Kolom

Pendidikan dan Para Pesepak Bola Kita

Tuhan, aku sangat lelah. Semoga Engkau mengizinkan aku untuk tidak pergi ke sekolah. Kabulkanlah doaku, ya Tuhan. Sungguh, aku tidak ingin bersekolah lagi. Kau tahu, aku harus banyak bekerja. Aku lelah, ya Tuhan, janganlah kau menyuruhku bersekolah.” (Guy Tirolien, dikutip dari Sindhunata, 2002).

Di Hari Pendidikan Nasional ini, saya pikir kita perlu mendudukkan posisi sepak bola dalam sistem pendidikan. Maksudnya, tentang bagaimana jejaring kuasa masih menganggap profesi atlet di lingkar periferi dalam dunia ketenagakerjaan. Atlet adalah pekerja, yang tidak bisa memasuki dunia kerja profesional dan, selama masih aktif berkiprah, belum memasuki dunia kerja formal ataupun informal.

Beberapa saat lalu, Football Tribe Indonesia mewawancarai pelatih U-19 Pusamania Borneo FC, Ricky Nelson. Menurutnya, pesepak bola modern sudah tidak bisa lagi mengandalkan bakat. Pemain kini harus cerdas, karena arsitektur sepak bola modern menuntut mereka seperti itu.

Ada satu hal yang ingin saya tengadahkan, dan kita sebagai penikmat cenderung abai: para pemain adalah pekerja yang dikendalikan oleh kontrak (yang tentu saja sarat akan hak dan kewajiban yang harus dipatuhi). Menyepak bola saban akhir pekan bagi mereka sama seperti apa yang dilakukan para buruh perusahaan, dilakukan demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Oleh karena buruknya sistem industri olahraga tanah air, kita sering mendapati banyaknya para atlet yang di masa senja tertatih-tatih dalam menjalani hidup. Beberapa atlet Olimpiade atau SEA Games banyak diberitakan menjual medali yang dahulu membuat mereka dipuja-puja. Ini adalah sesuatu yang teramat mengecilkan hati.

Olahraga telah berubah menjadi industri hiburan, tetapi posisi atlet tidak bisa menikmati kejayaan para artis. Seorang musisi atau aktor bisa menikmati hari tua dengan bersandar pada royalti. Banyak dari mereka yang masih bisa berkiprah di hari tua seperti Iwan Fals atau Henidar Amroe. Tidak demikian dengan atlet. Tubuh yang segar dan otot yang liat suatu saat akan menjadi loyo.

Di Amerika Serikat, tiga tahun lalu dunia olahraga tingkat universitas sempat geger. Badan Hubungan Pekerja Nasional, NLRB, menyatakan bahwa para atlet di tingkat universitas berstatus sebagai pekerja, sehingga mereka memiliki hak untuk mendirikan serikat (union).

Geger ini dipicu oleh seorang quarterback Universitas Northwestern, Kain Colter, ketika ia menuntut otoritas untuk mengizinkan atlet-atlet universitas mendirikan serikat. Colter menganggap apa yang ia lakukan begitu berat, sampai-sampai waktunya tersita untuk urusan American Football. Padahal ia ingin menyelesaikan kuliahnya.

“Sulit sekali untuk mencapai kesuksesan [di ranah pendidikan]. Anda bahkan tidak akan bisa mendongkrak potensi akademik karena tuntutan-tuntutan yang ada. Anda harus berkorban, dan kami tidak diperkenankan untuk mengorbankan sepak bola [American Football],” katanya seperti dikutip dari New York Times (18/2/2014).

Dari sini saya ingin mengambil hikmah. Ada beberapa kejuaraan level universitas atau sekolah tinggi di negara kita, tetapi poinnya bukan itu. Di sini saya ingin mengajak Anda sama-sama risau: sudah terpenuhikah hak-hak para atlet di negara kita?

Cuitan di atas adalah satu dari fenomena gunung es terkait penggajian pemain di Indonesia. Mengapa demikian? Karena sepak bola negara kita tidak mengenal transparansi dalam besaran/durasi gaji para pemain yang dikontraknya. Segalanya seperti terjadi di balik meja. Pemain berada dalam posisi yang tidak mengenakkan karena meeka telah terlanjur nyemplung memilih sepak bola sebagai profesi.

