Mendengar nama kota Katwijk yang terletak di semenanjung barat Belanda mungkin akan membuat Anda mengernyitkan dahi sambil bertanya-tanya. Memangnya ada apa dengan kota itu? Hal tersebut amat lumrah terjadi sebab kota yang satu ini memang tak sepopuler Amsterdam atau seklasik Rotterdam.
Namun bagi dunia sepak bola Belanda, kota Katwijk memiliki arti lebih karena telah menelurkan salah satu pemain terbaik dan berpengaruh dalam dua dekade terakhir dalam wujud Dirk Kuyt.
Di generasinya, nama Kuyt mungkin kalah harum dibanding Arjen Robben, Wesley Sneijder dan Robin van Persie. Namun jangan sekali-kali mencoba memandang Kuyt dengan sebelah mata karena anda pasti akan menyesalinya.
Mulai menekuni sepak bola di usia lima tahun bersama klub sepak bola amatir lokal asal Katwijk, Quick Boys, Kuyt tumbuh dan berkembang jadi salah satu figur yang begitu luar biasa. Situasi itu pada akhirnya membuat salah satu kesebelasan ternama di Negeri Kincir Angin, FC Utrecht, kepincut dan menyodori kontrak profesional untuk Kuyt saat usianya menginjak 18 tahun.
Baca juga: Tangis Dirk Kuyt di De Kuip yang Mengakhiri Penantian 18 Tahun
Merupakan anak ketiga dari empat bersaudara yang lahir di sebuah keluarga nelayan, pria berambut pirang ini seolah mengimplementasikan secara fasih etos kerja luar biasa dari kebanyakan nelayan di kolong langit ketika beraksi di atas lapangan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan dikenal dengan karakter pantang menyerah dan pemberani. Mereka adalah orang-orang pilihan lantaran sanggup bertarung dengan ganasnya ombak ataupun terjangan angin di lautan. Dan aksi-aksi Kuyt pun sangat mirip dengan cara kerja para nelayan.
Baik saat masih di Utrecht maupun ketika berpetualang bareng Feyenoord, Liverpool, Fenerbahce sampai akhirnya mudik lagi ke Feyenoord, citra stylish sama sekali tak menempel pada Kuyt. Pasalnya, sepanjang kariernya di lapangan sepak bola, kita jarang sekali melihat pemilik 104 caps bersama tim nasional Belanda ini menggiring bola lalu meliuk-liuk melewati beberapa lawan sekaligus atau menciptakan gol-gol spektakuler meski dirinya amat jago mengisi pos apapun di lini depan.
Modal utama yang Kuyt bawa dalam setiap penampilannya di atas lapangan memang bukan teknik ala dewa yang membuat pencinta sepak bola bertepuk tangan dan takjub seperti yang sering ditampikan Robben, Sneijder maupun Van Persie. Suami dari Gertrude ini punya sesuatu yang berbeda dibanding kompatriotnya.
Kuyt adalah sosok pesepak bola yang lebih mendahulukan etos kerja tinggi, semangat pantang menyerah dan totalitas yang eksepsional. Saya pun percaya, Kuyt pasti sanggup berlari selama 90 menit tanpa henti guna membawa tim yang dirinya bela meraup hasil-hasil positif.
Kondisi tersebut nyatanya justru membuat Kuyt lebih disukai para pelatih yang butuh figur petarung dan rela berkorban demi kepentingan tim di dalam skuat mereka, salah satunya tentu saja Louis van Gaal (LvG), eks pelatih tim nasional Belanda di Piala Dunia 2014.
Di bawah asuhan LvG, Kuyt yang punya posisi natural sebagai penyerang atau winger disulap menjadi wingback pada beberapa pertandingan. Hebatnya, Kuyt sanggup bermain dengan gemilang saat mengisi peran tersebut. Timnas De Oranje pun berhasil dibawanya menjadi peringkat ketiga di turnamen sepak bola antarnegara paling megah itu.
Publik yang mengidolakan Kuyt mungkin tak sebanyak mereka yang mengagumi Cristiano Ronaldo atau Lionel Messi. Namun sebagai pesepak bola sejati, Kuyt telah mengajarkan kepada kita bahwa untuk menjadi seseorang yang profesional di bidangnya, skill saja tidak akan pernah cukup.
Dibutuhkan kerja keras dan semangat pantang menyerah untuk menyempurnakannya. Karena dua hal yang saya sebut terakhir itu, diakui atau tidak, justru seringkali menutupi segala kekurangan yang ada pada diri kita.
Meski sepak bola bukanlah permainan individu, namun karakter khas Kuyt tersebut ikut andil atas beberapa trofi yang pernah digamit kesebelasan-kesebelasan yang pernah mengenakan jasanya.
Dengan kualitas prima seperti itu, amat sangat lumrah mendengar Kuyt memperoleh puja dan puji dari penggemar setianya atau suporter klub yang pernah diperkuatnya. Namun sayang, mulai musim depan pencinta sepak bola takkan lagi bisa melihat bagaimana spartan dan ngototnya sosok yang punya julukan Mister Duracell (mengacu pada merek sebuah baterai) ini seusai Kuyt memutuskan untuk pensiun setelah sukses mengantar Feyenoord jadi kampiun Eredivisie musim 2016/2017.
“Semua impianku bersama Feyenoord telah terwujud. Dan kurasa, ini adalah waktu yang tepat untuk pensiun”, terang Kuyt seperti dikutip dari independent.co.uk.
Kuyt sendiri takkan meninggalkan dunia yang membesarkan namanya ini karena telah menyetujui tawaran kubu De Trots Van Zuid, julukan Feyenoord, untuk menjadi salah satu figur penting di manajemen.
Usia 36 tahun menjadi garis finis bagi Kuyt dalam menekuni karier sebagai pesepak bola. Namun petualangan Kuyt di dunia belum sepak bola belum akan berhenti. Mister Duracell bakal menemui berbagai tantangan lain dengan peran barunya kelak.
Dankt, Kuyt.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional