Kolom

Grazie, Inter!

Selain pemenang, dunia ini butuh pecundang. Mereka yang kalah, mereka yang terlupakan, mereka yang menjadi olok-olok. Ini bukan perkara moralitas belaka, tapi ini keniscayaan. Sama seperti kamu percaya bahwa ada baik dan jahat serta hitam dan putih, maka di permainan atau pertandingan dan bahkan di hidup, kamu harus percaya bahwa status pecundang itu dibutuhkan.

Sepak bola, sebagai permainan juga pertandingan, memahami benar teorema tersebut. Orang gemar memuja sang pemenang, namun juga tak alpa dalam mengolok bahkan merenggut hidup mereka yang menjadi pecundang. Kisah pelik Moacir Barbosa di timnas Brasil atau berakhirnya nasib Andres Escobar berkat timah panas kartel Kolombia, adalah segelintir buktinya.

Di tahapan yang lebih sederhana, si pecundang menjadi bagian penting karena membuat kita sadar bahwa terkadang, nasib buruk seorang pecundang diperlukan agar manusia bisa lebih bersyukur terhadap hidupnya saat ini. Dari kasus seorang Hector Cuper, misalnya. Dia pelatih dengan julukan yang luar biasa pelik, “Mr. Runner-Up”. Karier terbaiknya selalu nyaris membawa timnya juara. Terbaru, di Piala Afrika 2017, timnas Mesir yang diasuhnya kembali kandas di final.

Tapi seburuk apapun capaian karier manajerial Cuper, ia akan menjadi pengingat bahwa berkat Hector Cuper, nasib-nasib buruk yang ditimpa oleh Sam Allardyce kala dipecat dari timnas Inggris atau periode kelam karier David Moyes seusai dipecat Manchester United, jadi tidak ada apa-apanya.

Dan tak jauh dari karier Hector Cuper, di penghujung musim 2016/2017, muncul satu pecundang baru dari Serie A Italia, Internazionale Milano. Eks klub yang pernah dibesut Hector Cuper ini sedang menjalani periode paling buruk musim ini karena tidak pernah meraih kemenangan dalam delapan laga terakhir. Tercatat, sejak berpesta tujuh gol berbalas satu melawan kuda hitam, Atalanta, La Beneamata hanya meraih dua hasil imbang dan enam kekalahan. Pelik, ya?

Dari gejolak beberapa kawan Interisti di linimasa daring, saya membayangkan menonton Inter Milan bermain akhir-akhir ini seperti membaca suramnya pikiran-pikiran gelap Yukio Mishima di salah satu novel terbaiknya, “Pelaut yang Ternoda”. Inter kini begitu muram dan apabila kamu seorang Interisti taat, menonton Inter dan berlanjut dengan membaca novel Mishima, akan membuatmu memutuskan melakukan seppuku.

Tapi sebenarnya, ada peran penting Inter, sebagai si pecundang, bagi tim-tim lain yang bernasib kurang baik musim ini. Sama seperti bagaimana kita melihat ‘sumbangsih’ Hector Cuper, buruknya penampilan Inter membuat beberapa klub di Eropa yang sedang jeblok performanya musim ini, tampak sedikit lebih baik berkat periode negatif tim yang kini mayoritas sahamnya dimiliki oleh konsorsium dari Cina ini.

Baca juga: Bersabarlah, Suning!

Sebagai contoh, mari cermati dua tim dari Inggris, Arsenal dan Manchester United. Arsenal, klub London Utara yang kini tengah kepayahan mengejar target finis di posisi empat besar, sempat mengalami periode sangat buruk usai kekalahan dengan agregat 10-2 dari Bayern Munchen pada babak 16 besar Liga Champions Eropa. Gelombang protes memuncak dan banner yang meminta Arsene Wenger untuk mundur dari jabatannya mulai menjadi virus global yang mudah kita temui di mana saja.