Di Hari Pendidikan ini, saya tidak berniat untuk mengagungkan pendidikan secara berlebihan. Mengamini sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, pendidikan justru medan paling ampuh dalam meneruskan ketimpangan sosial.

Kelas menengah diuntungkan, secara cultural, sehingga mampu menjajal pendidikan berkualitas tinggi, lalu setelahnya bekerja di sektor-sektor profesional. Sementara itu, anak-anak dari kelas bawah gagap dalam beradaptasi dengan kultur sekolah yang begitu bias kelas, sehingga akhirnya kita sering mendengar istilah “kemiskinan adalah sumber kejahatan”.

Dengan begini para pemain di negara kita berada di posisi serba sulit. Hanya sedikit dari mereka yang nantinya bisa berstatus seperti Bambang Pamungkas atau Kurniawan Dwi Yulianto, yang nyaman menjalani hidup dari sisa-sisa kejayaan di masa muda. Padahal atlet pun memiliki kerentanan saat mereka aktif sebagai pemain. Cedera bisa sewaktu-waktu mengganggu karier atau bahkan menghentikannya sama sekali.

Semangat pendidikan adalah semangat pemberdayaan. Semangat ini pula yang dulu mengobarkan sikap para pembaru perjuangan di masa Politik Etis yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pendidikan, jika memakai kacamata Bourdieu, bukanlah segalanya. Terbukti, liberalisasi pendidikan telah begitu jahat dalam meneruskan ketimpangan. Sekolah dan universitas telah menjadi pabrik pencetak robot yang ‘dibuat’ demi memenuhi kebutuhan industri.

Kita harus sadar, kita tidak bisa memaksakan pendidikan formal kepada seluruh anak. Beberapa manusia diberkahi keunggulan motorik dan olahraga telah menjadi medium dalam menyalurkan keunggulan tersebut. Dan juga, beberapa cabang olahraga populer telah bersinggungan dengan kapitalisme industri hiburan. Di satu sisi, industri olahraga negara kita telah berjalan kelewat bobrok ditambah fakta bahwa banyak anak yang dihambat orangtuanya kala ingin berkarier sebagai atlet.

Dalam artikelnya di Financial Times (26/5/2012), Simon Kuper mendedah fenomena berubahnya struktur timnas Inggris sebagai meritokrasi palsu (faux-meritocracy). Pasalnya skuat The Three Lions dihuni oleh anak-anak yang berasal dari kelas menengah.

Mereka mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah swasta. Sejalan dengan Bourdieu, kecurigaan Kuper ini bisa menjadi suatu telaah kritis. Jika hal ini terus berlangsung, maka sepak bola mengikuti logika yang sama berlaku di dunia kerja profesional. Anak-anak kelas menengah ke atas akan mudah mendapatkan akses ekonomi saat mereka dewasa.

Sebagai pamungkas, Kuper menulis, “The job of the England team isn’t to win prizes, it’s to incarnate the nation. The nation has become a faux-meritocracy, where the best seats are mostly allocated at birth, and the national football team is starting to follow.”

Di tengah-tengah pergeserannya menjadi industri hiburan, semangat sepak bola masih lekat dengan nilai-nilai kelas pekerja. Kita bahkan mengultuskan beberapa pemain yang sanggup tampil memikat dan identik dengan suatu klub seperti Ismed Sofyan di Persija Jakarta. Sepak bola bisa menjadi sarana untuk bertahan hidup. Semangat itu yang harus dipertahankan dan digugat, karena sistem penggajian yang belum transparan.

Betapa indah kiranya, saat kita mendengar beberapa pesepak bola yang berhasil menunaikan ibadah haji. Hal ini menyiratkan bahwa profesi yang mereka pilih telah menyejahterakan mereka sehingga mampu menunaikan rukun Islam kelima.Tetapi jangan lupa, ada lebih banyak pemain kita yang boro-boro berhaji, menjaga dapur tetap mengebul saja terus susah!

Selamat Hari Pendidikan! Selamat Hari Buruh!

Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com