Suara Pembaca

Hegemoni Inggris dalam Upaya Merawat Ingatan

Merawat ingatan adalah upaya yang memerlukan tenaga berlebih. Ia harus terus didengungkan dalam perbuatan dan perkataan agar tak lekang oleh waktu.

Tak percaya jika merawat ingatan adalah perbuatan yang memerlukan usaha keras untuk mewujudkanya? Lihatlah kebiasaan bangsa kita yang mudah sekali lupa ini. Pemerintah kita yang sampai detik ini masih alpa dalam menangani kasus orang hilang dalam tragedi 1998 dan kasus hak asasi manusia di Papua menjadi bukti sahih. Dan ironisnya, itu hanya sedikit dari banyak kasus kemanusiaan di masa lalu yang alpa diselesaikan bangsa ini.

Setali tiga uang dengan upaya merawat ingatan dalam sepak bola. Federasi yang mengurusi perihal sepak bola seantero Sabang hingga Merauke ini tak mengindahkan peninggalan para pendahulu, yang telah berjasa mengawali olahraga ini hadir di bumi pertiwi. Fakta berbicara bagaimana Museum PSSI yang berada di Yogyakarta tak dirawat sedemikian rupa, cenderung terlantar, padahal di dalam terdapat cerita dan peninggalan berharga bagaimana si kulit bundar mulai dimainkan di seantero jagad khatulistiwa.

Pendek kata, usaha merawat ingatan, dalam hal ini pengarsipan, masih dipandang sebelah mata sebagai hal yang remeh. Para pemangku kebijakan olahraga sebelas lawan sebelas di tanah air alpa bahwa berawal dari merawat ingatan dengan melakukan pengarsipan, manfaat seperti pembuatan kebijakan yang terarah, penelusuran sejarah, hingga kegiatan riset dapat dirasakan.

Lagi dan lagi, sepak bola kita harus belajar dari negara lain. Dalam upaya merawat ingatan pada sepak bola, utamanya melakukan pengarsipan, boleh kiranya para pejabat yang duduk di singgasana yang bersebelahan dengan Stadion Gelora Bung Karno itu menoleh pada Negara Ratu Elizabeth, Inggris.

Walaupun negeri tiga singa ini terakhir kali menjadi juara sudah cukup lampau pada 1966, cara FA, PSSI-nya Inggris merawat ingatan melalui arsip dalam sepak bola patut diapresiasi. Berdirinya National Football Museum menjadi upaya nyata Inggris merawat ingatan dalam sepak bola.

Upaya mendaku diri sebagai penemu sepak bola

Dalam sejarahnya, proses pendirian National Football Museum di Britania Raya ini sungguh berliku. Pada medio 2001, museum yang memiliki koleksi berupa sepatu, bola, lukisan, hingga kartu pos berbau sepak bola ini resmi dibuka di Preston, wilayah yang letaknya sekira 2 jam 15 menit ditempuh menggunakan kereta dari London.

Bangunannya persis terletak satu area di Deepdale Stadium, yakni stadion kebanggaan klub yang sempat menjadi labuhan karir seorang David Beckham sebagai pemain pinjaman, Preston North End.

Namun, dalam perjalananya, proyek yang masuk dalam ranah bantuan FIFA dalam tajuk FIFA Museum Collection ini sempat kolaps pada 2010 karena berhenti didanai. Untungnya, setahun setelah museum ini sempat mangkrak, pihak pemerintah daerah dalam hal ini, Manchester City Council, sepakat untuk membangun kembali, dengan memindahkan lokasinya ke Manchester.

Bekerja sama dengan European Regional Development Fund, pemerintah kota Manchester kembali membuka National Football Museum dengan citra yang baru, terletak di Urbis Building dengan sentuhan arsitek lokal, Ian Simpson. Pengunjung yang hadir pada enam minggu permulaan museum ini dibuka lagi, medio Juli 2012, pun tak tanggung-tanggung jumlahnya karena menyedot hingga 100 ribu pengunjung.

Yang menarik dari National Football Museum yang berada di Manchester ini adalah bagaimana koleksi yang terhampar di dalamnya mampu menggiring opini tiap pengunjungnya pada satu kesepakatan: bahwa Inggris adalah negara yang pertama kali menemukan olahraga menggocek si kulit bundar ini.

Bermula selepas memasuki pintu gerbang, mata kita dimanjakan dengan bagaimana negara ini mengawali permainan sebelas lawan sebelas di muka bumi ini. Dengan tajuk The Laws that Began The Beautiful Game, ingatan kita akan dibawa pada tahun 1863 tepat dimana Football Association (FA), merumuskan peraturan olahraga mengolah bola.

