Anda tahu, mental yang kokoh tak melulu dibentuk di tengah akademi yang bersahabat, hangat, dan penuh tawa. Keinginan untuk bertarung justru lebih sering mekar ketika kamu diinjak oleh kenyataan. Dipandang remeh, dan dirisak. Serge Gnabry, ia bangkit dari kotak putus asa. Di usia muda, ia memahat sendiri kepercayaan diri dan kekuatan mental. Mari sesap madu-madu inspirasi dari masa muda Serge Gnabry.
Musim 2013/2014, Gnabry mencatatkan sembilan penampilan bersama Arsenal. Ia menyandang status wonderkid dan catatan apik tersebut seperti menjadi pertanda bahwa Arsene Wenger bersiap membaptis dirinya menjadi jamaah utama Meriam London. Namun, masa depannya menjadi gelap seketika ketika cedera datang. Sebuah noda hitam dalam catatan karier kepelatihan Wenger. Ya, penanganan cedera yang sungguh payah.
Setelah lepas dari cedera, Gnabry kesulitan mencapai level untuk tampil bersama tim utama. Wenger pun memutuskan untuk meminjamkan pemain asal Jerman tersebut. Tujuannya, supaya Gnabry mendapatkan menit bermain dan mampu menemukan lagi level permainan yang sebelumnya pernah ia tunjukkan.
Sayang, keputusan Wenger tersebut justru menjadi awal masalah lain bagi Gnabry. Ia menerima tawaran bergabung bersama West Bromwich Albion, yang saat itu dilatih Tony Pulis. Bukannya kesempatan bermain dan kepercayaan yang didapat, Gnabry justru dipermalukan di depan publik oleh Tony Pulis.
Pulis menyebut Gnabry tak pantas untuk mendapatkan kesempatan bermain. “Serge Gnabry datang ke sini untuk mendapatkan kesempatan bermain. Sayangnya, ia tak bisa mendapatkan kesempatan itu. Bagi saya, ia tak berada di level yang pantas mendapatkan kesempatan bermain,” ungkap Pulis kepada nytimes.co.uk.
Dan manajer yang sering mengenakan topi tersebut menepati ucapannya. Selama “bersekolah” bersama West Brom, Gnabry hanya mendapatkan satu kesempatan bermain. Itu pun bukan sebagai starter, tapi Gnabry melakukannya dengan status pemain pengganti. Ia dipermalukan, dan mendapat banyak cibiran.
Menyikapi situasi seperti itu, Gnabry tak ingin menyalahkan orang lain. Ia justru melihatnya sebagai kesempatan untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia punya kualitas, dan layak diberi kesempatan. “Situasi tersebut membantu membentuk mental saya. Dan saat ini, saya lebih kuat. Lebih siap menghadapi berbagai situasi,” ungkap pemain yang kala itu masih berusia 21 tahun.
Seperti Pulis, Gnabry pun membuktikkan ucapannya. Tepatnya ketika mendapatkan panggilan masuk ke dalam tim Jerman yang disiapkan untuk Olimpiade Rio 2016. Musim panas tahun lalu, menjadi titik balik dari karier Gnabry. Suatu momen yang menegaskan bahwa Arsenal dan West Brom harus menyesal melepas Gnabry.
Olimpiade Rio 2016 sendiri begitu membekas di dalam hati Gnabry. Nuansa yang didapatkan ketika berlaga membela Jerman seperti menggugah, sekaligus menebalkan kepercayaan diri yang tengah ia bangun setelah dikecewakan oleh dua klub di Inggris.
“Cabang sepak bola di Olimpiade disikapi dengan serius oleh kami. Kejuaraan itu penting bagi Jerman. Berada di Brasil untuk Olimpiade adalah pengalaman yang sungguh istimewa, bisa melihat cabang olahraga lain, mempelajari berbagai hal yang mereka korbankan untuk bisa berada di kejuaran tersebut,” kenang Gnabry.
“Dua hari di sana, kami merasakan atmosfer yang tidak akan pernah bisa dilupakan. Banyak olahragawan yang sudah meraih segalanya di hidup mereka, bertahun-tahun dihabiskan untuk berlatih supaya bisa layak berada di Olimpiade,” tambahnya.
Melihat pengorbanan olahragwan, seperti dirinya, membantu Gnabry untuk percaya bahwa kerja keras selalu membuahkan hasil. Ia hanya perlu percaya dengan kualitas yang bersemayam dalam dirinya. Dan berhasil, Gnabry menjadi salah satu penampil terbaik di kejuaraan itu. Ia mencetak enam gol dan mempersembahkan medali perak untuk Jerman.
Kepercayaan diri yang kembali dan sebuah kesempatan terbuka. Selepas Olimpiade Rio 2016, Gnabry enggan kembali ke Arsenal. Rayuan Werder Bremen ia terima dengan senang hati. Gnabry pun membantah bahwa Arsenal yang mendorongnya untuk hengkang. Kepindahan ke Bremen adalah murni keputusannya.
“Kepindahan ke Bremen adalah keputusan saya. Yang penting adalah saya bisa sering bermain, daripada saya terus berada di balik bayang-bayang pemain lain, atau hanya bisa bermain dari bangku cadangan. Banyak pemain yang lebih didahulukan ketimbang saya di Arsenal,” tegasnya.
Keputusan yang begitu dewasa, datang dari anak muda yang baru saja dipermalukan di depan publik Inggris.
Di Bremen, sebuah kota yang cantik, di mana stadion terletak di antara jalan-jalan perumahan yang indah dan taman yang hijau rimbun, Gnabry akhirnya menemukan sesuatu yang bisa disebut “rumah”.
Gelandang serang tersebut membantu Bremen mencaplok 29 poin dari 33 yang tersedia. Gnabry membantu Bremen duduk di posisi enam Bundesliga, lebih baik ketimbang musim lalu, di mana mereka berada di posisi 13. Ia seperti menjadi pusat permainan Bremen. Ia membaur dalam tim, memperkuat, bukan menonjol seorang diri.
Performanya yang meledak berhasil menarik perhatikan Joachim Low, pelatih timnas senior Jerman. Low pun memberi Gnabry sebuah debut yang tak terlupakan. Gnabry mencetak tiga gol di debutnya bersama timnas senior. Sebuah awalan yang baik bagi anak muda yang lahir di Sttutgart tersebut.
Kini, Gnabry tengah menikmati masa-masa perkembangan penting dalam kariernya yang sempat tersendat. Apakah ia menyesal pernah bergabung bersama Arsenal, yang membuat kariernya tersendat? Gnabry justru berterima kasih kepada The Gunners.
“Arsenal masih ada di hati saya. Saya cinta Arsenal. Saya bersama mereka ketika melewati tahun-tahun penting di awal karier saya, ketika baru saja melewati masa remaja, dan meninggalkan semua di tempat asal saya, melihat budaya baru dan belajar hidup di negara yang juga baru,” kata Gnabry.
Ia tak gentar ketika dipandang rendah. Ia tak memendam rasa dendam ketika tak diberi kepercayaan. Gnabry menunjukkan sebuah sikap yang seharusnya diperam setiap anak muda di dunia. Percaya diri, rendah hati, berhati lapang, dan kerja keras. Sebuah sikap yang layak kita sesap dari hasil peraman anak muda Stuttgart tersebut.
Sesap hingga ke sari patinya. Bagi anak muda, yang selalu mempertanyakan betapa bajingannya dunia sepak bola.
Author: Yamadipati Seno
Koki @arsenalskitchen