Di periode yang sama kala itu, sekitar awal Maret, Arsenal memang tampak seperti calon pecundang sejati di Liga Inggris musim ini. Sementara Inter, tengah dalam catatan positif. Sebagai perbandingan, di awal Maret saja, tanggal 5 dan 12 Maret, Inter berpesta kemenangan masing-masing 1-5 kontra Cagliari dan 7-1 melawan Atalanta. Catatan yang luar biasa, ya?

Sementara itu, tak jauh berbeda dengan Arsenal, kota Manchester yang akrab dengan mendung dan hujan, seakan dihantui nasib kurang baik sepanjang musim ini. Walau menjalani rentetan laga tanpa kalah sebanyak 25 pertandingan beruntun, Setan Merah tidak pernah beranjak di antara posisi 5 dan 6 di klasemen. Rekor unbeaten yang surealis, ya?

Walau sukses memulangkan kembali Paul Pogba dan merekrut dua nama tenar, Henrikh Mkhitaryan dan Zlatan Ibrahimovic, sejauh ini, hasil terbaik Setan Merah adalah juara Piala Liga yang diraih susah payah berkat kemenangan atas Southampton. Sementara itu, jelang akhir musim, rival berat Liverpool ini sudah dipastikan akan finis di posisi enam dan walau lolos ke final Liga Europa, United dihadapkan dengan jadwal yang berat dan lawan di final yang tangguh, Ajax Amsterdam. Tampak bukan musim yang baik bagi debut Jose Mourinho, bukan?

Dan tepat ketika kita merasa Arsenal dan United terancam menjalani musim yang buruk di Inggris, muncullah Internazionale Milano dengan serentetan hasil minor mereka di liga. Tak tanggung-tanggung, dari yang awalnya salah satu kandidat kuat peraih tiket lolos ke Liga Champions musim depan, Inter kini dipaksa berjuang mati-matian untuk bangkit dari periode negatif dan terancam absen dari kompetisi Eropa musim depan.

Usai dipecatnya Stefano Pioli, tim yang sudah kehilangan arah dan ambruk mentalitasnya di atas lapangan ini, tampak semakin goyah dan tak bergairah melanjutkan kompetisi di Serie A demi hasil positif di akhir musim. Inter menjadi lelucon dan sebagian besar suporternya lebih tertarik menyerahkan diri pada kuasa Ilahi alih-alih menonton peraih treble winners di musim 2009/2010 ini bermain sepak bola.

Baca juga: Pemecatan Stefano Pioli dan Internazionale yang Tak Pernah Sabar

Untuk tim yang oleh sebagian besar ultras-nya di Italia dianggap tak lebih layak dari sebuah makan siang, kita sepakati saja, Inter Milan kini berjalan mengakhiri musim dengan status pecundang yang ironisnya, membuat musim Arsenal dan Manchester United yang buruk, jadi terlihat sedikit lebih baik.

Padahal, Arsenal berpeluang besar gagal lolos ke Liga Champions Eropa untuk pertama kalinya dalam 20 tahun terakhir. Sedangkan United, terancam mendapat pemotongan dana sponsor dari Adidas bila gagal juara di Liga Europa dan tak mampu lolos ke Liga Champions. Secara gengsi dan finansial, nasib buruk yang membayangi dua tim Inggris ini tampak pelik, namun ketika menengok betapa sekaratnya Inter Milan di Serie A, kita boleh bilang bahwa Arsenal dan United sudah sepantasnya bersyukur.

Kadang, pepatah memang ada benarnya. Kita memang perlu sesekali menengok ke bawah untuk bersyukur bahwa apa yang kita alami dan miliki saat ini, jauh lebih baik daripada apa yang dimiliki dan dialami beberapa orang di bawah kita.

Dan untuk alasan itulah, saya perlu menuliskan kalimat ini dengan tulus: Terima kasih, Inter Milan.

Author: Isidorus Rio Turangga (@temannyagreg)
Tukang masak dan bisa sedikit baca tulis