Kolom

Episode Sendu Cesc Fabregas di Arsenal

Too much too soon

Kita bisa saja menilai perbuatan Fabregas sebagai tindakan naif khas anak muda. Umurnya saat itu baru menginjak 17 tahun. Tetapi sasaran lemparnya adalah Sir Alex, orang yang begitu dihormati tidak hanya di Manchester, tapi di seantero Britania Raya. Fabregas begitu menjiwai kekalahan timnya yang diperoleh dengan begitu tragis. Kekalahan yang membuat rekor berhenti di angka 49, tak genap menjadi 50.

Didatangkan dari Barcelona, Fabregas justru mekar di negeri seberang. Dia datang di saat segala sesuatunya tampak begitu berkilau di Islington, London Utara. Arsene Wenger sedang berada dalam fase terbaik di karier kepelatihannya. Meski begitu, Fabregas justru menyeruak dan tak canggung bermain dengan nama-nama besar seperti Thiery Henry, Dennis Bergkamp, Patrick Vieira, Robert Pires, dan kawan-kawan.

Dengan rambut mullet dan seragam yang tampak selalu kedodoran, Fabregas mampu mengimbangi rekan-rekan setim yang tidak hanya jago, tapi juga berkaliber internasional dan memiliki ego menjulang.

Hingga detik ini, namanya masih tercatat sebagai debutan dan pencetak gol termuda Arsenal. Catatan pertama ia lakukan di pertandingan melawan Rotherham United. Usianya baru menginjak 16 tahun 177 hari. Catatan kedua ia raih di laga melawan Wolverhampton Wanderers (16 tahun 212 hari).

Fabregas, yang asli Catalan, merasa kesempatannya bersama Barcelona begitu tipis, lantas hijrah ke tim akademi Arsenal. Di La Masia, yang mewajibkannya tinggal di asrama, Fabregas satu angkatan dengan nama-nama yang kelak mendominasi kancah sepak bola, tak hanya Negeri Matador tetapi juga dunia.

Fabregas tumbuh sebagai pengagum Pep Guardiola. Sang idola mengetahui hal itu dan tatkala sang murid ditimpa masalah perceraian orang tua, ia menghadiahi Fabregas seragam bernomor 4 bertuliskan, “Kelak, kaulah yang akan mengenakan seragam nomor 4 untuk Barcelona.”

Tetapi waktu itu Pep belum melatih La Blaugrana. Pun juga, lini tengah Barcelona dilimpahi dengan bakat-bakat hebat. Ia memilih mengadu nasib ke London, sekaligus berserah diri kepada sosok yang di kemudian hari ia anggap seperti ayahnya sendiri, Arsene Wenger.

Dengan reputasinya sebagai pemoles bakat-bakat tak terduga, Fabregas adalah salah satu contoh utama yang harus disodorkan jika ingin menjustifikasi kegeniusan Wenger dalam mengendus seorang pemain. Meski bertubuh agak kecil, Fabregas-lah yang langsung Wenger percayai untuk mewarisi nomor punggung Vieira, yang pada tahun 2005, dilego ke Juventus. Ini adalah ‘ketergesaan’ yang pertama.

Sebagaimana kita ketahui, Wenger beserta manajemen Arsenal melakukan sebuah perjudian. Mereka menganggap Highbury tak lagi layak untuk menjadi stadion kebanggaan. Kehadiran Fabregas berada di titik penghematan, yang kelak dikenal dengan istilah “Arsene’s austerity”, sebuah istilah yang mengacu pada kebijakan suatu negara dalam memangkas subsidi publik.

Setelah Vieira, lepaslah Pires. Begitu pun Dennis “The God” Bergkamp yang memutuskan untuk gantung sepatu. Henry, kapten setelah Vieira, hanya dua musim bertahan di London Utara selepas kegagalan di final Liga Champions kontra klub yang berkali-kali membajak pemain-pemain Arsenal, Barcelona. Dan ke Catalan pula akhirnya sang top skor sepanjang masa Arsenal berlabuh.

Fabregas membayar kepercayaan itu. Wenger pun teguh dengan keputusannya menjual para pemain kunci dan menggantinya dengan pemain-pemain muda yang belum matang. Sang profesor berharap mereka dapat tumbuh bersama, lantas menjadi suatu kesatuan yang padu. Sosok kunci untuk menjaga kesatuan tersebut tak lain dan tak bukan: Cesc Fabregas.

Pemain bernama lengkap Francesc Fabregas Soler ini menjadi pusat permainan, yang juga menjadi figur transformasi sebuah era. Secara permainan pun Wenger menjadi gandrung dengan penguasaan bola. 4-4-2/4-4-1-1 beralih menjadi 4-5-1/4-2-3-1 untuk mengakomodir Fabregas sang jenderal lapangan tengah. Jenderal yang tak segan berkonfrontasi dengan pemain lawan, yang mengenakan seragam kebanggaan Arsenal dengan sepenuh hati.

Fabregas akhirnya menjadi figur sentral. Bayangkan, kuartetnya bersama Tomas Rosciky, Alexander Hleb, dan Mathieu Flamini sanggup berbicara banyak dan membawa Arsenal memuncaki klasemen liga sepanjang dua per tiga musim. Sebuah testimoni datang dari penyerang Reading, Dave Kitson, untuk klub yang kini disemati julukan “young and inexperienced” itu:

“Hal yang paling mengesankan adalah mereka tak sekadar saling mengoper bola, namun mereka berbagi bola dan seorang pemain sanggup mengejarnya dan telah tercanang di pikiran pemain itu apa yang akan ia lakukan setelahnya. Ini benar-benar ajaib dan tak bisa dipercaya,” katanya seperti dikutip Telegraph (14/11/2007). Jika pengakuannya kurang meyakinkan, apa butuh saya kutip komentar Pele, yang mengakui bahwa Arsenal merupakan tim yang paling ia gemari tahun itu?

Tim yang dikomandani Fabregas ini akhirnya ambruk di ujung musim, meski para penggemar tetap optimis menyambut musim selanjutnya. Suatu anggapan yang terbukti akan menyakiti hati mereka begitu dalam. Memang terkadang istilah “harapan dapat membunuh” seperti tak dikenali para penggila bola. Di musim ini pula, seorang penyerang berakhlak buruk bernama Emmanuel Adebayor sanggup menggelontorkan 31 gol di seluruh ajang!