Gazza didiagnosis memiliki kelainan mental. Vonisnya pun cukup pelik, ia divonis mengidap bipolar disorder dan lagi-lagi membawanya ke tempat rehabilitasi.
Tujuh tahun berselang, jalan hidup Gazza yang kala itu sudah gantung sepatu, menjadi semakin pelik. Tahun 2008, ia kembali harus mendekam di ruang rehabilitasi pada medio Februari. Di bulan Juni pada tahun yang sama, eks pemain Newcastle United ini kedapatan melakukan percobaan bunuh diri dan terpaksa harus ditahan di ruang khusus di rumah sakit mental untuk membatasi kemungkinannya melakukan percobaan bunuh diri.
Semua makin rumit karena setelahnya, ia kedapatan beberapa kali membuat kekacauan dengan bertengkar di dalam pub, menyetir tanpa SIM, dan sialnya lagi, menyetir tanpa SIM dalam keadaan mabuk. Tidak seperti Tony Adams, yang sembuh dari ketergantungan alkohol berkat Arsene Wenger, Gazza hampir tak mendapatkan satu sosok yang benar-benar peduli pada keberlangsungan hidup dan karier sepak bolanya.
Sampai di sini, karier Gascoigne yang gemilang di awal harus tertutup awan kelam yang sialnya, menaungi hidupnya dengan gelap bahkan hingga saat ini. Ia begitu hebat di masanya, gelandang serang kreatif dengan fisik kokoh khas pemain Britania namun diberkahi elegansi dan isi kepala yang cerdas. Sejak Desember 2016 sampai Januari 2017, salah satu legenda besar sepak bola Inggris ini kedapatan tiga kali melakukan perkelahian di pub, melakukan tindak rasisme kepada pelayan di bar dan dikonfirmasi kembali masuk panti rehabilitasi untuk melepaskan total ketergantungan alkoholnya mulai sejak Januari 2017 sampai saat ini.
Namun, selain alkohol, Gazza pun diingat berkat penampilan briliannya di Piala Dunia 1990. Kawan saya, Fajar Martha, sudah menjelaskan panjang lebar tentang bagaimana kiprah spektakuler Gazza, Gary Lineker dan kawan-kawan The Three Lions, menghentak dunia di Italia. Sampai akhirnya, muncullah kisah ikonik itu di Turin.
Ia melakukan tindakan ceroboh yang berbuah kartu kuning di partai semifinal melawan Jerman Barat. Sesaat usai mendapat kartu, Gascoigne termenung dan kemudian muncullah air mata yang keluar dari matanya karena menyadari kendati Inggris mengalahkan tim Panser Jerman dan lolos ke final, sang nyawa lini tengah Inggris ini tak akan berlaga di partai puncak.
Tangisan Gazza kala itu, dibingkai dengan cantik oleh Salman Rushdie, novelis tenar berdarah India-Inggris, lewat sebuah kalimat cantik dalam kolomnya di The Independent tahun 1990 lalu, “Before Paul Gascoigne, did anyone ever become a national hero and a dead-cert millionaire by crying? Fabulous. Weep and the world weeps with you.”
Tangisan itu begitu ikonik karena tercipta di momen krusial dan dilakukan oleh pemain yang spesial. Orang akan selalu mengingat air mata ikonik yang muncul dari figur papan atas sepak bola dunia. Dari air mata Iker Casillas di konferensi pers terakhirnya bersama Real Madrid, sampai air mata pedih Andrea Pirlo usai kekalahan 3-1 dari Barcelona di laga terakhirnya bersama Juventus pada final Liga Champions 2014/2015.
Sekelam dan sepekat apapun akhir karier dan hidupnya selepas dari dunia sepak bola, Inggris memang patut berbangga memiliki seorang Paul Gascoigne. Ia cermin sejati sepak bola dan orang Inggris sejati. Keterikatannya dengan alkohol dan wataknya yang keras adalah wajah hooligans dan sepak bola Inggris di mata dunia. Inggris memang sudah selayaknya mengenang pemain genius ini dengan sebaik-baiknya, lagipula, not every hero wears a cape, eh?
Selamat berusia setengah abad, Gazza.
Author: Isidorus Rio Turangga (@temannyagreg)
Tukang masak dan bisa sedikit baca tulis