Display Laws of The Game. Kredit: Penulis

Notulen rapat pada waktu itu, atau mereka menyebutnya meeting’s minute, yang dituliskan oleh Ebenezer Cobb sebagai sekretaris FA, tampak kokoh terpajang. Dengan meeting minute yang terpampang seakan menandakan bahwa dibalik dinamika peraturan sepak bola yang kerap berubah dalam kurun waktu 150 tahun, Inggris-lah yang pertama kali menemukan dan meletakkan fondasinya.

Kompetisi sepak bola yang diklaim sebagai kompetisi tertua dalam perihal mengocek si kulit bundar, Piala FA, tak ketinggalan untuk dipamerkan. Dibingkai dengan kisah yang heroik, trofi sebuah kompetisi di Britania Raya yang melibatkan klub dari kasta tertinggi hingga amatir ini berwujud tiga buah, seturut perkembanganya dari waktu ke waktu.

Trofi pertama digunakan pada 1895 yang berjuluk “little tin idol”, lalu trofi kedua digunakan pada kurun 1896-1910 era ketika FA dibawah rezim Lord Kinnaird, serta trofi ketiga yang sampai saat ini digunakan dan terakhir kali diangkat tinggi-tinggi ke udara oleh Wayne Rooney musim lalu. Ketiga trofi tersebut menasbihkan sebuah bukti akan berjasanya Britania Raya mengawali keteraturan bermain bola dalam wadah resmi berlabel kompetisi.

Pengunjung bisa berpose dengan trofi Piala FA  yang saat ini jamak digunakan dengan membayar donasi sebesar 6 paun. Yang menarik, saking sakralnya trofi kompetisi tertua di dunia ini, pengunjung diharuskan menggunakan sarung tangan ketika berpose agar dapat memegang, namun tidak diperbolehkan mengangkatnya.

Juara dunia tahun 1966 yang masih diagung-agungkan

Sudah menjadi rahasia umum bahwa negara yang mendaku dirinya sebagai penemu olahraga mengolah si kulit bundar, sampai detik ini, masih mengagung-agungkan gelar juara dunia yang berhasil mereka torehkan pada tahun 1966 tersebut.

Trofi Jules Rimet yang diangkat tinggi-tinggi oleh kapten Bobby Moore di Wembley 51 tahun yang lalu itu, masih dikenang sebagai pencapaian tertinggi The Three Lions. National Football Museum pun mengapresiasi pencapaian tersebut dengan memberikan satu area khusus dengan tajuk #memoriesof66.

Satu yang terasa pada area #memories66 adalah bagaimana detik tiap detik waktu yang berlalu pada hari final, 30 Juli 1966, begitu berharga untuk dikhidmati. Terdapat satu etalase yang menampilkan hitung mundur momen suci bagi para suporter timnas Inggris tersebut. Momen di mana Geoff Hurst menceploskan gol kontroversial  yang dikenang sebagai “Wembley Goal”, tercatat rapi berbingkai foto dan data presisi waktu kejadian, yakni 4:55 p.m.

Tak hanya itu, memorabilia dari final yang dihadiri tumpah ruah suporter hingga mencapai jumlah 96.924 ini turut berjajar rapi sebagai upaya merawat ingatan. Mulai dari bola yang memantul tepat di garis gawang yang dijaga Hans Tilkowski hingga jersey yang dikenakan tim tiga singa, plus replika dari trofi Piala Dunia. Pengunjung tak hanya dimanjakan lewat memorabilia yang dikurasi, namun juga bisa mencecap atmosfer sesungguhnya yang ada di Wembley, melalui rekaman audio-visual final, lengkap dengan gemuruh suara suporter dan kursi yang dirancang layaknya tribun kandang timnas Inggris pada waktu itu. Benar-benar sebuah upaya yang tersusun rapi dengan tujuan menyebarkan gegap gempita juara dunia 1966 pada khalayak ramai, khususnya bagi para suporter muda.

***

Tiap derap langkah menyambangi National Football Museum di Inggris seakan mengkhidmati hegemoni Inggris ini dalam upaya merawat ingatan melalui pengarsipan, bagian yang acapkali dilupakan perihal urusan pengembangan sepak bola. Karena sejatinya, dengan mempelajari dan meresapi apa yang terjadi di masa lalu memberikan ruang untuk berkembang menuju kehidupan yang lebih baik.

Historia est magistra vitae.

Author: Aditya Maulana Hasymi (@aditmaulhas)
Pemuda asal Sleman yang beruntung mengenyam pendidikan strata dua di University of Liverpool.